KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Ilustrasi: Suhendi, guru honorer mengajar di kelas jauh SD Kuta Karang 3, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Pandeglang, Banten

Kisah pilu ancaman pemecatan Robiatul Adawiyah, guru SDIT Darul Maza Kota Bekasi, cukup mencuri perhatian. Di tengah arus pencerahan yang mestinya terus dihidupi dalam dunia pendidikan yang memungkinkan adanya dialektika antar-ide, demi mencapai hasil terbaik, kita justru berhadapan dengan intimidasi harus memilih kandidat tertentu.

Ada apa di baliknya dan apa pembelajaran yang bisa dipetik?

Antagonisme sosiologis merupakan fakta yang tidak bisa disangkal, demikian Maurice Duverger. Dalam Sosiologi Politik (2013; terjemahan Daniel Dhakidae) digambarkan aneka antagonisme yang ada, baik secara individual maupun kolektif.

Pada tataran individual, antagonisme itu jangkauannya masih terbatas. Ia masih bergerak secara alamiah dan psikologis. Hal itu berbeda pada level kolektif. Ia lebih luas oleh adanya pertentangan politik kelas, ras, dan kelompok horizontal (teritorial, korporatif, dan ideologis). Singkatnya, antagonisme telah jadi kenyataan yang harus diterima dan dikelola, dan bukan disangkal.

Permasalahannya, apakah realitas sosiologis-politis, yang ditandai dengan perjuangan memperoleh kekuasaan, dimungkinkan untuk dikelola dan dijabarkan secara dialektis dalam pendidikan? Apakah guru perlu diberi ruang kreasi untuk mendidik yang membebaskan sesuai konteks?

Paul Freire, dalam La  PedagogĂ­a del Oprimido (1968), merekam tendensi pendidikan ala bank. Kerap pendidikan tak lebih dari sebuah tindakan pasif, yaitu subyek didik hanya menyimpan sebanyak mungkin ilmu pengetahuan yang dijejalkan kepadanya. Metode pendidikan yang diterapkan sangat deduktif. Rumusan yang diturunkan dianggap sebagai kebenaran mutlak yang harus diterima. Puritanisme ajaran begitu dijaga dan disakralkan. Sementara itu, realitas konfliktif-antagonistik yang menyertai subyek pembelajaran nyaris mendapatkan perhatian.

Tendensi ini, dalam kacamata Duverger, merupakan pengingkaran atas imperatif mengelola antagonisme secara kreatif. Realitas konfliktif yang ada dalam masyarakat—baik terjadi akibat perbedaan struktur geografis, demografis, sosial, keterampilan teknologis, lembaga-lembaga, maupun kebudayaan—tidak diberi ruang, hal yang sangat disayangkan.

Menuju integrasi

Proses integrasi bangsa yang terjadi sejak 1908 mestinya kini sudah mengantar bangsa ini pada kematangan sosiologis-politik. Pendidikan pun mestinya telah memenuhi target mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal itu berkat komitmen menata perbedaan sebagai kekayaan dan mengelola antagonisme secara kreatif. Namun, "insiden" di Darul Maza menyadarkan bahwa komitmen baru harus dibangun lagi.

Pertama, perlu strategi politik yang mengedepankan terwujudnya kesejahteraan bersama sebagai target utama. Itu berarti perlu dihindarkan aneka jebakan egoistik yang sekadar menyitir identitas politik sebagai tujuan terselubung dan membiarkan kesejahteraan sebagai hal yang ada di pinggiran.

Kesepahaman akan kepentingan yang lebih besar ini yang dalam perwujudannya masih menjadi perjuangan bersama. Para aktor politik yang semestinya menjadi pionir dalam mengedepankan dialog dan dialektika justru menjadi contoh negatif dalam mengelola secara egoistik antagonisme yang ada. Kesejahteraan dan kebersamaan yang mestinya menjadi bidikan dipinggirkan hanya demi memperoleh kekuasaan, hal yang tentu sangat kita sayangkan.

Kedua, pendidikan perlu ditempatkan sebagai institusi pencerahan. Di sana, guru dan terutama penyelenggara pendidikan tidak memiliki tujuan selain mengelola secara bijak antagonisme yang ada. Juga, menjadikan perkembangan utuh sebagai sasaran akhir di mana otak dicerdaskan, tindakan terus dirangsang, serta hati terus digugah.

Upaya penempatan pendidikan pada porsi yang sebenarnya hanya bisa terjadi ketika kekuasaan dan negara ikut campur tangan, yang oleh Duverger dikategorikan dalam empat hal, yakni perumusan aturan dan prosedur, organisasi pelayanan kolektif dan pola dari aktivitas sosial, pendidikan bagi warga negara, serta mempergunakan kekuatan dalam menghadapi mereka yang merusak hukum.

Khusus tendensi memolitisasi pendidikan oleh yayasan pengelola pendidikan mestinya menjadi perhatian serius. Pengelola perlu kembali pada citra pendidikan sebagai pencerahan, bukan sebaliknya.

Ketiga, integrasi kini mesti sangat didukung oleh teknologi yang berkembang. Hadirnya media cetak, elektronik, dan terutama digital menyadarkan bahwa proses integrasi tidak bisa terjadi tanpa peran media. Arus media sosial yang begitu kuat mesti dijadikan sebuah kekuatan untuk mendorong terjadinya integrasi yang kreatif dan konstruktif.

Teladan optimalisasi peran teknologi ini tidak bisa tidak ditunjukkan oleh partai politik, pemerintah, dan media massa, sekadar menyebut tiga agen penting. Mereka mesti bertekad untuk tidak menjadi pelaku hoaks, tetapi menjadi agen perubahan yang penuh komitmen. Semua sadar tidak saja mengelola antagonisme sosiologis, tetapi secara kreatif dan transformatif turut mendidik bangsa menuju pada kematangan yang diharapkan.