Deforestasi di Indonesia menjadi sorotan dunia. Lima negara— Norwegia, Perancis, Inggris, Jerman, dan Belanda—telah datang ke Indonesia untuk mempertanyakan soal deforestasi yang pernah mencapai angka 3,5 juta hektar pada tahun 2000.

Sorotan dunia itu berfokus kepada harapan Indonesia sebagai benteng hutan tropis dunia bisa menjadi tumpuan (tulang punggung) dunia terkait dengan masa depan pengembangan sumber daya hutan dan perubahan iklim.

Dua isu kehutanan yang populer di Indonesia adalah deforestasi dan perhutanan sosial. Pemerintah RI melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyiapkan penjelasan dalam buku yang diberi judul State of Indonesia's Forest 2018 (Kondisi Hutan Indonesia 2018), untuk disampaikan pada pertemuan 24th Session of the Committee on Forest yang diselenggarakan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), 16-20 Juli 2018 di Roma, Italia.

Angka deforestasi

Luasan deforestasi dalam suatu wilayah sering menjadi perdebatan karena adanya perbedaan definisi atau batasan sebagai ukuran. FAO (2000, Hidayat 2011) mendefinisikan deforestasi (kerusakan hutan) sebagai konversi lahan hutan untuk penggunaan lain atau pengurangan tajam tutupan hutan—melampaui batas—di bawah ukuran 10 persen. Dalam definisi ini, deforestasi ditekankan sebagai kehilangan permanen tutupan hutan dalam jangka panjang akibat pengaruh manusia yang berlanjut dan atau gangguan alam.

WRI (World Resources Institute, 2000) mendefinisikan deforestasi sebagai konversi lahan hutan untuk kepentingan lahan pertanian. Meyer (Hidayat, 2011) juga mendefinisikan deforestasi sebagai penghancuran tutupan hutan secara sempurna melalui pembersihan lahan(land clearing) untuk sektor pertanian.

Definisi WRI dan Meyer membatasi deforestasi hanya untuk peruntukan lahan pertanian. Definisi lebih luas disusun oleh Hidayat (2011) yang menyebut deforestasi sebagai kondisi tak adanya pohon tersisa (ditebang legal-ilegal, hilang, rusak, dan lain-lain) atau tutupan hutan yang lahannya diarahkan untuk tujuan bukan kehutanan.

Definisi ini lebih mendekati kenyataan, yakni  kerusakan hutan tidak hanya karena konversi hutan menjadi lahan pertanian, tetapi juga untuk infrastruktur seperti bangunan, jalan tol, jalan lintas provinsi, bendungan, saluran air (drainase), sungai buatan, pertambangan, lahan penggembalaan liar, ladang berpindah, dan perkebunan—baik dalam skala besar maupun kecil (kelapa sawit, karet, kopi, dan lain-lain)—permukiman, transmigrasi, dan lain-lain.

Belakangan, deforestasi juga dilakukan secara legal oleh negara atas 4,2 juta hektar (ha) melalui KLHK untuk program Perhutanan Sosial.

Angka deforestasi hutan tropis di dunia yang berlangsung pada 1990-2015 mencapai seluas Afrika Selatan—sekitar 1,22 juta km2—dengan 44 persen berlangsung di Brasil dan Indonesia. Luasan tutupan hutan yang hilang sepanjang 2017, dari pemantauan satelit land set, meningkat lebih dari 50 persen dibanding tahun 2011. Data terbaru ini diungkapkan tim penelitian dari University of Maryland pada pembukaan konferensi Global Forest Watch bersama WRI di Oslo, Norwegia, 27-28 Juni 2018.

Angka deforestasi di Indonesia mencapai 2,82 juta ha per tahun pada 1977-2000. Sekitar 59 juta ha sumber daya alam hutan terdegradasi, dengan dibukanya kawasan hutan dalam skala besar untuk berbagai keperluan pembangunan di luar sektor kehutanan, pencurian kayu dan perdagangan kayu ilegal, perambahan hutan, dan kebakaran hutan.

Deforestasi hutan tropis Indonesia pada 2007 mencapai 120,35 juta ha atau 62,6 persen dari luas daratan Indonesia (Ka'ban, 2008). Dalam luasan kawasan hutan tersebut, melalui visi Nawacita, seluas 12,7 juta ha areal hutan dimanfaatkan bagi perhutanan sosial dan 4,1 juta ha untuk obyek reforma agraria. Sebagai implementasi dari visi ini, diterbitkanlah sejumlah kebijakan pada 2016 (Permenhut No 83/2016) berupa pengakuan perlindungan kemitraan kehutanan dan pada 2017 (Permenhut No 39/2017) berupa izin pengelolaan hutan perhutanan sosial di lahan Perum Perhutani.

Legalisasi deforestasi

Untuk tujuan utama meningkatkan kesejahteraan masyarakat hutan dan pemerataan ekonomi, kawasan hutan seluas 12,7 juta ha dialokasikan pemerintah dalam program Perhutanan Sosial (PS). PS merupakan kebijakan pengelolaan hutan lestari untuk masyarakat dan petani miskin yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan lingkungan hidup. Lima skema yang digunakan adalah hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat (HA), dan kemitraan kehutanan (KK) di seluruh wilayah Indonesia.

Di Jawa dan Madura, pengelolaan kawasan hutan dimandatkan oleh negara kepada Perum Perhutani (PP No 72/2010). Perum yang mencatat pendapatan usaha Rp 4,11 triliun dengan laba bersih Rp 273 miliar ini total asetnya meningkat 5 persen menjadi Rp 4,49 triliun (Perum Perhutani, 2016) dalam pengelolaan luasan kawasan hutan 2,458 juta ha. Mayoritas kawasan hutan itu, yakni 1,127 juta ha, dialokasikan untuk program PS di Banten (38.527 ha), DIY (15 ha), Jawa Barat (303.426 ha), Jawa Tengah (251.468  ha), dan terluas di Jawa Timur (533.637 ha).

Pembagian hasil dari program PS secara eksplisit ditetapkan 30 persen untuk Perhutani dan 70 persen untuk petani dalam kegiatan tanaman pokok kehutanan. Untuk kegiatan tanaman multiguna, bagian petani 80 persen, sementara untuk kegiatan tanaman semusim dan ternak 90 persen, untuk kegiatan budidaya ikan tambak 70 persen, dan untuk kegiatan usaha jasa lingkungan 90 persen.

Eliminasi

Lebih dari separuh (51,87 persen) lahan di dalam kawasan hutan di Jawa dibagi-bagi kepada petani dalam program PS. Pembagian lahan dilakukan secara legal melalui SK dalam bentuk sertifikat tanah dengan jangka pengelolaan sampai 35 tahun yang dapat diperpanjang. Dengan kata lain, negara—melalui KLHK—telah melegalkan kawasan lahan Perhutani untuk dikelola oleh warga masyarakat.

Penyerahan ribuan sertifikat tanah kepada warga masyarakat merupakan bentuk legal deforestasi. Deforestasi legal dengan melibatkan aktor utama dari pemerintah tidak hanya berlangsung dalam program PS, tetapi juga pada pembangunan infrastruktur, mulai dari jalan lintas provinsi, jalan tol, drainase, sungai buatan, dan lain-lain.

Legalitas untuk melakukan praktik perusakan hutan juga diberikan kepada perusahaan-perusahaan pemerintah dan swasta nasional serta multinasional di berbagai wilayah Nusantara, dengan dalih untuk kepentingan investasi dan pembangunan.

Komitmen kuat dari negara melalui pemerintah eksekutif, legislatif, dan yudikatif lewat aksi nyata dan dengan dukungan dari berbagai elemen bangsa sajalah yang dapat mengeliminasi deforestasi. Upaya menekan deforestasi dan pemantapan program reforestasi (penghutanan kembali) tidak hanya akan menjaga kelestarian hutan dan habitat di dalamnya, tetapi juga mencegah terjadinya bencana banjir dan  longsor pada musim hujan, kekeringan dan kebakaran di musim kemarau, memperbaiki penyerapan karbon, serta mencegah hancurnya ekosistem penyediaan air (H2O) dan oksigen (O2).