Susu kental manis mendadak hangat dibicarakan. Penyebabnya adalah Surat Edaran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) HK.06.5.51.511.05.18.2000 Tahun 2018 tentang Label dan Iklan pada Produk Susu Kental dan Analognya. Inti surat edaran ini adalah pedoman yang lebih tegas dalam pengiklanan susu kental manis dan produk analognya.

Secara sederhana, produsen susu kental manis tak boleh mengklaim produknya sebagai susu sumber zat gizi untuk pertumbuhan, terutama untuk bayi. Mengapa demikian? Ini karena kandungan susu—tepatnya zat gizi—seperti protein, di dalam susu kental manis tak memadai untuk mendukung pertumbuhan. Sederhananya, memilih susu kental manis sebagai makanan sumber susu bukanlah pilihan tepat. BPOM menyatakan, surat edaran itu bertujuan melindungi hak konsumen atas produk pangan.

Pro dan kontra pendapat akibat terbitnya surat edaran BOPM itu ramai di media cetak ataupun sosial. Bahkan, masyarakat telanjur menganggap susu kental manis tak mengandung susu. Masyarakat merasa dibohongi oleh produsen susu kental manis selama bertahun-tahun. Bagaimana mungkin susu kental tak mengandung susu atau hanya mengandung sedikit susu?

Susu kental tetapi encer

Memang, susu kental manis itu miskin susu. Berdasarkan SNI 01-2971-1998, kandungan proteinnya, sebagai bagian penting dalam susu, 7-10%.

Untuk setiap sajian (±4 sendok makan), susu kental manis hanya dapat memenuhi lebih kurang 2% angka kecukupan protein per hari. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan kandungan gulanya (sukrosa), yang berkisar 40-50%. Susu kental manis lebih tepat disebut gula kental bersusu.

Komposisi susu kental manis di negara lain pun hampir sama dengan komposisi menurut SNI-2971-1998. Dalam bahasa Inggris, susu kental manis disebut sweetened condensed milk atau condensed milk. Penamaan ini bermakna susu kental berpemanis gula. Artinya, susu menjadi komponen utama, bukan gula. Padahal, kenyataannya adalah sebaliknya, gula kental yang ditambahi susu.

Walaupun terkesan amat terlambat, Surat Edaran BPOM itu amat penting untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen produk pangan. Hal itu akan menghindarkan masyarakat dari kerugian akibat kesalahpahaman yang selama ini terjadi.

Masyarakat telanjur meyakini bahwa susu kental manis adalah minuman kaya susu. Surat edaran itu juga menghindari pelanggaran etika kesehatan masyarakat dalam hal iklan oleh produsen pangan.

Iklan dan etika

Catherine A Womack, Guru Besar Filsafat dari Bridgewater State University, Boston, Massachusetts, memfokuskan penelitian pada etika kesehatan masyarakat dan kebijakan kesehatan melandasi sinyalemen saya itu. Melalui artikelnya, "Public Healthy and Obesity: When a Pound of Prevention Really is Worth an Ounce of Cure" dalam Public Health Ethics Journal (2012), Womack menyimpulkan bahwa kendali individu atas perilaku makannya terbatas.

Artinya, kuantitas makanan yang dikonsumsi seseorang terutama bukan akibat selera terhadap makanan itu, melainkan sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, meliputi ukuran atau porsi sajian (bungkus, kotak, kantong, botol, atau kaleng) dan godaan iklan.

Sebagai contoh, penentu kuantitas asupan popcorn bukanlah rasa, tetapi ukuran porsi sajian. Orang cenderung menghabiskan satu kantong popcorn walau ukuran kantong diduakalikan dari ukuran sekarang.

Secara hukum, produsen pangan tidak salah menetapkan porsi produk pangannya, seberapa banyak yang mereka mau. Akan tetapi, dari aspek perlindungan konsumen, hal itu merupakan pelanggaran etika kesehatan masyarakat.

Womack menyatakan bahwa menganjurkan penderita kegemukan atau obesitas mengurangi asupan pangan, sementara produsen makanan dibebaskan menetapkan ukuran porsi produk—bahkan bisa beriklan gencar—adalah tidak adil.

Ada persoalan dan pertentangan etika kesehatan masyarakat di situ. Oleh karena itu, untuk menurunkan populasi penderita obesitas, yang harus diatur adalah produsen makanan. Misalnya, dengan mewajibkan mereka memperkecil ukuran porsi produknya.

Argumen Womack juga pas diterapkan dalam kasus susu kental manis. Faktor eksternal, dalam hal ini julukan "susu kental", apalagi ditambah dengan gambar dan klaim tertentu, akan mendorong masyarakat untuk mengonsumsi melebihi pertimbangan internalnya, seperti harga dan rasa.

Kita sependapat bahwa sebagian besar masyarakat mengira susu kental manis adalah minuman yang kaya susu, padahal kenyataannya tidak. Inilah yang disebut Womack sebagai pelanggaran etika kesehatan masyarakat: membiarkan masyarakat menjadi korban kesalahpahamannya.

Pelanggaran etika

Memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat adalah contoh lain pelanggaran etika kesehatan masyarakat. Klaim minyak goreng nonkolesterol, misalnya, membuat masyarakat berkesimpulan bahwa minyak goreng itu tidak berkolesterol.

Masyarakat akan bersedia membayar lebih mahal, padahal tak satu pun minyak goreng nabati mengandung kolesterol. Kalau sudah demikian, siapa yang melindungi masyarakat dari ketidaktahuannya?

Ada juga yang mengklaim minyak gorengnya bisa diminum. Itu benar karena faktanya memang minyak itu jernih dan bisa diminum. Pertanyaannya adalah apakah tujuan minyak goreng untuk diminum sehingga perlu bisa diminum?

Asosiasi pikiran khalayak tentang jernih adalah hal-hal yang baik. Minyak goreng itu baik, sampai-sampai jernih dan bisa diminum. Demikianlah pemaknaan kelirunya. Kembali, masyarakat menjadi korban. Itu adalah pelanggaran etika kesehatan masyarakat. Kita dukung agar BPOM semakin tegas.