KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Budi Waseso

Dalam periode pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Direktur Utama Perum Bulog telah tiga kali diganti. Terakhir, Budi Waseso menggantikan Djarot Kusumayakti. Dalam periode itu pula, penggantian/perombakan jajaran direksi kerap terjadi.

Penggantian tersebut diduga banyak kaitannya dengan pengadaan dalam negeri yang rendah dan lesu. Khusus penunjukan Budi Waseso, Presiden berujar, "Bulog perlu dipimpin oleh sosok yang tegas", walau belum jelas kaitannya dengan  pengadaan dalam negeri serta kualitas beras Bulog.

Dalam dua tahun terakhir, Djarot Kusumayakti hanya mampu mencapai pengadaan yang rendah: 2,1 juta ton setara beras pada 2017 atau 58 persen dari target 3,7 juta ton. Sejak awal 2018 sudah terlihat, laju pengadaan dalam negeri sangat rendah, lebih rendah daripada tahun lalu. Target pengadaan juga diturunkan menjadi 2,7 juta ton. Salah satu alasannya, penyaluran beras untuk public service obligation (PSO) Bulog berkurang drastis.

Bulog selalu dituntut oleh pemerintah agar melakukan pengadaan gabah/beras dari produksi dalam negeri tinggi, sekitar 4 juta ton setara beras. Itulah salah satu keinginan politik yang harus diemban oleh  pimpinan Bulog, baik yang lama maupun baru.

Data empiris menunjukkan, hampir tak pernah Bulog mampu mencapai pengadaan dalam negeri di atas 3 juta ton. Pada 2014 dan 2015, pengadaan hanya 60-61 persen, 92 persen pada 2016, dan hanya 58 persen pada 2017.

Padahal, besar kecilnya jumlah pengadaan gabah/beras Bulog banyak ditentukan besarnya insentif buat petani atau pengusaha penggilingan padi (PP) menjual gabah/beras ke Bulog. Insentif tersebut terkait erat dengan harga pasar gabah/beras dan tinggi rendahnya harga pembelian pemerintah (HPP). Semakin tinggi selisih HPP di atas harga pasar, semakin besar insentif seseorang menjual gabah/beras ke Bulog.

Demikian juga sebaliknya. Seperti saat ini, HPP (Rp 3.700/kg gabah kering panen/GKP) di bawah harga pasar sekitar Rp 4.500/kg GKP atau HPP berada jauh di bawah ongkos produksi per kg GKP sebesar Rp 4.280. Harga GKP akan terus naik pada bulan-bulan mendatang seiring berakhirnya musim panen rendeng.

Fleksibilitas harga 10 persen di atas HPP belum cukup merangsang petani/pelaku usaha menjual gabah/beras ke Bulog. Padahal, para pelaksana Bulog di lapangan ataupun pusat telah bekerja sangat keras, ditambah dengan bantuan tim sergab dari unsur TNI AD. Para petani/pelaku usaha tidak bisa dipaksakan harus menjual gabah/beras ke Bulog kalau insentifnya di bawah biaya produksi.

Hingga akhir Juni, pengadaan Bulog baru mencapai 984.000 ton, jauh dari yang ditargetkan, atau baru tercapai 36 persen. Bulog telah kehilangan  momentum memupuk pengadaan dalam negeri, karena hingga akhir Juni, Bulog belum mampu mencapai pengadaan lebih dari 2 juta ton setara beras. Bulog diperkirakan akan kesulitan memperoleh tambahan pengadaan 1 juta ton hingga Desember.

Beberapa tahun terakhir, Bulog memperbanyak pengadaan beras yang berasal dari penggilingan padi kecil/sederhana (PPK/S), tidak ketat lagi dalam penerapan persyaratan teknis PP yang menyuplai beras ke Bulog. Tujuannya untuk memperbesar volume pengadaan dengan melonggarkan standar kualitas, yang telah berdampak buruk terhadap kualitas beras untuk program beras sejahtera (rastra) bantuan sosial (bansos) rastra serta meningkatnya biaya proses ulang. Hal itu telah berpengaruh buruk pada kinerja Bulog sebagai korporasi.

Baru-baru ini, Bulog mengakui menemukan beras tidak layak (kedaluwarsa) mencapai 200.000 ton yang disimpan di 1.400 gudang Bulog (Kompas, 27 Juni 2018). Masalah kualitas sudah lama dihadapi Bulog, tetapi belum tuntas diatasi. Masalah kualitas beras banyak kaitannya dengan kualitas gabah/beras pengadaan.

Kualitas beras pengadaan

Penanganan kualitas gabah/beras dilakukan Bulog dalam tiga tahapan: sebelum masuk ke gudang, pada waktu disimpan di gudang, dan pada saat penyalurannya.

Tahapan yang sangat menentukan kualitas beras Bulog selanjutnya adalah kualitas gabah/beras pengadaan. Penyuplai gabah/beras ke Bulog berasal dari petani dan mitra kerja. Umumnya mereka adalah PPK/S sebagai produsen beras kualitas medium/rendah. Beras medium tentu tidak dapat disimpan terlalu lama—paling lama enam bulan—karena derajat sosoh rendah, butir patah, dan butir menir banyak.

Pada saat Bulog kesulitan memperoleh gabah/beras karena harganya tinggi, seharusnya Bulog berhenti melakukan pengadaan. Kalau diharuskan, para pelaksana di lapangan terpaksa menoleransi kualitas agar memperoleh gabah/beras yang sesuai harganya, yaitu lebih rendah daripada ketentuan.

Bulog juga melakukan kegiatan penanganan kualitas gabah/beras di gudang, seperti water proofing dan aerasi, sanitasi kebersihan, serta pengendalian hama gudang dan tikus. Pada saat penyaluran, Bulog tak punya standar kualitas rinci sebagai acuan karena tak tercantum dalam inpres pengadaan beras. Dalam inpres hanya diatur standar kualitas pengadaan, yang tidak dapat digunakan pada waktu penyaluran. Karena beras telah disimpan lebih dari enam bulan, terjadi penurunan mutu, perubahan warna, dan muncul bau kurang sedap.

Dalam kaitan ini, beberapa hal perlu dibenahi. Pertama, sebaiknya target pengadaan jangan dipakai sebagai penentu keberhasilan sebagai pimpinan Bulog. Seharusnya hal itu dikaitkan juga dengan kualitas gabah/beras pengadaan serta jumlah penyaluran beras untuk PSO.

Kedua, benahi standar kualitas penyaluran beras Bulog, terutama penyaluran PSO. Jangan paksakan pengadaan tinggi pada saat HPP telah jauh lebih rendah daripada harga gabah/beras di pasar. Kalau dipaksakan, hal itu akan berdampak buruk pada kualitas gabah/beras pengadaan, yang dapat merugikan Bulog.

Ketiga, insentif HPP tidaklah cukup sebagai instrumen. Perlu instrumen lain untuk memperbesar pengadaan tanpa mengorbankan kualitasnya. Salah satu di antaranya adalah mewajibkan PP menyetor beras 5-10 persen ke Bulog yang digunakan untuk keperluan publik, seperti cadangan beras pemerintah. Kepada PP yang turut berpartisipasi perlu diberikan insentif, misalnya keringanan pajak.