Tanpa terasa, setengah dari tahun 2018 telah saya jalani. Bahkan sudah lebih satu hari, pada hari Anda membaca tulisan ini. Apa yang sudah Anda lakukan selama setengah tahun itu? Bagaimana Anda memanfaatkan waktu yang tak bisa kembali itu? Pertanyaan itu mengiang di telinga saya selama beberapa minggu belakangan ini.

Terengah-engah

Dalam perjalanan untuk makan malam dengan dua anggota staf kantor, di dalam mobil yang mengantar kami ke salah satu mal, saya bercerita bahwa belakangan ini saya merasa waktu yang berjalan begitu cepatnya tak saya manfaatkan dengan semaksimal mungkin.

Saya tidur sekitar lima jam sehari. Bahkan, belakangan saya sering terjaga pukul dua pagi dan kemudian tak bisa tidur lagi sampai matahari mulai terbit. Dan dalam kurun waktu itu, saya hanya tiduran sambil mencoba memejamkan mata meski tak berhasil.

Kadang pada saat seperti itu, saya mulai berkhayal untuk memiliki perusahaan yang maju, berkhayal dalam usia 60 tahun saya akan berbuat ini dan itu, memiliki ini dan itu. Tetapi, ketika hari dimulai, saya seperti kehabisan waktu untuk mewujudkan khayalan itu.

Saya merasa waktu berjalan lambat sebelum pukul 7 pagi. Begitu pukul 7 lewat, saya merasa terengah-engah melawan waktu. Misalnya saja pada hari saya membuat tulisan ini. Saya membutuhkan waktu sekitar dua jam dan membutuhkan waktu satu jam untuk berolahraga.

Selesai berolahraga saya menghabiskan waktu setengah jam untuk makan pagi sekaligus mengeringkan badan dari keringat karena olahraga. Kemudian mandi dan berpakaian untuk ke kantor. Kebetulan saya bisa menyelesaikan kegiatan di kamar mandi dan berpakaian dalam waktu setengah jam.

Saya merasa, kok, baru saja bangun pagi, tiba-tiba tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 10.30. Sampai pada pukul 12 siang, saya hanya dapat menghadiri satu rapat di kantor dan mengerjakan beberapa hal kecil sebelum makan siang.

Kadang acara mengisi perut itu bisa mundur sampai pukul 1 siang. Selesai makan siang yang kadang menghabiskan waktu satu jam lebih, saya kembali bekerja sampai pukul 5-6 sore. Satu hari lewat begitu saja tanpa rasa.

Belum lagi kalau harus rapat ke sebuah tempat yang membutuhkan waktu lama untuk sampai di tujuan. Bukan karena macetnya, tetapi karena jarak yang jauh. Sehingga tak jarang menghabiskan lima jam hanya untuk satu rapat yang belum tentu menghasilkan pemasukan.

Mengairi

Saya memang bukan orang yang mampu bekerja dari pukul 1 siang sampai pukul 5 pagi untuk urusan kantor, seperti saya dengar cerita bahwa beberapa pengusaha sukses memiliki jam kerja semacam itu. Kalau mendengar itu, saya suka berpikir apakah saya ini tidak sukses seperti mereka, selain jalan hidupnya berbeda, tetapi juga tidak bekerja seperti jadwal mereka.

Saya merasa waktu saya habis dan itu semua belum termasuk kalau harus menghadiri seminar, mengajar, sakit, dan rasa malas atau rasa bosan yang timbul. Padahal saya ini masih ingin belajar memasak, belajar bahasa Inggris, belajar akuntansi, meski saya tahu tingkat kebodohan saya sudah tak tertolong lagi. Dan, ingin punya waktu seperti teman-teman melakukan kegiatan sosial.

Sejujurnya saya membuat tulisan ini pada pukul 4 pagi di hari libur, karena hari itu saya akan memiliki sejuta kegiatan, termasuk rapat dengan klien pada pukul 2 siang dan harus melakukan presentasi bisnis pada pukul 6 sore. Padahal awalnya, saya berencana memanfaatkan hari libur untuk membersihkan rumah dan membaca buku.

Maka, pertanyaan di atas sebagai pembukaan tulisan ini tiba-tiba mengiang di telinga. Bagaimana saya akan menghabiskan sisa waktu agar pada masa tua saya tidak perlu menyesal dan tetap memiliki kualitas hidup yang bisa membuat saya berbahagia?

Waktu tak peduli dengan saya, ia bergulir tak bisa dihentikan. Bahkan, saya merasa waktu semakin bergulir cepat belakangan ini, sampai saya terengah-engah dibuatnya. Orang mengatakan, sampai tua saya akan bekerja. Atau mengatakan, aku akan mati kalau tidak bekerja.

Kalau saya mendengar pernyataan itu, saya suka bingung. Apakah pernyataan itu memang menunjukkan bahwa mereka sangat mencintai pekerjaannya atau karena mereka sampai tua terengah-engah karena kehabisan waktu untuk mencapai mimpi yang ditargetkan, atau hanya alasan untuk takut merasa tak berguna?

Sampai tulisan ini saya akhiri, saya masih tak tahu bagaimana memanfaatkan waktu seefektif mungkin sehingga saya dapat bekerja secara profesional sekaligus mampu menikmati kehidupan personal tanpa harus terengah-engah. Tiba-tiba nurani saya berkicau.

"Siapa yang suruh kamu terengah-engah? Tiga hal yang tak kamu pahami. Disiplin, prioritas, dan meredefinisikan kebahagiaan hidupmu. Tak semua rapat, undangan, dan seminar harus kamu hadiri, kecuali kamu mau dilihat orang ada di mana-mana, seperti orang kurang kerjaan, padahal kamu punya banyak kerjaan dan terus mengeluh kekurangan waktu."