Jemu bosan menyimak remah-remah informasi berseliweran lewat media sosial, awak kangen memanfaatkan saat senggang dengan mengulangi kegemaran kolot itu: membaca buku, yang maujud kertas, tak bergelombang pulsa.

Punya hobi beli buku lalu ditumpuk di rak, dibaca kapan-kapan bila ada kesempatan ternyata tak buruk-buruk amat. Begitu kau perlu bacaan, setumpuk kitab tersedia. Tinggal pilih. Karena selera tak bisa diperdebatkan, tak perlulah di sini dipertanggungjawabkan kenapa kali ini yang kuambil, dari belasan buku koleksi yang belum terbaca, adalah Semua Berawal dengan Keteladanan, Catatan Kritis Rosihan Anwar (Penerbit Buku Kompas, Mei 2007).

Ini kumpulan tulisan wartawan legendaris yang berpulang pada 14 April 2011 di usia 88 tahun. Kolom ini tak hendak bicara tentang substansi tulisannya. Cuma mengangkat kata seru yang menjadi judul di atas, yang berkali-kali digunakan Rosihan sebagai kata penutup sejumlah artikelnya. Yahud adalah interjeksi yang begitu memasyarakat bahkan sampai ke Balungpanggang, desa pelosok amat di Jawa Timur, dekade 70 sampai 80.

Setelah era itu, hampir tak ada yang mengujarkannya, kecuali Rosihan. Angkatan milenial bisa dipastikan tak mengenal ujaran itu. Mereka lebih akrab dengan wow, yang sekelas kata dan semakna dengan yahud: sama-sama mengungkapkan keterpersonaan. Ditilik dari segi etimologis, wow lebih gamblang asal usulnya, yakni dari bahasa asing. Sedikitnya Oxford Dictionarymerekamnya. Lalu dari mana si yahud, kata ungkapan kekaguman itu muncul? Kira-kira penciptaannya serupakah dengan pelahiran hebring (yang juga sekelas kata dan semakna dengan yahud) pelesetan adjektiva hebat, yang kerap diujarkan sebagai interjeksi pula?

Andaikan, sekali lagi andaikan, betul demikian, bahwa kata yang digemari pendiri pemilik harian Pedoman sebagai pengakhir tulisan itu adalah pelesetan, izinkanlah awak berhipotesis, atau sedikitnya berspekulasi bahwa kata pangkal yang menurunkan yahud tak lain dan tak bukan adalah Yahudi. Ha?

Meskipun ini sekadar spekulasi, adalah sedikit-sedikit argumen linguistiknya.Yahud yang oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Keempat dimaknai sebagai 'hebat', 'luar biasa' paralel dengan pengarakteran ras yang sukses melahirkan nabi, rasul, mahapenemu, mahakreator, dan mahapemikir.
Musuh, pesaing, sahabat, netralis seiasekata Yahudi itu hebat, luar biasa. Kehebatan dan keluarbiasaannya seolah abadi. Dari awal zaman hingga kini, detik ini. Kau mesti berterima kasih, cukuplah di batin saja, kepada ras yang warganya memungkinkanmu ngakak terpingkal-pingkal di depan layar kaca, menghindarkanmu tersesat di jalan saat nyetir dan menuntunmu melewati jalan-jalan tikus saat jalan utama macet total.

Masih seabrek lain kenikmatan hidup, tentu dengan sekian banyak efek samping yang getir menjengkelkan, hadir di sini hari ini akibat kehebatan dan keluarbiasaan kaum yang pernah mengalami tragedi akibat pembasmian kolosal itu.

Baiklah, argumen itu rapuh. Sang linguis yang terlampau serius akan dengan enteng menggugurkan spekulasi bahwa Yahudi yang nomina menurunkan yahud yang adjektiva. Yang kaprah justru sebaliknya:yahud haruslah nomina, dan turunannya yang berjenis adjektiva, tinggal menambahkan huruf i pada nomina itu. Begitulah salah satu gejala derivasi kata dalam bahasa Indonesia. Ingat dari hewanke hewani! Jadi, yang logis: Yahud nomina lebih tua melahirkan Yahudi adjektiva. Hanya saja, yang logis tak selalu yang nyata, bukan?

Akhir kalam, pengomongan perihal yahudini sekalian penting buat mencela penyusun KBBI yang sembrono dalam menakrif sifat setiap lema. Tiga interjeksi:yahud, hebring, dan wow yang sekelas kata dan semakna, cuma yang pertama yang dipandang sebagai kata takbaku. Untunglah, Rosihan (rihat dalam damai, Bung!) memuliakan yahud menjadi kata baku dan tak perlu menuliskannya dengan huruf miring. 

Mulyo Sunyoto