Stres adalah bagian dari kehidupan, setiap orang pasti pernah mengalami situasi yang menekan. Jadi, tak usah takut yang lebih perlu dipikirkan adalah mengelolanya, bagaimana menggunakan sumber daya kita secara efektif dalam merespons penyebab/situasi stres sehingga dapat mengatasi munculnya gangguan psikologis lebih jauh, seperti depresi atau cemas serta dapat meningkatkan kualitas hidup kita.

Strategi

Menurut Whiteman, Verghese, dan Petersen (1996), secara garis besar ada tiga macam strategi mengelola situasi stres.

1. Menerima

Situasi stres acap kali menjadi lebih buruk karena seseorang menggunakan cara tersendiri untuk melawannya. Misalnya, A membenci bosnya, A marah karena bosnya naik pangkat sementara A tidak. A menemukan kesalahan pada tiap keputusan yang dibuat oleh sang atasan. Akibatnya, A menjadi penuh stres dengan pekerjaannya. Nah, bagaimana jika A menerima kondisi atasannya dan justru membantunya dalam memutuskan sesuatu? Pekerjaannya tetap sama, tenggat akan tetap ada, tetapi tidak akan terjadi permusuhan ekstra tadi. Memang tidak mudah bagi A untuk menerima bosnya, tetapi dia mencobanya dan ternyata pekerjaannya menjadi jauh lebih mudah.

2. Mengubah

Dapatkah Anda mengubah aspek-aspek tertentu dari kehidupan kerja yang menyebabkan stres? Bisakah Anda mengatur ulang jadwal atau mengambil tugas lebih sedikit?

Anda mungkin menemukan cara untuk mengurangi beban tanggung jawab. Anda dapat menetapkan tenggat pekerjaan secara lebih masuk akal. Anda dapat merevisi sasaran pribadi sehingga tidak perlu menjadi wakil direktur pada bulan depan. Jika Anda dapat memilih kinerja di bidang tertentu yang lebih menjadi prioritas, Anda akan mengurangi tingkat situasi stres.

Anda juga dapat mencoba membentuk tim atau delegasi. Ajak orang lain untuk berbagi kesuksesan maupun kegagalan Anda, di tempat kerja maupun di rumah. Hal ini akan membantu meringankan tekanan pribadi.

Anda pun dapat mengubah situasi stres dengan menyediakan waktu untuk beristirahat. Istirahat yang tepat harus menjadi prioritas sebanyak tenggat apa pun. Anda akan bekerja lebih baik dalam jangka panjang, jika Anda telah beristirahat. Jika memaksakan diri terlalu keras bekerja, Anda mungkin justru akan kehabisan tenaga dengan membuang waktu sepanjang bekerja. Atur waktu istirahat dan jangan sia-siakan aktivitas untuk menikmati waktu luang lainnya. Benar-benar beristirahat.

3. Menghindari

Anda mungkin perlu keluar dari situasi yang menekan. Memang strategi ini tidak disarankan bagi suatu kasus perkawinan yang penuh stres, tetapi jika ada berbagai relasi lainnya yang sangat membuat Anda stres, cobalah untuk mundur/menarik diri. Jika Anda memiliki kegiatan di tempat ibadah, organisasi sosial atau lingkungan tetangga yang menekan, berhenti atau keluarlah, kurangi jadwal kehadiran. Mungkin akan lebih sehat untuk mencari pekerjaan dengan situasi stres yang lebih minimal, walaupun pengangguran bisa pula menimbulkan stres lainnya.

Katalisator stres

Lebih detail, Whiteman, Verghese, dan Petersen (1996) menjelaskan bahwa ada berbagai hal pada pribadi seseorang yang memperbesar beban stres yang disebut sebagai katalisator. Beberapa orang membuat gunung dari gundukan tanah. Mereka menciptakan stres meski sebenarnya tidak perlu ada atau membuat peristiwa yang sedikit menegangkan menjadi seperti insiden besar. Katalisator stres tersebut di antaranya adalah:

Harga diri rendah. Ketika orang mengevaluasi diri sendiri, ia cenderung melihat setiap peristiwa negatif sebagai suatu kerugian pribadi. Orang seperti ini berjuang demi martabat atau gengsi mereka sendiri. Hal seperti ini dengan mudah akan menambahkan stres pada situasi yang sebenarnya tidak terlalu menegangkan.

Bertanggung jawab untuk orang lain. Terkadang orang merasa terlalu bertanggung jawab untuk anggota keluarga lain atau teman dekat. Mereka tidak mengamati batas-batas antara keberuntungan mereka sendiri dan nasib baik orang-orang di sekitar mereka. Hal ini dapat menyebabkan kecemasan yang besar, karena orang lain tentu saja tidak selalu melakukan apa yang Anda inginkan dari mereka.

Antagonisme. Beberapa orang sepertinya memiliki sikap yang "masam", mereka tidak dapat akur (cocok) dengan orang lain. Bahkan, mereka "menggosok" semua orang dengan cara yang salah, baik memang diniatkan ataupun tanpa disadarinya. Orang-orang seperti ini dapat mengubah percakapan normal menjadi perdebatan dan perselisihan ringan menjadi perkelahian besar.

Kurangnya keyakinan. Sekalipun ada wejangan agamis yang mengatakan, "Jangan khawatir tentang apa pun", tetap ada banyak orang yang khawatir terus-menerus. Mereka membayangkan skenario terburuk yang mungkin terjadi dan membuang energi berharga dengan mengkhawatirkan bahwa berbagai hal akan berubah seperti itu. Mereka perlu belajar lebih mempercayai Tuhan atau menguatkan keimanan untuk situasi-situasi semacam ini.

Kesehatan yang buruk. Jika seseorang sudah sakit, dia menjadi kurang mampu menghadapi tekanan fisik dari situasi yang sangat menekan. Hal ini membuat situasi tersebut bahkan lebih kritis daripada seharusnya.

Perilaku kompulsif-adiktif. Banyak orang mencoba untuk "melarikan diri" dari situasi stres dengan perilaku kompulsif-adiktif, seperti mabuk minuman keras atau zat terlarang, merokok, berjudi, dan berbelanja. Tindakan seperti ini dapat memberikan pengalihan sementara, tetapi dalam jangka panjang justru akan memperburuk stres.

Mengelola respons stres

Tanggapan naluriah kita terhadap suatu peristiwa stres sesaat mungkin merupakan hal yang sederhana, tetapi respons terhadap situasi stres dapat menjadi rumit. Pengelolaan stres yang baik membutuhkan perhatian pada berbagai aspek situasi dan tanggapan kita terhadapnya.

Pertama, kita perlu membersihkan semua katalisator stres, menemukan semacam titik nol dari mana kita dapat merespons dengan jujur peristiwa-peristiwa stres yang ditemui. Artinya, kita tidak perlu khawatir tentang orang lain, atau membuat musuh, atau melakukan pelanggaran pribadi pada setiap hal kecil. Situasi stres sudah cukup buruk tanpa tambahan berbagai faktor ini.

Kemudian, kita perlu memeriksa situasi stres untuk melihat apakah kita dapat memperbaikinya melalui tiga strategi di atas, yaitu penerimaan, perubahan, atau penghindaran. Paling tidak, kita perlu menetapkan jeda/istirahat di sepanjang proses untuk memungkinkan pemulihan yang tepat.

Namun, kita tidak hanya membutuhkan waktu untuk menjadi pulih, kita perlu belajar bagaimana memulihkan diri secara fisik, mental, emosional, dan spiritual. Kita juga perlu memantapkan berbagai kebiasaan baik yang akan membuat kita tetap berada pada titik keseimbangan dan siap menghadapi tantangan berikutnya.