KCNA VIA REUTERS

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un (keempat dari kiri) menyampaikan pengarahan, bersama Ri Hong Sop (kedua dari kiri) dan Hong Sung Mu (kanan), mengenai program senjata nuklir dalam foto tanpa tanggal yang dirilis kantor berita Korea Utara, Korean Central News Agency (KCNA), di Pyongyang, Korut, pada 3 September 2017.

Setelah menyaksikan "pertunjukan besar" pada 12 Juni lalu, dunia kini kembali pada realitas. Upaya denuklirisasi di Korea Utara bukan perkara gampang.

Situasi tak mudah itu tergambar jelas pasca-kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo di Pyongyang, Korea Utara, Jumat-Sabtu (6-7/7/2018) pekan lalu. Bertemu dengan Kim Yong Chol, tangan kanan Pemimpin Korut Kim Jong Un, Pompeo membahas sejumlah detail dari kesepakatan Presiden AS Donald J Trump dan Kim Jong Un di Singapura bulan lalu. AS dan Korut sepakat mewujudkan denuklirisasi di Semenanjung Korea. Dengan kata lain, Korut sedia menghancurkan senjata nuklir dan rudal balistik serta fasilitas pendukungnya.

Pada Jumat-Sabtu lalu, Pompeo—sebelum ini sudah dua kali datang ke Pyongyang dan bertemu Pemimpin Korut—membicarakan jadwal denuklirisasi bersama Kim Yong Chol. Dua pejabat tinggi itu juga membahas langkah yang harus dilakukan Korut untuk menunjukkan komitmen pada denuklirisasi, antara lain penghancuran fasilitas uji coba mesin rudal balistik.

Seusai pertemuan, Pompeo menyebut pembicaraannya dengan Kim Yong Chol positif. Ada kemajuan yang dicapai. Namun, pernyataan berbeda diberikan Kementerian Luar Negeri Korut. Menurut mereka, AS bergaya "gangster", yakni mendesakkan keinginannya kepada Korut untuk melakukan denuklirisasi. Bahkan, Korut menyebut apa yang ditunjukkan AS dalam pertemuan Kim Yong Chol dan Pompeo tidak seusai dengan semangat pertemuan Kim Jong Un-Trump.

Pada intinya, Korut dikabarkan tak suka karena hanya mendapat jaminan tidak diserang AS, sementara mereka harus menghancurkan fasilitas militer. Setelah hancur, fasilitas militer tak bisa dikembalikan seperti semula. Sebaliknya, jaminan keamanan dapat dicabut sewaktu-waktu dan Korut diserang oleh kekuatan yang dipimpin AS. Dengan kata lain, Pyongyang menilai konsesi jaminan keamanan jauh dari memadai.

Sampai saat ini, AS memang bersikeras tak akan mengurangi sanksi atas Korut hingga denuklirisasi terjadi. Dengan sikap ini, Korut berarti tidak diberi kelonggaran dari sisi ekonomi oleh AS hingga nuklir dan rudal balistik yang dimilikinya dihancurkan.

Merespons tudingan AS bergaya gangster, Pompeo tampak tidak terlalu menghiraukannya. Ia tetap menyampaikan bahwa pembicaraannya dengan Kim Yong Chol produktif dan apa yang diinginkan AS adalah apa yang dinginkan dunia.

Sikap sangat positif terhadap pertemuan Pompeo-Kim Yong Chol juga diperlihatkan Korea Selatan. Menurut Seoul, pertemuan puncak Trump-Kim Jong Un akan mampu menghapus berbagai ganjalan yang menghadang dalam pertemuan lanjutan AS-Korut untuk mewujudkan denuklirisasi.