KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Aktivis pro demokasi yang tergabung dalam Forum Konsolidasi untuk Pemilih Berdaulat memberikan keterangan kepada wartawan di Media Center Badan Pengawas Pemilu, Jakarta, Rabu (25/7/2018). Dalam kesempatan itu mereka meminta kepada KPU untuk membuka akses terhadap rekam jejak bakal calon legislatif sehingga publik bisa turut mengawasi.

Sejumlah partai politik sengaja mencalonkan bekas narapidana perkara korupsi sebagai calon anggota legislatif. Parpol itu sadar, langkah ini tak sesuai aturan KPU.

Seperti diberitakan harian Kompas, Jumat (27/7/2018), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan sadar mengajukan sejumlah bekas narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg). Walau Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 20/2018, yang antara lain mengharuskan pimpinan parpol menandatangani pakta integritas, untuk tidak mengajukan caleg yang bekas terpidana kasus korupsi, kasus kejahatan seksual terhadap anak, dan kasus bandar narkoba, PKB tetap mengajukan kadernya itu.

Seperti dikatakan Sekretaris Jenderal PKB Abdul Kadir Karding, Peraturan KPU No 20/2018 itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No 7/2017 tentang Pemilu. Saat ini, peraturan itu juga tengah diuji materi di Mahkamah Agung (MA). Selain itu, seseorang yang pada masa lalunya melakukan kesalahan, serta sudah dijatuhi dan menjalani hukumannya, tidak selayaknya lagi dihukum. Hak individu harus dihargai.

PKB tak sendirian. Partai Golkar, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Nasdem juga memasukkan bekas terpidana korupsi dalam daftar caleg sementara. Mereka tetap diajukan karena ada permintaan dari pemilih, sambil menanti putusan MA, dan "kecolongan". Partai lain ada yang memastikan akan mengganti calegnya yang ternyata bekas koruptor.

KPU masih memilah status hukum caleg yang diterimanya, sesuai data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan MA. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan 199 caleg tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang eks terpidana korupsi. Jumlah ini terasa kecil jika dibandingkan dengan jumlah anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang pada Pemilu 2019 sebanyak 19.817 orang, naik dibandingkan dengan jumlah anggota DPRD pada Pemilu 2014 yang sebanyak 19.007 orang. Di tingkat DPR dan DPD belum ada angka pastinya.

Namun, kebijakan partai yang tetap mencalonkan caleg bekas terpidana korupsi itu seakan memperlihatkan kelangkaan kader yang bisa menggantikan posisinya. Atau partai berutang budi pada bekas terpidana korupsi sehingga memaksakan untuk tetap mencalonkannya. Sikap partai-partai ini juga makin meneguhkan pandangan publik, serta data dari KPK dan lembaga antikorupsi lain, yang menunjukkan selama ini lembaga legislatif, di pusat dan di daerah, serta partai adalah institusi terkorup di negeri ini.

Bangsa ini, melalui Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; atau UU No 30/2002 tentang KPK; dan beragam peraturan lain, menempatkan korupsi adalah kejahatan luar biasa. Itulah salah satu buah gerakan reformasi. Masyarakat perlu melawan korupsi secara luar biasa pula.

Sikap partai yang tetap mencalonkan bekas terpidana korupsi tak hanya menentang pakta integritas dan peraturan KPU, tetapi juga melawan kehendak masyarakat. Padahal, rakyat merupakan pemilik kedaulatan di negeri ini.

Kompas, 28 Juli 2018