"Tajuk Rencana" Kompas (9/1/2018) menyuarakan masalah penting "Kebijakan Pangan Mendesak". Tulisan ini mencoba menjawab mengapa kita perlu memikirkan kembali kebijakan pangan kita, arah kebijakan, serta ancaman dan tantangan penyediaan pangan.
Kebijakan pangan kita berangkat dari paradigma 50 tahun lalu, yang berorientasi pada beras dan lebih menjurus dari segi kuantitas. Dulu kita berada dalam suasana kelangkaan dan pendapatan penduduk yang relatif rendah sehingga terdapat kecenderungan konsumen untuk mendapatkan pangan/beras dalam jumlah cukup secara kuantitas. Kini, dalam suasana ketersediaan yang relatif cukup dan pendapatan yang lebih baik, dari segi kuantitas saja dirasa belum memadai apabila tidak dilengkapi dengan kecukupan dari segi mutu, gizi, dan keragaman pangannya.
Menurut data BPS, sejak 1990-an pencapaian ketersediaan kalori bagi kebutuhan konsumsi penduduk Indonesia sudah sangat stabil, di atas 3.000 kalori/kapita/hari, yang berarti sangat cukup, di atas angka kecukupan 2.500 kalori. Jika dilihat dari ketersediaan kebutuhan gizi masyarakat, terutama protein, memang ada peningkatan. Namun, kita masih menghadapi ketidakseimbangan untuk menjamin konsumsi protein efektif di atas 55 gram/kapita/hari sehingga tergolong belum aman. Di samping itu, ketersediaan protein hewani juga masih di bawah angka minimum 25 persen dari komposisi yang direkomendasikan (Noer Sutrisno, 2018).
Dari data itu, ternyata ketersediaan pangan kita sekarang juga sudah terdiversifikasi, tak hanya dari beras saja, tetapi juga tepung terigu dan jenis pangan lain. Sebenarnya kita kaya akan sumber tepung, seperti dari ketela pohon, sagu, sukun, jagung, cantel, garut, dan ganyong, tetapi belum mendapatkan perhatian kita secara baik dari segi teknologi budidaya, pascapanen, dan pemasaran.
Arah kebijakan pangan ke depan
Sebelum menjawab mengapa kita perlu merumuskan kembali kebijakan pangan kita, kita perlu melihat bagaimana arah kebijakan pangan kita ke depan? Karena kita tidak memiliki lagi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), maka menjadi acuan arah kebijakan pangan adalah Pembukaan UUD 1945. Terdapat "tiga kata kunci" yang jadi acuan tujuan nasional dalam jangka panjang, yakni "kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keadilan sosial". Pangan yang bermutu, bergizi, dan beragam akan mengantar pada kemampuan fisik anak bangsa untuk mampu meraih upaya pencerdasan sehingga pembangunan pangan dan gizi memiliki kedudukan penting bagi peningkatan kualitas kehidupan bangsa.
Dengan pencapaian ketersediaan pangan dan mempertimbangkan arah kebijakan pangan, ke depan kita perlu SDM yang berkualitas. Karena itu, kebijakan pangan kita perlu di arahkan menuju diversifikasi pangan, baik dari segi penyediaan maupun dari konsumsinya, sehingga kebijakan pangan yang lebih menitikberatkan pada beras dan lebih berorientasi pada kuantitas perlu dilihat kembali. Untuk itu, masalah kekurangan sumber protein, baik nabati maupun hewani, perlu lebih dapat perhatian lebih besar. Peningkatan produksi hortikultura untuk menjadikan makanan kita seimbang juga perlu mendapat perhatian lebih besar.
Untuk dapat melakukan diversifikasi pangan diperlukan persyaratan. Pertama, pangan itu harus bergizi. Suatu hal yang tak mungkin menganjurkan penduduk untuk mempertahankan makanan yang nilai gizinya rendah. Kedua, aman dikonsumsi, yaitu makanan yang tak menyebabkan timbulnya masalah kesehatan. Ketiga, mudah didapat dan menyimpannya. Keempat, murah dari segi harga barangnya dan biaya memasaknya. Kelima, enak atau sesuai dengan selera yang mengonsumsinya. Keenam, tersedia di mana saja.
Dengan demikian, masalah penyediaan dan konsumsi pangan ke depan akan lebih kompleks dan rumit sehingga perlu kebijakan pangan yang terintegrasi dan perlu koordinasi kegiatan yang lebih baik antarsektor. Sebagaimana diketahui, pangan itu sektornya sebagian berada di pertanian, sebagian lagi di industri, sebagian berada di perdagangan dan juga di kesehatan, serta ditambah sektor pendukungnya. Karena itu, kebijakan pangan tidak dapat hanya dilihat dari sudut pandang dari satu sektor saja, misalnya pertanian karena menyangkut berbagai sektor yang berada di hulu, tengah, dan hilir sehingga memerlukan kebijakan yang terintegrasi.
Ancaman dan tantangan
Ancaman merupakan sesuatu yang membahayakan dalam penyediaan pangan, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam. Ancaman dan tantangan penyediaan pangan yang penting adalah sebagai berikut. Pertama, pertambahan jumlah penduduk yang besar dan penyusutan lahan pertanian yang tak terkendali. Menurut Wapres Jusuf Kalla dalam orasi profesi pada acara ulang tahun Bulog 2007, untuk mengatasi pertambahan penduduk 1,5 persen dan penyusutan lahan pertanian 1,5 persen, diperlukan peningkatan produksi beras minimal 3 persen.
Kita mengapresiasi usaha keras pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk memenuhi kekurangan kebutuhan pangan penduduk, tetapi tampaknya impor beras masih belum bisa dielakkan. Ini mungkin akibat penyusutan lahan pertanian yang dikonversi ke nonpertanian jauh lebih besar dari yang dicatat Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yakni 90.000 hektar per tahun (Kompas, 21/5/2018).
Kedua, mandeknya penemuan benih padi unggul baru dengan produktivitas tinggi dan adanya kecenderungan konsumen memilih beras sifat tanak nasi "tidak pulen dan tidak pera", seperti varietas IR 64. Kalau kita perhatikan padi IR 64 yang dilepas 1986, padi itu hingga kini masih diminati konsumen karena sesuai selera konsumen yang rasa nasinya seperti beras dari Thailand. Penelitian Bulog 1978, beras dari Jepang yang mempunyai rasa nasi pulen hanya disukai oleh konsumen beras di Jawa, sedangkan beras dari Burma (Myanmar) yang rasa nasinya pera hanya bisa diterima konsumen di Sumatera. Sementara beras dari Thailand bisa diterima konsumen hampir di seluruh Indonesia.
Menurut pensiunan peneliti dari Balitbang Pertanian Maros, Shagir Sama, setiap varietas padi akan mengalami degenerasi jika ditanam terus-menerus, seperti IR 64 yang dulu bisa menghasilkan 8 ton gabah per hektar kini hanya 6 ton. Bahkan, secara serius Shagir memperingatkan, jika tidak ditemukan varietas baru yang produktivitasnya di atas 10 ton gabah per hektar, swasembada beras yang kita capai hanya di atas kertas saja. Memang, pemerintah sudah melepas varietas padi yang rasa nasinya seperti IR 64, yaitu Ciherang (2000) dan Mekongga (2004) yang rasa nasinya disukai konsumen, tetapi produktivitasnya belum seperti diharapkan.
Ketiga, dampak perubahan iklim global dan kecenderungan negara berpenduduk besar dan negara kaya untuk mengamankan ketahanan pangannya. Peneliti BMKG, Supari (Kompas, 19/3/2018), mengatakan, terdapat pergeseran pola curah hujan yang cenderung meningkat di wilayah utara garis khatulistiwa, terutama di Sumatera bagian tengah, Sumatera bagian utara, Kalimantan bagian timur, serta Sulawesi bagian tengah dan utara. Untuk wilayah di bagian selatan khatulistiwa, yakni Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, curah hujannya berkurang dari tahun ke tahun. Wilayah bagian selatan khatulistiwa ini merupakan lumbung beras penduduk Indonesia. Perubahan curah hujan, yang kian kering di daerah lumbung beras, dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap pola tanam dan jenis tanaman. Untuk itu, riset perlu digalakkan untuk mengantisipasi berkurangnya curah hujan di wilayah lumbung pangan. Pembangunan infrastruktur pertanian secara terus-menerus juga harus dilakukan dan penduduk perlu banyak belajar mengefisienkan penggunaan air.
Yang menarik, beberapa kajian memperlihatkan, faktor perubahan iklim yang cukup ekstrem dapat menyebabkan turunnya produksi pangan dunia, seperti gandum, jagung, kedelai, dan beras. Krisis pangan dunia akibat turunnya produksi pangan dapat mengakibatkan harga beras naik 500 persen. China dan India merupakan negara berpenduduk banyak dan negara yang memakan nasi juga. Jika terjadi krisis, kita akan berebut dengan mereka, termasuk sumber protein kedelai yang diborong untuk mencukupi pakan unggas mereka. Selain itu, juga terdapat kecenderungan di dunia saat ini bahwa setiap negara, terutama yang punya jumlah penduduk besar dan/atau negara yang punya sumber daya finansial, berusaha mengamankan penyediaan pangannya dengan cara melakukan investasi di luar negaranya untuk mengamankan persediaan pangannya sendiri. Sekarang ini, China mempelajari sistem pangan dan pertanian dari zaman kejayaan Islam di Andalusia pada abad ke-8 hingga ke-12 Masehi.
Memperluas sumber pangan berbasis pohon
Yang akan kita hadapi ke depan ini akan sangat berisiko kalau hanya mengandalkan satu macam komoditas pangan pokok, yaitu beras, apalagi kita akan berhadapan dengan China dan India apabila terjadi krisis pangan. Selain itu, kita juga harus mengantisipasi adanya food system shock seperti terjadi pada 2008. Dengan demikian, dalam jangka panjang harus ada reorientasi penganekaragaman sumber pangan dari serealia, kacang-kacangan, dan umbi-umbian (tanaman semusim), yang juga perlu diarahkan ke sumber pangan yang berasal dari pohon (tanaman tahunan). Sebenarnya kita banyak mempunyai beragam jenis pangan berbasis pohon untuk sumber karbohidrat, gula, protein, lemak/minyak, buah-buahan, sayur-sayuran, bumbu, dan obat-obatan.
Sebagian dari tanaman itu sudah ditemukan jenis/varietasnya yang baik, unggul, dan sudah dibudidayakan penduduk seperti sukun. Untuk kurma bahkan sudah ditemukan bibit hibrida tropis yang dikembangkan di Thailand menjadi perkebunan kurma. Kita juga perlu berencana meremajakan "sebagian" tanaman kelapa sawit dengan tanaman kurma. Kurma ini dipilih karena buah kurma memenuhi syarat karena dapat disimpan selama dua tahun tanpa pengawet, mudah disimpan, dan dapat dimakan tanpa dimasak, mengandung karbohidarat tinggi.
Untuk sumber "karbohidrat, gula, protein, dan obat-obatan" disarankan menjadi tugas pemerintah (pusat) dan lembaga penelitian yang dinaunginya serta perguruan tinggi untuk melakukan inventarisasi jenis yang potensial dikembangkan, menyeleksi yang dapat dikembangkan, membuat pembibitan yang murah, serta mendorong pengembangan budidaya, baik lewat skala usaha rumah tangga, dan/atau UKM dan koperasi, maupun melalui korporasi. Sementara untuk buah dan sayur diharapkan partisipasi pemerintah daerah dan kelompok masyarakat pencinta sayur dan buah (komunitas pekebun) untuk mengembangkan unggulan buah dan sayur daerah yang berbasis pohon.
Dengan demikian, kebijakan pangan ke depan perlu diarahkan untuk mendukung penyiapan SDM yang berkualitas dan bisa menjawab ancaman serta tantangan yang kita hadapi yang demikian berat. Siapa pun yang akan memerintah negeri ini akan menghadapi masalah yang sama dalam jangka pendek untuk memenuhi kecukupan gizi penduduk yang bermutu, bergizi, dan beragam. Dalam jangka menengah, menyediakan infrastruktur dan penelitian untuk mencari terobosan benih dan bibit tanaman yang unggul, dan untuk jangka panjang dalam rangka menyiapkan diri terhadap perubahan iklim dan memenuhi kebutuhan makan penduduk yang besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar