KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Atlet taekwondo putri Indonesia, Defia Rosmaniar, menyumbangkan emas pertama bagi Indonesia dalam Asian Games 2018. Ia melakukan selebrasi setelah mengalahkan taekwondoin putri Iran, Salahshouri Marjan, dalam final kelas individual poomsae putri di Balai Sidang Senayan, Jakarta, Minggu (19/8/2018).

Nasionalisme masih ada di rongga dada generasi milenial. Defia Rosmaniar bisa jadi contoh. Ia menjadikan nasionalisme keindonesiaan sebagai orientasi nilai sekaligus energi jiwa demi meraih prestasi yang mengharumkan bangsa. Ia membantah sejumlah tuduhan bahwa anak muda mengalami krisis nasionalisme.

"Ini lapanganku, ini rumahku. Saya harus bisa lebih baik daripada (lawan-lawan) lainnya yang adalah tamu di sini. Itulah yang selalu saya pikirkan (sebelum pertandingan)," kata Defia Rosmaniar, atlet taekwondo yang berhasil merebut medali emas pertama bagi Indonesia dalam Asian Games 2018. Keberhasilan Defia merebut emas mengakhiri penantian taekwondo Indonesia selama 32 tahun pada ajang Asian Games (Kompas, 20/8/2018).

Prestasi Defia turut melambungkan nama Indonesia di dunia internasional. Sangat wajar Kompas memuatnya di halaman satu sebagai berita utama, dengan ilustrasi foto sebesar lima kolom yang menunjukkan Defia berlari membawa Merah Putih. Defia yang lahir pada 1995 termasuk dalam generasi milenial.

Ciri menonjol generasi ini antara lain kelekatannya dengan dunia komunikasi, media, dan teknologi digital. Adapun karakter mereka cenderung mandiri, berpikir terbuka, liberal, kreatif, dan inovatif. Mereka juga sering disebut generasi yang mengutamakan individualitas serta kurang peka pada persoalan politik, sosial, dan fokus pada hal-hal materialistik serta hedonisme.

Dalam pembahasan krisis nasionalisme dan budaya lokal, generasi milenial sering dijadikan "terdakwa". Kalangan generasi sepuh sering menuding mereka kurang menghayati nilai-nilai kebangsaan dan patriotisme serta tercerabut dari akar budaya bangsa. Tentu saja anggapan itu tidak selalu benar. Pada kenyataannya, masih banyak anak muda yang tetap memiliki kesadaran atas nilai-nilai kebangsaan yang diwujudkan melalui kerja dan karya nyata di berbagai bidang: dari seni, keilmuan, ekonomi, sampai bisnis kewirausahaan dan olahraga.

Generasi mapan

Nasionalisme tumbuh mekar ketika kolonialisme berkibar-kibar. Bangsa besar dan kuat menjajah bangsa yang lemah secara fisik, jiwa, pikiran, dan perilaku bangsa. Praktik dominasi dan hegemoni berlangsung secara total dan sempurna. Nasionalisme dan patriotisme hadir sebagai antitesis atas kolonialisme. Kesadaran kelas tertindas menjadi energi yang mendorong upaya perlawanan atas penjajahan. Begitu juga simbol-simbol, baik verbal maupun nonverbal.

Semboyan "Merdeka atau Mati" merupakan frase simbolik yang hidup dalam jagat kognisi dan afeksi bangsa terjajah dan menjelma menjadi prinsip nilai fundamental. Hal yang sama terjadi pada sosok tokoh-tokoh pejuang. Misalnya, sosok Soekarno-Hatta mengalami transformasi dari fisik ke nilai yang hidup dalam jiwa sekaligus inspirator bangsa. Maka, orang-orang yang hidup dalam atmosfer pergerakan dan kemerdekaan selalu bergetar jiwanya setiap mendengar nama atau membaca ide-ide Soekarno dan Hatta.

Generasi milenial yang tumbuh hampir setengah abad kemudian tidak mengenal secara mendalam zaman yang penuh gelegak nasionalisme ala masa pergerakan dan kemerdekaan. Mereka bisa disebut "generasi mapan", dalam arti lahir setelah keadaan normal, sistem tertata dan terkelola. Selanjutnya masuk kuasa modal dan demokrasi liberal yang menentukan langgam kehidupan negara-bangsa.

Apa yang mereka kenali sebagai negara sangat mungkin tak beda jauh dengan lembaga besar yang tersubordinasi oleh kuasa modal dan pasar. Tentu dengan segala turunannya, seperti kemajuan teknologi bersistem digital di segala lini kehidupan, termasuk jagat informasi dan komunikasi. Bagi mereka, dunia berada dalam gawai yang selalu mereka gunakan. Mereka merasa menggenggam dunia.

Mereka lebih banyak hidup dalam sistem daring (online) daripada luring (offline). Hidup dalam langgam daring menjadikan mereka kurang memiliki pengalaman riil atau interaksi langsung layaknya masyarakat komunal. Dalam segala kebutuhan dan kepentingan, mereka adalah majikan atas teknologi informasi. Mulai dari pesan nasi goreng, bakmi godok, pizza, sampai hamburger, mereka menggunakan media daring bersistem aplikasi. Begitu pula dalam berdialog serius soal pekerjaan. Mereka pun bisa bekerja di mana saja sepanjang berkaitan dengan dunia daring. Laptop atau gawai dan Wi-Fi adalah senjata ampuh mereka. Negara terlalu kecil untuk ide-ide mereka yang punya jangkau dunia.

Nasionalisme fungsional

Nasionalisme dipahami secara berbeda oleh generasi milenial. Bagi mereka, nasionalisme tidak cukup hanya diucapkan atau jadi realitas simbolik. Nasionalisme bukan kelangenan, melainkan nilai yang konkret. Mereka menemukan nasionalisme secara empiris yang melibatkan jiwa, tubuh, dan gagasan. Nasionalisme menjadi nilai yang nyata ketika dihadirkan dalam jagat kreativitas atau festival seni budaya, penemuan-penemuan berbasis keilmuan, menciptakan pasar- pasar komersial alternatif, berkreasi di bidang kuliner, kerajinan, dan lainnya.

Nasionalisme generasi milenial adalah nasionalisme kontekstual-fungsional, yaitu nilai-nilai kebangsaan yang diaktualisasi berdasarkan konteks masalah dan kebutuhan serta guna (manfaat). Selain itu, nasionalisme jadi peranti budaya untuk memproduksi nilai dan karya alternatif demi menjawab tuntutan zaman. Hal ini seperti yang dilakukan Defia Rosmaniar yang berhasil menjadikan spirit nasionalisme keindonesiaan untuk meraih emas Asian Games 2018.

Seperti termaktub dalam kutipan pernyataan Defia pada awal tulisan, atlet taekwondo ini telah menjadikan nasionalisme sumber spirit untuk meraih prestasi. Di tangan gadis itu, nasionalisme bisa memompa bangsa untuk memiliki daya saing tinggi. Ada banyak anak muda seperti Defia. Selama ini mereka kurang dapat ruang aktualisasi diri karena dominasi kaum sepuh/senior yang selalu merasa "tidak pernah cukup" dalam hal apa saja.