Aristoteles menganggap penting "kebanggaan karena memiliki kebajikan". Kebanggaan tersebut ia sebut "megalopsuchia", yang dapat dimaknai martabat.

Kejujuran dan integritas adalah kebajikan. Tetapi sungguhkah kini orang Indonesia bangga jika dirinya jujur dan berintegritas?

Masih adakah kejujuran dan integritas dalam kehidupan, terutama dalam hidup politisi dan pemimpin? Pertanyaan ini adalah ironi, karena selayaknya kedua kualitas itu niscaya atau tak terelak dalam hidup politisi dan pemimpin. Mereka diserahi keistimewaan kekuasaan buat melayani publik yang luas; tugas tersebut tidak mungkin mereka tunaikan tanpa kejujuran dan integritas. Jantung hidup pemimpin dan politisi adalah kejujuran dan integritas.

Berapa jumlah orang miskin di Indonesia? Badan Pusat Statistik menyatakan pada 16 Juli 2018 bahwa jumlah si miskin 9,82 persen dari penduduk atau 25,95 juta orang. Tetapi politisi menyerukan bahwa ada 100 juta manusia miskin di negeri ini. Katanya, jumlah itu didapatkan dengan menggunakan ukuran kemiskinan dari Bank Dunia yang adalah 2 dollar.

Tetapi statistisi Rojani dalam artikelnya, "Pro-kontra Angka Kemiskinan" (Kompas, 1/8/2018), menerangkan bahwa 2 dollar itu bukan dua dikalikan kurs dollar AS terhadap rupiah saat ini, karena yang dimaksudkan adalah "dollar paritas daya beli". Dua dollar paritas daya beli setara dengan sekitar Rp 10.000 saja. Ukuran kemiskinan yang digunakan oleh BPS justru lebih tinggi daripada itu. Kalau demikian, tentulah banyaknya insan miskin di Indonesia kini, walaupun diukur dengan ukuran Bank Dunia, jauh di bawah 100 juta.

Dunia "silat lidah"

Apa maksud di balik pernyataan-pernyataan politisi atau pemimpin yang tidak sesuai dengan fakta? Apa tujuan mereka bersilat lidah? Melayani diri sendiri; paling jauh melayani kroni atau kelompoknya, bukan melayani masyarakat luas. Dan, tatkala dunia sosial politik banyak ditebari silat lidah dan pernyataan tak berlandaskan fakta, sesungguhnya ironi tentang pemimpin dan politisi ingar-bingar. Pemimpin dan politisi menjadi "antara ada dan tiada" karena kejujuran dan integritas mereka juga antara ada dan tiada.

Apakah kejujuran dan integritas tidak usah ada saja karena tidak diperlukan lagi, di tengah kehidupan sosial politik bangsa Indonesia? Bukankah dalam kurun waktu akhir-akhir ini, tatkala dunia sosial politik makin jadi ramai karena kegiatan-kegiatan mencari pemimpin, berbicara bohong menjadi kian biasa; menunjukkan prinsip-prinsip yang hanya baik untuk diri sendiri dan kelompok dekatnya, tidak lagi menjadi sebuah tabu. Terkesan betapa kejujuran dan integritas tidak relevan lagi dalam kehidupan ini, terutama dalam hidup sosial politik, yang telah menjelma menjadi dunia bohong.

Orang jujur, otentik, genuine, adalah manusia yang berkata sesuai fakta dan berbuat sesuai prinsip-prinsip yang terkandung dalam batinnya. Prinsip-prinsip dalam batin itu bisa baik untuk diri sendiri dan kelompoknya saja, atau baik untuk publik. Jika konteksnya adalah kejujuran politisi, apalagi pemimpin bangsa dan negara, segenap prinsip yang berada dalam hati nurani niscayalah yang sungguh baik untuk publik yang luas, karena politisi dan pemimpin tugasnya melayani masyarakat seluas-luasnya, bukan melayani diri sendiri dan kelompoknya.

Aspek lain dari prinsip-prinsip itu adalah kesatupaduan atau integritas. Istilah terakhir ini berasal dari kata Latin, integer, yang artinya utuh. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam batin orang berintegritas memiliki sifat konsisten, koheren, tak bertentangan satu sama lain, sehingga mewujud dalam kesatupaduan.

Sejumlah tindakan dan sikap politisi atau pemimpin yang jujur, yang mengejawantahkan prinsip-prinsip yang integer, bersifat konsisten dan koheren antara yang satu dan yang lain, bukan saling bertentangan satu sama lain. Maka, sesungguhnya masyarakat dapat merasakan bahwa sikap dan tindakan politisi dan pemimpin yang jujur dan berintegritas bersifat ajek, taat asas, sepanjang masa.

Pemimpin dan politisi jujur dan berintegritas bukanlah mereka yang dulu berbuat begini dan kini berbuat begitu, yang begini dan begitunya itu berlawanan satu sama lain. Kalau dulu tak korupsi, sekarang, bahkan nanti, juga tidak korupsi. Jika dulu pemimpin dan politisi bertindak inklusif tanpa mendiskriminasi suku, agama dan ras, kini dan ke depan, termasuk pada saat berupaya meraih kuasa, mereka tetap saja berbuat begitu.

Pada konteks menggunakan kekuasaan buat melayani masyarakat luas, judul yang mempersatukan prinsip-prinsip yang terdapat dalam batin politisi dan pemimpin dalam sebuah keutuhan yang konsisten dan koheren adalah: "Menggunakan kekuasaan untuk melayani masyarakat tanpa mendiskriminasi identitas primordial".

Mentalisasi dalam berpikir

Ingar-bingar dunia bohong termaktub dalam keadaan bangsa Indonesia yang akhir-akhir ini terkesan makin dipecah-belah dalam kelompok-kelompok yang bermusuhan. Memang tidak sulit menciptakan keadaan yang demikian, karena dalam kenyataannya manusia yang satu akan memerangi atau menjauhi orang lain, atau akan membentengi diri (memisahkan diri) dari liyan, apabila ia merasakan orang lain sebagai bahaya baginya. Hanya ketika orang menghayati liyan  sebagai pengalaman yang aman, ia akan mendekat kepadanya, jadi terhubung dengannya, bahkan melekat
padanya (Paul Holmes & Steve Farnfield, 2014).

Keadaan yang demikian justru sesungguhnya meniscayakan kehadiran politisi dan pemimpin yang jujur dan berintegritas. Dengan kejujuran dan integritas, mereka akan menggunakan kekuasaan yang besar untuk memenuhi kepentingan dan melayani publik dengan adil.

Peter Fonagy (2014) melihat betapa penting kemampuan berpikir khusus, yang ia sebut bermentalisasi, untuk menjembatani hidup yang berbeda satu sama lain. Mentalisasi adalah berpikir tentang apa yang berlangsung dalam pikiran diri sendiri dan orang lain, yang berbuahkan kesadaran, mengerti dan empati.

Pemimpin dan politisi tak cukup hanya pintar berpikir. Sebagaimana ditegaskan oleh Holmes dan Farnfield (2014), kegiatan berpikir yang canggih dapat digunakan oleh manusia untuk melaksanakan kejahatan, bahkan kebusukan yang paling buruk. Tetapi jika berpikir dilengkapi dengan bermentalisasi, maka ia menjadi diiringi oleh refleksi yang menggerakkan mengerti dan empati, dan dengan demikian menjadi baik.

Limas Sutanto Psikiater

Kompas, 3 Agustus 2018