Andreas Maryoto, Wartawan Senior Kompas

Suhu politik di Tanah Air mulai meningkat delapan bulan sebelum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Riuh saling dukung dan saling menjatuhkan mulai muncul di media sosial. Media sosial kini menjadi ajang "pertempuran" para pendukung calon. Di tengah situasi seperti ini, kita perlu menyadari kemungkinan kemunculan orang-orang dengan kepentingan tertentu di media sosial. Jangan-jangan kita malah yang diadu dan mereka yang mendapat untung!

Setelah Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016, yang menghebohkan karena belakangan diketahui ada operator di media sosial yang membuat rekayasa sehingga menguntungkan salah satu calon, Facebook memperketat keamanannya.

Dugaan peran Rusia melalui beberapa akun dan juga skandal Cambridge Analytica serta operator di sebuah kota di kawasan Balkan yang menyebar kampanye buruk serta menyebarkan berita bohong untuk mempengaruhi pemilih telah menjadikan perusahaan digital waspada dengan pemanfaatan media sosial bagi kepentingan tertentu sehingga bisa merobohkan demokrasi yang sudah lama dibangun.

AFP/DANIEL LEAL-OLIVAS

Laptop yang menunjukkan logo Facebook diletakkan di depan tanda penunjuk kantor Cambridge Analytica di luar gedung kantor perusahaan tersebut di London, Inggris, 21 Maret 2018.

Kemarin publik kembali dihebohkan dengan pengumuman Facebook yang menyebutkan bahwa mereka telah membongkar sebuah rencana canggih yang kemungkinan digunakan untuk mempengaruhi pemilihan umum di Amerika Serikat yang akan datang. Target jangka pendek mereka adalah pemilu tengah waktu (midterm) yang akan dilaksanakan bulan November. Pemilu tengah waktu ini dilakukan untuk menguji kekuatan mereka yang berkuasa sekaligus untuk melihat kemungkinan calon lain.

Mereka diduga mulai mempengaruhi pemilih agar hasil pemilu tengah waktu itu menguntungkan salah satu pihak. Saat ini diakui langkah itu merupakan investigasi awal Facebook sehingga publik belum bisa mengetahui secara persis organisasi yang melakukan tindakan itu serta rencana detailnya. Perusahaan itu hanya mengatakan lebih dari 30 grup di Facebook dan Instagram telah dihapus karena diduga merupakan bagian dari kampanye itu. Mereka disebut, terlibat di dalam perilaku aneh yang terkoordinasi.

Facebook beralasan perilaku itu dikategorikan dilarang karena mereka tidak ingin orang atau organisasi membangun jaringan dengan mengaburkan siapa mereka dan apa yang dikerjakannya. Salah satu grup disebutkan menunggah sebanyak 10.000 materi dan membayar iklan dengan nilai 11.000 dollar AS. Mereka juga diketahui akan melakukan sebuah acara pekan depan yang akan melawan kegiatan beraliran kanan. Mereka telah mendaftar peserta dan sejumlah akun yang tidak diketahui identitasnya telah menyebar ajakan ini. Beberapa akun yang tidak diketahui identitasnya itu bernama antara lain, Aztlan Warriors, Black Elevation, dan Mindful Being.

REUTERS/ERIC THAYER/FILE PHOTO

Layar menunjukkan nama Facebook sebagai salah satu perusahaan terdaftar di Indeks Saham NASDAQ di New York, Amerika Serikat, Senin (4/7/2018). Saham Facebook cenderung tertekan di tengah sorotan publik global atas data pengguna salah satu media sosial itu.

Temuan Facebook ini merupakan bagian dari inspeksi rutin keamanan siber perusahaan itu. Dua pekan lalu mereka menemukan akun yang aneh. Sejak keamanan ditingkatkan, identitas pemilik akun makin tersembunyi. Mereka tidak mudah untuk menemukan pemilik akun sesungguhnya. Mereka menduga, sebenarnya pelaku lama yang telah memperbarui kemampuan menyembunyikan diri namun pihak Facebook mengakui dengan mudah mematahkan upaya mereka karena mereka juga meningkatkan kemampuan teknologinya.

Kasus ini menjadi pelajaran bagi kita yang hendak melaksanakan pemilihan presiden pada tahun depan. Kepentingan asing, kepentingan bisnis tertentu, dan berbagai kepentingan lainnya bisa melakukan operasi sejenis

Langkah baru yang dilakukan pelaku adalah membeli VPN, layanan jasa internet melalui telepon, dan membayar pihak ketiga untuk menjalankan iklan. Grup-grup terkait dengan kasus ini dibangun sejak Maret 2017 dan Mei tahun ini. Mereka  telah berhasil meraih 290.000 pengikut untuk satu grup atau akun. Facebook mengakui, kali ini mereka tidak ingin kecolongan dan dituduh membiarkan aktifitas tidak pantas di platform mereka.

Kasus ini menjadi pelajaran bagi kita yang hendak melaksanakan pemilihan presiden pada tahun depan. Kepentingan asing, kepentingan bisnis tertentu, dan berbagai kepentingan lainnya bisa melakukan operasi sejenis. Kita yang menjadi rakyat biasa mungkin malah menjadi korban adu domba di era digital ini. Beberapa bentrokan fisik pasca unggahan tertentu di media sosial bisa menjadikan pengelola media sosial dan aparat keamanan waspada.