KUM

J Kristiadi

Dalam khazanah olahraga, salah satu cabang yang prestisius adalah lomba lari cepat 100 meter (sprint). Namun, tidak demikian dengan kompetisi politik, khususnya Pemilu Presiden 2019. Yang terjadi adalah lomba lambat, setiap bakal calon presiden mencoba mengerem pengumuman bakal calon definitif wakil presidennya. Lomba adu lambat dalam pilpres karena yang bertanding bukan hanya Joko Widodo dan Prabowo Subianto, melainkan terjadi pula di antara setiap parpol pendukung dan pengusung serta para elite politik lain yang pantas atau merasa pantas menjadi wapres.

Perang siasat pun terjadi di banyak arena dan berlapis-lapis. Oleh karena itu, menjadi tidak aneh kalau kejengkelan mengatasi kerumitan menentukan pasangan pilpres, melalui akun Twitter-nya, Kamis (26/7/2018), Rachland Nashidik mengatakan, "Saya mau ganti presiden! Kalau demi itu, saya harus bekerja sama dengan setan, saya akan lakukan. Apalagi cuma kerja sama dengan Prabowo."

Ungkapan ini mungkin senada dengan aforisme: better the devil you know than the devil you don't (lebih baik memilih setan yang sudah tahu kelakuannya, meskipun tidak senang, daripada iblis yang belum diketahui dan mungkin lebih jelek). Tampaknya hasrat untuk menang dan kecemasan membayangkan kekalahan membuat adu siasat dianggap lebih penting daripada mengumumkan kepada publik siapa wapresnya untuk dinilai masyarakat.

Kubu Prabowo tampaknya sudah makin merasa nyaman dengan Salim Segaf Al-Jufri, Ketua Dewan Syuro PKS. Pilihan tersebut dilakukan mengingat pengalaman Gerindra bermitra dengan PKS dirasakan nyaman dan mendalam. Selain itu, PKS juga mempunyai konstituensi yang solid serta jaringan kader yang relatif militan. Nilai plus lain, pasangan ini terdiri dari Jawa dan non-Jawa yang selama ini dijadikan mitos menentukan pasangan pilpres, kecuali calon presiden yang sangat percaya diri dengan elektabilitasnya, seperti pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono pada Pilpres 2009.

Sementara itu, kubu Joko Widodo, meskipun telah terjadi kristalisasi, tampaknya juga masih menunggu saat-saat terakhir sebelum tenggat 10 Agustus 2018. Pengelolaan dimensi waktu dikelola cermat untuk lebih memastikan pasangan kubu Prabowo. Praktik politik memberikan pelajaran bahwa dalam adu cerdik, pada "detik-detik" terakhir masih dapat terjadi kemungkinan perubahan memilih opsi yang dianggap paling menguntungkan.

Bakal calon wapres kubu Jokowi sekitar 10 tokoh yang sudah ada di kantong; kemungkinan pilihan di luar nama yang selama ini beredar apabila pihak lawan politik melakukan pilihan lain yang bukan Prabowo. Isyarat perubahan disampaikan oleh Prabowo saat diselenggarakan Ijtima Ulama yang digelar oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama. Ia menegaskan, dirinya selalu siap sebagai alat umat dan rakyat Indonesia, tetapi kalau tidak dibutuhkan (tidak menjadi capres) siap pula mendukung kepentingan rakyat dan umat.

Pernik-pernik dinamika politik unik Pilpres 2019, khususnya perilaku elite politik dalam membangun koalisi, adalah posisi dan manuver SBY. Kegagalan niat dan hasrat berkoalisi dengan kubu Jokowi, menurut pengakuan SBY, karena Tuhan belum menakdirkan hubungannya dengan Megawati Soekarnoputri kembali normal. Menilik intensitas pendekatan SBY dengan Jokowi, keinginan Partai Demokrat bergabung dengan koalisi parpol pengusung Jokowi sangat serius.

Namun, apa boleh buat, pilihan hanya dapat bergabung dengan koalisi Prabowo. Oleh karena itu, ia memberikan beberapa persyaratan, antara lain Pemilu 2019 nanti berlangsung secara damai, jujur, dan adil serta sepakat untuk ikut mencegah jangan sampai ada politik identitas, politik SARA secara ekstrem mendominasi pelaksanaan pemilu.

Sementara itu, harapan masyarakat, pemilu serentak pada 2019 dapat menghasilkan pemerintahan yang efektif, demokratis, kuat, dan relatif lebih bersih daripada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Hal tersebut sangat diperlukan mengingat lima tahun ke depan bangsa ini harus dapat meletakkan dasar-dasar tatanan pengelolaan kekuasaan negara yang komprehensif dan pakem yang jelas. Bongkar pasang sistem pemilu, pilpres, dan pilkada tanpa paradigma serta gagasan yang komprehensif harus segera diakhiri. Membiarkan demokrasi berlangsung seperti praktik selama ini hanya akan menghasilkan institusi politik dan negara yang keropos dan tidak dipercaya rakyat.

Penataan kekuasaan negara harus dimulai dari komitmen semua komponen bangsa bahwa bentuk negara adalah negara kesatuan. Mengalir dari asas tersebut ditentukan sistem pemerintahan, misalnya presidensial, setengah presidensial, atau parlementer. Baru kemudian sistem pemilu dan sistem kepartaian yang sejalan dengan masyarakat Indonesia yang plural.