KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI

Menteri Luar Amerika Serikat Mike Pompeo, Selasa (5/6/2018), menggelar pertemuan bilateral dengan mitranya, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi di kantor Kementerian Luar Negeri AS, di Washington. Pertemuan itu merupakan pertemuan pertama mereka sejak Menlu Pompeo ditunjuk menjadi Menlu AS, April lalu. Mereka membahas peningkatan kerja sama ekonomi dan penanggulangan terorisme, serta upaya memperkuat kemitraan strategis Indonesia-AS.

Setelah dari Kuala Lumpur dan Singapura, akhir pekan lalu (4-5 Agustus 2018), Menlu AS Mike Pompeo berkunjung ke Jakarta. Kedatangan Pompeo menyusul kunjungan para pejabat pemerintahan Donald Trump sebelumnya: Wakil Presiden Mike Pence (20-22 April 2017) dan Menteri Pertahanan James Mattis (22 Januari 2018). Semua kunjungan ini menyiratkan respons AS terhadap posisi Indonesia sebagai salah satu mitra penting di kawasan.

Mantan direktur CIA ini diberitakan membawa dua misi utama ke Jakarta. Yang pertama memastikan penerimaan dan dukungan Indonesia terhadap konsep Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka (Free and Open Indo-Pacific). Kedua mengembangkan kerja sama kemitraan strategis di antara kedua negara. Dua misi ini menjadi sangat signifikan, terlebih mengingat bahwa hubungan bilateral AS-RI akan memasuki usia ke-70 pada 2019.

Bebas dan terbuka

Mengiringi America First, yang telah menjadi prinsip utama politik luar negeri Trump, AS kian menekankan pentingnya sebuah kawasan Indo-Pasifik yang "bebas" dan "terbuka". Mengusung demokrasi sebagai basis kerja sama yang lebih luas, Indo-Pasifik diperkenalkan untuk menggantikan Asia Pasifik, yang diyakini AS terlalu berpusat pada China dengan segala kekuatannya. Dalam pidatonya di sebuah pertemuan bisnis, Pompeo mengartikan free sebagai keleluasaan setiap negara "untuk melindungi kedaulatannya dari pemaksaan oleh negara lain".

Sementara open ia maknai situasi di mana setiap negara "dapat menikmati akses terbuka atas jalur laut dan udara". Ditambahkan oleh Pompeo, AS menghendaki penyelesaian damai atas segala perselisihan wilayah dan maritim di kawasan. Untuk menunjukkan komitmennya kepada Indo-Pasifik, AS menjanjikan kucuran dana 113 juta dollar AS untuk mengembangkan teknologi, energi, dan infrastruktur. Pompeo menyebut dana itu "uang muka" dari kebijakan ekonomi AS yang ditujukan untuk perdamaian dan kemakmuran di kawasan. Komitmen ini menjadi penting ketika Pompeo menegaskan bahwa AS "tidak akan mencari dominasi di Indo-Pasifik dan… akan menentang siapa pun yang melakukan hal tersebut".

Sekalipun Pompeo tak menyebut nama, mudah ditebak target utama konsep itu adalah China. Telah diketahui luas, AS melihat China sebagai ancaman, begitu pula sebaliknya. Kekuatan ekonomi dan militer diyakini akan menjadi modal kuat China menyaingi hegemoni AS. Perang dagang akhir-akhir ini, yang dipicu oleh kebijakan Trump mengenakan tarif 25 persen atas barang impor produksi China, semakin menguatkan persepsi kekhawatiran AS atas kekuatan China.

Dalam konteks inilah kunjungan Pompeo ke Indonesia menarik untuk dikaji. Asia Tenggara telah menjadi wilayah perebutan pengaruh antara AS dan China. Dapat dipahami Free and Open Indo-Pacificmerupakan cara AS memastikan pengaruh China tidak semakin membesar di kawasan. AS berkepentingan hegemoninya di kawasan tak terganggu oleh China atau siapa pun. Indonesia, sebagai negara terbesar kawasan, tentu diharapkan AS mendukung kebijakan ini.

Free and Open Indo-Pacific secara tak langsung mengarahkan negara-negara Asia Tenggara untuk memilih antara AS dan China. Ini bukan pilihan mudah, masing-masing punya konsekuensi ekonomi, militer, dan geopolitik tersendiri. Apa pun itu, pengamat hubungan AS-China, Joshua Kurlantzick, menilai konsep itu bisa menyerang balik Washington. AS harus membuktikan ia sendiri tak akan melanggar komitmen untuk memaksa, menutup akses bagi, atau mendominasi negara lain yang tak mendukung kepentingannya.

Bagaimana Indonesia harus bersikap? Menarik bahwa Indonesia sendiri memiliki konsepsi Indo-Pasifik, di mana inklusivitas dan dialog menjadi kata kunci. Indonesia tak harus memilih salah satu dari AS atau China, tetapi terus berupaya mengedepankan semangat kerja sama yang bebas dari pemaksaan kepentingan dan dominasi negara tertentu. Ide Pompeo dapat disambut dengan baik, tetapi tidak harus diterima secara bulat bila itu mengganggu kepentingan nasional Indonesia.

Kemitraan strategis

Kemenlu AS melansir tujuan kedatangan Pompeo untuk "memajukan tujuan-tujuan bersama dalam bidang keamanan, perdagangan, dan investasi". Semua ini bagian dari hubungan bilateral AS-RI yang telah dibina sejak lama. Kedua negara bersepakat mengadakan sebuah kemitraan komprehensif pada 2010, yang berkembang menjadi kemitraan strategis empat tahun kemudian.

Banyak hal yang telah dikerjakan kedua negara dalam kemitraan strategis ini. Ekonomi dan perdagangan, sosial dan budaya, serta keamanan menjadi bidang-bidang kunci yang terus dikembangkan. Indonesia juga memiliki kesamaan dengan AS dalam hal penerimaan terhadap demokrasi sebagai pembimbing sistem politik. Dalam konteks ini, salah satu tahap penting pemilu tahun depan di hari-hari ini, yaitu pendaftaran calon presiden/wakil presiden, mungkin tak lepas dari pengamatan Pompeo.

Kerja sama dengan AS sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut Menlu RI Retno Marsudi, AS mitra dagang terbesar keempat dan mitra investasi terbesar keenam bagi Indonesia. Kedua menteri tentu mendiskusikan peluang terbaik untuk mengembangkan hubungan perdagangan dan investasi. Sebagaimana terhadap China, Trump juga menilai AS mengalami defisit neraca perdagangan dengan Asia Tenggara. Di sini Indonesia berkepentingan agar AS tak menerapkan kebijakan tarif yang keras sehingga produk Indonesia tetap bisa memasuki pasar AS secara kompetitif.

Pertahanan dan keamanan merupakan bidang strategis kerja sama AS-RI. Pembelian alutsista, peningkatan kapasitas dan kapabilitas personel militer, kebijakan antiterorisme, dan kerja sama maritim jadi perhatian kedua negara. Ini bagian dari desain strategi keamanan AS, termasuk ketika isu Palestina dan Semenanjung Korea juga dibicarakan dalam pertemuan kedua menteri. Indonesia selayaknya memahami secara penuh desain keamanan ini demi kepentingan keamanan nasional maupun kawasan.

Kedatangan Pompeo memastikan bahwa Indonesia adalah mitra penting AS di kawasan. Meski demikian, sebagian kalangan memandang AS masih belum sepenuh hati menyadari nilai penting kemitraan strategisnya dengan Indonesia, khususnya di era Trump. Buktinya: Indonesia tak berada dalam daftar negara yang akan dikunjungi Trump di waktu dekat. Di Asia Tenggara, presiden ke-45 AS ini telah berkunjung ke Filipina, Singapura, dan Vietnam. Ia direncanakan mengunjungi kembali Singapura, Malaysia, dan bahkan Papua Niugini pada November 2018.

Presiden Jokowi sendiri telah mengundang langsung Trump untuk datang saat keduanya bertemu di KTT G-20 di Hamburg pada 2017. Namun, undangan tak direspons dengan sungguh-sungguh oleh Trump. Saat bepergian selama 12 hari ke Asia pada November 2017, Trump melewatkan Indonesia. Negeri besar yang sering dianggap sebagai pemimpin kawasan ini seolah tak direken oleh presiden negara adidaya tersebut. Terlepas dari itu, Indonesia tetap perlu mengembangkan kemitraan strategisnya dengan AS, sebagaimana juga kerja sama dengan negara besar lain.

Peringatan 70 tahun hubungan bilateral AS-RI tahun depan harus dijadikan momentum untuk sebuah kemitraan yang bebas dari tekanan dan saling curiga, kemitraan yang mengedepankan saling percaya dan kemanfaatan bersama. Menlu Retno telah mengusulkan sebuah tema khusus untuk perayaan tersebut: "Celebrate Our Diversity; Prosper Together as Strategic Partners". Kedatangan Pompeo dapat diletakkan dalam bingkai ini: bahwa AS dan RI adalah mitra sejajar yang berkomitmen membangun kawasan demi perdamaian dan kemakmuran bersama.