KOMPAS/VINA OKTAVIA (VIO)

Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan sambutan saat memberikan sambutan pada acara Rapat Kerja Nasional Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Tarbiyah-Perti) bersama Perwati-Wanita Perti, Sabtu (28/7/2018), di Bandar Lampung. Dalam kesempatan itu, Kalla meminta organisasi Islam yang banyak lahir di berbagai daerah terus fokus dan memperkuat kegiatan pendidikan, sosial, dan ekonomi. Itu diharapkan menjadi gerakan nasional yang menunjang kemajuan bangsa Indonesia.

Wajah Islam Indonesia akhir-akhir ini banyak diwarnai perdebatan pemikiran kelompok Islam fundamental dan Islam liberal. Fenomena ini bukan sesuatu yang baru dalam tradisi pemikiran keislaman.

Seperti dikemukakan Charles Kurzman dalam Liberal Islam: A Sourcebook (1998), pergumulan kelompok Islam fundamental dan Islam liberal terjadi sejak 1970-an. Pandangan Kurzman terasa tepat karena pada masa itu terjadi dinamika pemikiran keagamaan yang dipelopori sejumlah aktivis pergerakan Islam.

Fundamental vs liberal

Pada saat itu, Nurcholish Madjid (Cak Nur), tokoh sentral pembaruan pemikiran Islam, telah terlibat dalam perdebatan sengit dengan kelompok Islam fundamental. Melalui berbagai tulisannya, Cak Nur menggelorakan wacana sekularisasi, "Islam yes, partai Islam no", kebebasan berpikir, ide tentang kemajuandan pentingnya sikap terbuka (inklusivisme).

Bahkan, wacana "Islam yes, partai Islam no" telah membuat hubungan Cak Nur dan sejumlah elite partai Islam memanas. Para elite partai Islam itu protes keras terkait gagasan Cak Nur yang mereka anggap mengabaikan perjuangan tokoh-tokoh Islam melalui partai politik.

Kontribusi Cak Nur yang luar biasa dalam pemikiran keislaman telah memosisikannya sebagai bapak sekaligus ideolog Islam liberal. Meski tidak pernah menggunakan istilah Islam liberal dalam seluruh karyanya, Cak Nur layak menjadi rujukan kelompok Islam liberal.

Apalagi gagasan Cak Nur banyak dirujuk kelompok Muslim liberal. Sementara kelompok Islam fundamental melalui beberapa tokohnya juga tidak mau kalah. Mereka terus mengampanyekan penolakan terhadap gagasan yang dikembangkan Muslim liberal.

Sepanjang era Reformasi, kelompok Islam fundamental juga menunjukkan minat yang luar biasa untuk memasuki dunia politik. Bahkan dapat dikatakan kelompok Islam fundamental telah mengalami peningkatan syahwat politik.

Kondisi tersebut relevan dengan hipotesis William Liddle, seorang Indonesianis asal Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa semakin demokratis sebuah negara, semakin besar kemungkinan munculnya gerakan fundamental. Sebaliknya, semakin otoriter suatu negara, semakin kecil pula kemungkinan munculnya kelompok fundamental.

Euforia reformasi yang ditandai dengan era kebebasan berorganisasi dan berpendapat menjadikan kelompok-kelompok fundamental bermunculan. Pada saat bersamaan, kelompok radikal berideologi kiri juga tumbuh pesat. Kelompok ini semakin berani menampilkan identitas dan simbol-simbol organisasi yang dilarang sepanjang era Orde Baru.

Era Reformasi juga berdampak pada munculnya dialektika pemikiran keislaman antara Muslim fundamental dan liberal. Kondisi ini menyebabkan terjadinya persaingan dan perebutan pengaruh di antara dua kelompok tersebut.

Jalan tengah

Agar dialektika pemikiran kelompok Islam fundamental dan Islam liberal secara diametral tidak saling berhadapan, penting dicari jalan tengah pemikiran Islam. Langkah ini penting untuk memoderasi pemikiran Islam. Setiap aliran/pemikiran keagamaan (school of thought) harus diajak untuk bergerak ke posisi tengah (median position).

Kehadiran kelompok tengah (al-wasathiyah) penting untuk menampilkan wajah Islam yang maju, terbuka, toleran, ramah, dan sesuai dengan suasana modernitas.  Pada konteks itulah organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), harus memainkan peran penting dalam mewujudkan wajah Islam moderat.

Ikhtiar memoderasi pemikiran Islam penting karena setiap kelompok sejatinya memiliki kelemahan mendasar. Misalnya, kelompok fundamental kerap kali menampilkan wajah Islam masa lalu, kuno, anti-pembaruan, dan cenderung romantisme sejarah.

Islam fundamental-radikal juga tidak segan menempuh jalan radikal dan reaksioner untuk mencapai tujuan. Perspektif ini jelas tidak kondusif jika dihadapkan pada persoalan keislaman era kontemporer. Tampak sekali ada kesan, kelompok Islam fundamental gagap menghadapi tantangan modernitas.

Sementara kelompok Islam liberal, dengan meminjam istilah Kuntowijoyo (2001), tampak mengalami gejala "sawan kekanak-kanakan". Fenomena kekanak-kanakan berarti cara pandang yang "sok liberal", "kekiri-kirian", dan "sok radikal".

Jika mengamati pemikiran yang diwacanakan kelompok Islam liberal, sejatinya juga tampak kurang mendalam, parsial, dan cenderung melompat (jumping) sehingga terputus dari khazanah masa lampau. Gagasan yang digelorakan Muslim liberal juga bukan sesuatu yang benar-benar baru.

Modernitas-tradisionalitas

Sebagai upaya untuk merintis jalan tengah pemikiran Islam, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memosisikan pemikiran masa lalu sebagai khazanah yang tidak perlu disakralkan.

Karena itu, penting dipertimbangkan pendapat Mohammed Arkoun dalam The Unthought in Contemporary Islamic Thought  (2002), yang menganjurkan agar tidak terjadi penyakralan pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar al-diniy). Dengan menempatkan produk pemikiran masa lalu sebagai khazanah, pasti akan menghilangkan "beban sejarah" sehingga kita dapat secara lebih kritis memberikan pandangan.

Langkah kedua adalah menampilkan pemikiran Islam yang menggabungkan nilai modernitas dan tradisionalitas. Dalam bahasa pesantren terdapat ungkapan bijak; al-muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Dengan demikian, pembaruan pemikiran keislaman memiliki kesinambungan sejarah dan tidak tercerabut dari akar tradisi, dan mempertimbangkan kearifan lokal. Melalui cara itulah kita akan dapat menampilkan wajah Islam moderat dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan.