KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Presiden Joko widodo menggandeng Ketua MUI KH Ma'ruf Amin usai memukul bedug secara bersamaan untuk membuka Festival Sholawat Nusantara Piala Presiden yang digelar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (24/2/2018).   

Seingat saya, rasanya belum pernah ada konten keagamaan yang begitu  ekstensif dalam perpolitikan Indonesia seperti pada beberapa tahun belakangan ini di negeri kita.

Pada pertengahan tahun 1950-an memang partai-partai politik terpola antara partai agamis, nasionalis, dan komunis. Saat itu partai-partai berbasis Islam memang sempat menonjolkan sisi keagamaan dalam upaya meraih suara pemilih. Namun, tidak sejauh sampai bernuansa membahayakan kebinekaan dalam persatuan. Partai-partai Islam saat itu lebih menekankan pada penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara.

Saat itu partai-partai Islam melibatkan ahli agama hanya yang ada dalam struktur partai. Tidak seperti sekarang di mana banyak "ulama"  atau ustaz yang punya panggung, tetapi berada di luar struktur, dan bukan anggota partai ikut berbicara politik serta mengarahkan rakyat kepada partai atau politisi tertentu.

Mereka inilah yang dipakai oleh para politisi yang tidak mampu mengedepankan program konkret serta rekam jejak yang baik sebagai kuda tunggangan untuk meraih suara. Sebagai akibatnya tumbuh politik identitas dan terjadi polarisasi kurang sehat pada publik dalam bentuk apa yang disebut sebagai "suara Islam versus non-Islam".

Tulisan ringkas ini akan mengulas sejauh mana dalam Islam ulama dibolehkan berpolitik. Apakah ada sunah Nabi Muhammad SAW dalam sejarah yang bisa dijadikan patokan keteladanan dalam kehidupan berpolitik? Apakah Nabi berpolitik?

Politik maslahat

Dalam sebuah diskusi panjang bersama Prof Dr Quraish Shihab dengan judul "Politik Nabi", ada beberapa kesimpulan yang menarik, antara lain sebagai berikut. Tidak ada istilah negara bangsa dalam kehidupan Nabi. Nabi diutus tidak untuk mendirikan negara, tetapi  memimpin umat atau komunitas. Madinah bukan negara, melainkan sebuah masyarakat madani.

Politik nabi adalah strategi nabi. Tak ada partai politik saat itu karena itu tak dikenal apa yang disebut sebagai politik kekuasaan. Politik Nabi adalah strategi untuk mencapai kemaslahatan umat. Strategi untuk mewujudkan peradaban dan keadaban, bukan strategi mencari dukungan suara guna meraih kekuasaan. Wahyu Tuhan adalah sebuah perangkat moral dalam hubungan antarmanusia dan hubungan manusia dengan penciptanya.

Nabi juga pemimpin dan pembimbing spiritual umat. Manusia diciptakan bukan sekadar dalam bentuk fisik, tetapi sebagai makhluk spiritual. Muslim didorong untuk menggunakan akalnya, tetapi yang lebih penting dari itu adalah menyucikan hatinya. Dan, menyucikan hati hanya dapat dilakukan dengan menyempurnakan akhlak. Untuk itulah, terutama Nabi diutus oleh Allah.

Dakwah Nabi juga inklusif sebagaimana ditunjukkan dalam Piagam Madinah yang ditandatangani Nabi di mana warga Madinah yang beragama Islam, Nasrani, dan Yahudi mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang sesuai kesepakatan. Dalam salah satu hadis terkenal disebutkan bahwa ulama adalah ahli waris Nabi. Artinya, ulama adalah penerus misi kenabian. Bila politik Nabi adalah untuk kemaslahatan dan bukan politik kekuasaan, maka seharusnya itulah yang harus diteladani oleh ulama.

Al Quran juga menegaskan bahwa nabi dan ahli warisnya (ulama) berfungsi menyelesaikan dan menemukan solusi bagi berbagai perselisihan umat, bukan justru sebaliknya, menciptakan perseteruan di antara mereka.  Ulama yang jauh pandangannya ke depan juga diharapkan menjadi guru yang mulia, memberikan kejelasan hukum tanpa menimbulkan keresahan, lemah lembut tutur katanya, mewujudkan masyarakat yang tenteram dengan ketenangan batin, memberikan arahan dakwah agar Islam menjadi agama yang menarik bagi mereka yang belum atau tidak seiman, serta mencegah kekacauan yang bisa menyengsarakan umat.

Tidak ada larangan bagi Muslim sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik praktis asal dilakukan dengan menempuh cara-cara yang etis dan berakhlak. Namun, ketika umat berada dalam kelompok-kelompok politik yang berbeda, ulama harus menempatkan dirinya di atas semua golongan dan tidak berpihak kepada kelompok politik tertentu.

Bimbingan ulama dalam kehidupan bernegara harus lebih diarahkan pada kemaslahatan orang banyak dalam bentuk terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Bukan diarahkan pada keberpihakan kepada politisi atau kelompok-kelompok politik tertentu. Sebab, bila arahnya pada pilihan politik praktis, maka perbedaan pandangan di antara berbagai ulama akan mengakibatkan perpecahan di dalam tubuh sesama umat dan warga negara.

Dua ormas Islam terbesar di negeri kita, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang merupakan perkumpulan para alim ulama tersohor di negeri ini, tak terlibat kehidupan politik praktis dengan berpihak pada kekuatan politik tertentu. Meski NU pernah terpeleset menjadi sebuah partai politik pada era demokrasi 1950-an, dan pada 1973 sempat bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan, kemudian timbul kesadaran melepaskan diri dan menjadi organisasi ulama yang mandiri sesuai  Khittah 1926 pada Muktamar Situbondo tahun 1983.

Masjid dan politik

Bolehkah masjid dijadikan ajang kegiatan politik? Bolehkah khatib masjid mengarahkan umatnya untuk memilih partai atau politisi tertentu dalam pemilihan umum?

Mereka yang mengatakan boleh mengambil contoh riwayat Nabi Muhammad SAW yang membangun masjid pertama di Madinah dan menjadikannya sebagai pusat seluruh kegiatannya, termasuk mengatur administrasi umat,  merancang strategi perang, mengeluarkan instruksi, dan sekaligus berdakwah di Masjid Nabawi. Islam tidak memisahkan antara ibadah dan urusan muamalah serta negara.

Mereka yang tidak sependapat dengan  argumentasi itu mengatakan bahwa pemahaman seperti itu sangat di luar konteks. Pertama, pada saat Nabi SAW mulai berdakwah, beliau tidak punya tempat lain kecuali Masjid Nabawi untuk menyelenggarakan semua kegiatannya. Kedua, seperti disebut di atas, kegiatan Nabi bukanlah kegiatan politik praktis, melainkan sepenuhnya kegiatan dakwah.

Bisa dibayangkan bila masing-masing ulama membawa misi politik yang berbeda-beda ke masjid, yang terjadi barangkali "perang" tafsir ayat dan hadis yang tidak habis-habisnya guna mendukung posisi masing-masing seperti apa yang pernah diperingatkan oleh mantan Ketua Umum Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif di sebuah koran Ibu Kota. Beliau menulis, "Tuan dan puan bisa bayangkan, jika dalam kothbah Jumat diselipkan kampanye politik partai tertentu, pastilah masjid berhenti menjadi tempat yang nyaman, diliputi oleh suasana persaudaraan. Perpecahan di akar rumput akan menjadi sulit dihindari…"

Politik dalam arti luas tidak dilarang untuk dikhotbahkan di masjid-masjid. Bukan politik praktis. Politik partisan, sebaliknya, hanya berurusan dengan perebutan kekuasaan. Ketika masjid melibatkan diri ke dalam urusan berebut kekuasaan dan berpihak kepada kelompok kekuasaan dan partai tertentu, di situlah potensi perpecahan bangsa dan umat seagama akan terjadi karena umat tersebar aspirasinya pada lebih dari satu kelompok politik atau partai.

Masjid dari namanya adalah tempat bersujud. Tempat kita mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa. Hadis Nabi SAW mengatakan bahwa masjid dibangun berlandaskan takwa. Bukan tempat bersaing dalam urusan dunia dan politik.  Ulama, tokoh agama, para ustaz, dan sejenisnya sebaiknya menempatkan diri sebagai panutan moral dan pemimpin masyarakat yang memberikan teladan yang baik. Jauhilah kegiatan berpolitik praktis dan upayakan lebih bersikap negarawan sebagai pemimpin umat yang bermartabat dengan pandangan jauh ke depan.