Elite politik terus bermanuver untuk mencari sosok calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pemilu 19 April 2019. Berita manuver itu memenuhi media.

Hampir tiap hari media massa baik koran, televisi, maupun online memberitakan manuver politik elite partai politik. Pembentukan poros politik ketiga dengan harapan bisa mengajukan calon presiden terus diupayakan meski kemungkinannya kian mengecil. Partai saling tekan agar cawapres berasal dari partai mereka. Namun, yang terlupakan dari manuver dan diskusi elite itu adalah siapa yang membiayai pencalonan, kampanye, hingga pelaksanaan Pemilu 2019. Biaya itu besar. Seorang pemimpin partai pernah menyebut bahwa dalam pencalonan presiden tidak hanya menuntut integritas, kapabilitas, akseptabilitas dari calon, tetapi juga isi tas alias dukungan logistik dana.

Di era politik yang sangat transaksional seperti sekarang ini, seorang pejabat tinggi menyebut untuk memenangi pertarungan gubernur ada yang mengeluarkan biaya hingga Rp 1,4 triliun. Bahkan, untuk meraih kursi DPR pada Pemilu 2014, ada caleg yang harus merogoh biaya sampai Rp 40 miliar.

Pemilu 2019 merupakan pemilu dengan kompleksitas persoalan tinggi. Dengan sistem pemilu serentak, menurut Ketua KPU Arief Budiman, terdapat sekitar 20.000 kursi DPR dan DPRD. Jumlah itu akan diperebutkan sekitar 300.000 calon anggota legislatif.

Dengan pemilu lima kotak, pemilu presiden, DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten-kota, serta penghitungan suara caleg yang memperoleh suara akan memakan waktu lama. Dengan simulasi satu TPS terdiri dari 300 pemilih, waktu yang dibutuhkan di TPS akan memakan waktu sekitar 19 jam jika semuanya berjalan mulus dan lancar. Biaya yang telah dialokasikan KPU untuk pemilu serentak adalah Rp 16 triliun jika tidak ada putaran kedua pemilu presiden.

Sebanyak 11.791 TPS akan dibangun. Ini akan berkonsekuensi pada biaya. Jumlah ini meningkat dari 8.354 TPS pada Pemilu 2014. Ketika TPS dibangun, tentunya butuh persiapan saksi dari masing-masing partai politik. Dengan proses penghitungan suara sampai 19 jam, paling tidak satu partai politik harus menyediakan dua atau tiga saksi yang memantau secara bergiliran. Mobilisasi saksi membutuhkan biaya.

Kita angkat masalah ini sebagai wacana terlupakan agar elite politik juga ikut memikirkan kompleksitas persoalan pemilu termasuk besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Dengan sistem pemilu yang mahal, pertanyaan yang kemudian muncul, dari mana dana itu akan diperoleh dan bagaimana dana itu akan dikembalikan setelah mereka meraih kekuasaan.

Apakah realitas ini yang menjelaskan begitu banyaknya anggota legislatif yang menjadi "pasien" KPK. Ke depan, rasanya pemikiran tentang sistem pemilu, termasuk e-voting, perlu dipikirkan secara bersama. Kita menangkap detail pelaksanaan pemilu itu tak terlalu dihiraukan oleh pimpinan partai politik. Adanya partai politik yang berkas pencalonan legislatifnya dikembalikan KPU paling tidak menandakan bagaimana pengelolaan partai politik yang masih butuh pembenahan total.

Kompas, 4 Agustus 2018