KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin Rembang KH Mustofa Bisri atau Gus Mus dan aktor Slamet Rahardjo membaca puisi karya penyair-penyair Palestina saat acara Doa Untuk Palestina di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Mazuki, Jakarta, Kamis (24/8/2017). Acara ini untuk memperingati kemerdekaan RI sekaligus mengingatkan ada masalah kemanusiaan di Palestina.

Ada banyak cerita tentang tradisi puisi kita. Konon, sumbernya dari Eropa, khususnya Belanda. Muhammad Yamin memperkenalkan soneta. Ia lalu dianggap yang mengawali tradisi puisi Indonesia (modern). Sutan Takdir Alisjahbana (STA, 1946) menyebutnya puisi baru untuk membedakannya dengan puisi lama. Garis pemisahnya terjadi pada abad ke-20. Bagi STA, sebelum abad itu, puisi lama sebagai pancaran masyarakat lama, zaman jahiliah, pra-Indonesia. Selepas tahun 1900, bergeraklah puisi (baru) Indonesia. Gagasan itulah yang membentuk dikotomi puisi lama-baru, tradisional-modern. Buku yang disusun Sapardi Djoko Damono (2003), Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan, mewartakan lain. Ia menguak sejumlah puisi abad ke-19.

Sapardi juga tidak menafikan kuatnya pengaruh Barat, "…yang menyebabkan para penulis puisi kita mempertimbangkan cara penulisan baru", meski juga jejak pantun dan syair tidak dapat dihilangkan. Jika A Teeuw (1967, 1980) dan pengamat sastra lain mengabaikan khazanah sastra di surat kabar dan majalah, Sapardi justru memanfaatkannya sebagai sumber data. Maka, terbentanglah benang merah perjalanan perpuisian Indonesia.

Penerbitan surat kabar-surat kabar berbahasa Melayu dengan huruf Latin sesungguhnya menandai keterdesakan tradisi penulisan Arab-Melayu di Nusantara. Memang tradisi itu tidak seketika mati, tetapi lambat laun ia terpinggirkan juga. Bahasa Melayu dengan huruf Latin makin menyebar luas. Mereka yang menguasai bahasa Melayu dengan huruf Latin dengan sendirinya dapat memegang kendali arah perjalanan bahasa dan sastra Melayu.

Dalam hampir semua surat kabar awal yang berbahasa Melayu, seperti Bintang Utara (Rotterdam, 1856), Slompret Melayu (Semarang, 1860), Biang-lala (Betawi, 1867), Bintang Djohar (Betawi, 1873), atau Tjahaja India (Semarang, 1886)—sekadar menyebut beberapa—pemuatan karya sastra laksana jembatan yang menghubungkan sastra bertuliskan Arab-Melayu ke aksara Latin. Itulah sebabnya, pemuatan karya sastra di surat kabar menjadi bagian penting untuk menarik jumlah pembaca yang belum dapat melupakan khazanah sastra yang berkembang sebelumnya.

Dengan begitu, pemuatan karya sastra dapat meningkatkan juga oplah surat kabar. Untuk itulah redaksi membuka peluang bagi pembaca mengirimkan tulisannya yang berupa apa saja. Di sana, kita berjumpa dengan berita, surat pembaca, ucapan selamat, hikayat, cerita, syair yang dimuat bersambung, atau teka-teki yang ditulis dalam bentuk pantun.

Biasanya redaksi sengaja memuat karya sastra yang sudah dikenal publik, terutama dari khazanah sastra Jawa, Melayu klasik, atau terjemahan cerita Timur Tengah. Namun, syair, pantun, dan cerita pendek—yang kini dikenal sebagai cerpen—sebagiannya berasal dari kiriman pembaca. Pada saat itu, pengertian pantun dan syair (selanjutnya disebut puisi) sering dipertukarkan tempatnya. Akibat tiadanya ketentuan yang ketat itu, para penulis puisi leluasa mengangkat berbagai persoalan. Ada ucapan Tahun Baru, pertanyaan tentang harga langganan, penyambutan ulang tahun koran bersangkutan, penerka (teka-teki), peristiwa sehari-hari, atau kejadian aktual yang pernah diberitakan. Semuanya ditulis dalam bentuk syair atau pantun.

Dalam surat kabar Bintang Barat (2 September 1890), misalnya, diberitakan di Lapangan Gambir ada perayaan ulang tahun Wilhelmina. Berita itu jadi lebih berkesan karena ada beberapa bait puisi diselipkan di sana. Menyelipkan puisi dalam sebuah berita ketika itu memang lazim. Tujuannya untuk menambah daya tarik bagi pembaca. Akan tetapi, tidak sedikit pula puisi yang ditulis dalam konteks tertentu. Dalam surat kabar Bintang Djohar (1873), Tjahaja India (1886), Bintang Barat (1890), atau Pembrita Betawi (1896), ucapan selamat Natal, Paskah, Tahun Baru, pengangkatan bupati, atau kedatangan pejabat Belanda ditulis dalam bentuk puisi.

Ketika Gubernur Jenderal Mr AJ Duijmaer van Twist ke Tondano, Minahasa, Bintang Oetara (8 Mei 1857) memuat puisi (tanpa judul) khusus untuk itu. Sebelumnya, di surat kabar itu (5 Mei 1857) dimuat pula 35 bait puisi "Toewan Djendral, J Merkus" untuk mengenang kematiannya. NN, penulisnya, menceritakan prosesi penguburan sang jenderal.

Pemuatan puisi itu, dalam banyak hal, menggambarkan situasi sosial zamannya. Puisi "Pantun Pembunuhan" (Tjahaja India, 9 September 1886), misalnya, mengungkapkan peristiwa pembunuhan yang dilakukan seorang mandor di Jombang. Adapun puisi berjudul "Tjerita Kroe Residensi Bencoelen" yang ditulis Awoer Litjin (Pembrita Betawi, 5 November 1895) mengungkapkan peristiwa gempa bumi di Pasar Kroe, 20 Oktober 1895.

Begitulah, cerita dan berita dalam puisi bukanlah hal baru. Sejak dulu, sastra memang berfungsi begitu. Rupanya banyak pembaca menyukai model puisi naratif seperti itu. Maka, diterbitkanlah puisi-puisi naratif dengan label syair atau pantun yang mengungkapkan berbagai persoalan sosial zamannya. Claudine Salmon (1985) menempatkan fase itu sebagai kebangkitan syair (1886-1910). Namun, karena syair dan pantun hidup dan tumbuh di luar mainstream, Balai Pustaka dan STA menambahkannya dengan konotasi negatif, perkembangan jenis puisi ini seperti sudah selesai. Padahal, benang merah tradisi puisi naratif dalam perpuisian Indonesia cikal bakalnya dari pantun dan syair.

Berbeda dengan hikayat, dongeng atau cerita (prosa) yang leluasa menyampaikan deskripsi dan narasinya, puisi (pantun dan syair) berhadapan dengan berbagai keterbatasan, seperti pembaitan, jumlah kata dalam larik, dan persajakan untuk membangun rima. Dalam proses kreatifnya, penyair kerap merasa terikat pada konvensi itu. Oleh karena itu, selalu ada kata, kalimat, atau istilah yang perlu penjelasan di luar teks puisi. Di sinilah awalnya digunakan keterangan penjelas atau yang belakangan disebut catatan kaki (footnote). Dalam beberapa puisi yang dimuat di sejumlah surat kabar yang disebutkan tadi, kita kerap menemukan keterangan penjelas (catatan kaki) yang rupanya memang sudah lazim.

Ihwal catatan kaki, bagi penulis Tionghoa atau para penyair Pujangga Baru, seperti Rustam Effendi, Yogi, Tatengkeng, dan sederet nama lain, juga bukan perkara baru. Salah seorang penyair Lekra, Klara Akustia (1957), dalam beberapa puisinya menyertakan juga catatan kaki. Hal yang sama dilakukan Ridwan Saidi dalam antologi puisinya, Lagu Pesisiran (2008). Jika kita menyisir sejumlah besar puisi Indonesia, pencantuman catatan kaki sudah terlalu lazim. Oleh karena itu, sama sekali bukan sesuatu yang istimewa.

Jika kita menengok jauh ke belakang, beberapa catatan penjelas ditemukan juga dalam syair-syair Hamzah Fansuri yang bertuliskan Arab-Melayu. Dalam banyak naskah syair yang memakai huruf Jawi, catatan penjelas ditempatkan di pinggir halaman. Contoh kasus yang baik mengenai perkara ini dapat kita cermati pada karya Abdullah Munsyi, "Syair Singapura Terbakar" (1843). Amin Sweeney (2005, 2006) yang menerbitkan hasil transliterasinya, lengkap dengan berbagai penjelasan karya Abdullah, mengungkapkan bahwa teks Melayu hanya mengenal catatan penjelas. Pencantuman keterangan di kaki halaman sulit dilakukan pada naskah tulisan Arab-Melayu. Oleh karena itu, catatan penjelas itu ditempatkan di ujung teks atau di pinggir halaman meski fungsinya tidak berbeda dengan catatan kaki.