Adler Haymans Manurung

 

Belakangan nilai kurs valuta asing terhadap rupiah mengalami penguatan atau bertambah banyak uang rupiah yang diperlukan untuk mendapatkan satu unit valuta asing (satu dollar) dengan dollar AS sebagai patokan. Pada 29 Juli 2018, perdagangan dollar AS terhadap rupiah dinilai sebesar Rp 14.443 per dollar AS. Pernah juga mencapai Rp 14.567 per dollar AS pada 24 Juli 2018.

Jika dilihat, harga valuta asing dollar AS per akhir 31 Desember 2018 berada pada level Rp 13.548 sehingga ada kenaikan sebesar 6,66 persen selama mendekati tujuh bulan. Jika disetahunkan, terjadi kenaikan 11,42 persen, sebuah kenaikan yang tajam. Peningkatan ini kelihatan sudah cukup besar mengingat masih selalu terbayang peningkatan kurs valuta asing tersebut sekitar 5 persen per tahun.

Fundamental ekonomi

Jika dipelajari dari berbagai buku teks, seperti Mark (2001), Connolly (2007), dan Madura (2009), ada beberapa faktor yang memengaruhi nilai kurs mengalami kenaikan. Pertama, adanya perbedaan angka inflasi di antara dua negara tersebut. Perbedaan inflasi antarnegara akan membuat adanya nilai tukar antarnegara. Jika tidak ada perbedaan, nilai tukar akan menjadi 1, dimisalkan seseorang membeli secangkir kopi di Jakarta akan sama nilainya dengan membeli secangkir kopi di New York. Jika kita membeli satu cangkir kopi di Jakarta Rp 5 dan juga 5 dollar AS yang nilainya juga Rp 5, kelihatan tidak ada perbedaan nilai kurs yang intinya menyatakan bahwa 5 dollar AS sama dengan Rp 5 atau disebut nilai kurs 1.

Apabila secangkir kopi tersebut dibeli dengan nilai Rp 7, telah terjadi perbedaan harga, yaitu 40 persen lebih mahal daripada harga di Jakarta. Perbedaan harga ini menyatakan adanya perbedaan inflasi antarnegara. Perbedaan ini dikenal sebagai teori purchasing power parity (PPP), yang diperkenalkan oleh Dornbusch (1985). Jika diperhatikan, inflasi yang terjadi di Indonesia selalu lebih besar dari 3 persen, sedangkan di luar negeri inflasi tersebut tidak lebih dari 2 persen. Oleh karena itu, negara diharapkan selalu membuat harga yang stabil sehingga tidak terjadi inflasi. Beberapa negara selalu mengendalikan harga barang-barang yang diperjualbelikan tersebut. Pengendalian harga barang di pasar membuat daya beli masyarakat tidak berubah.

Kedua, tingkat bunga antara dua negara, yaitu negara yang mempunyai tingkat bunga lebih tinggi akan membuat uangnya lebih banyak untuk membeli satu unit uang negara lain tersebut. Harus dipahami juga bahwa semakin tinggi tingkat bunga sebuah negara, semakin besar risiko pada negara tersebut. Jika tingkat bunga di Singapura lebih rendah dibandingkan dengan di Indonesia, akan terjadi nilai tukar antara rupiah dan dollar Singapura. Sebagai contoh, apabila tingkat bunga di Indonesia saat ini 4,5 persen, sedangkan di Singapura sebesar 3 persen, terjadi perbedaan 50 persen lebih mahal di Indonesia dibandingkan dengan Singapura.

Dengan kata lain, dibutuhkan premium sebesar 1,5 persen atas tingkat pengembalian dana yang diinvestasikan. Akibatnya, banyak pihak melakukan investasi atas perbedaan tersebut, tetapi akan ada risiko akibat perbedaan itu. Bisa diperhatikan antara Amerika Serikat yang tingkat bunganya tidak melebih 1,5 persen. Perbedaan yang mencolok ini membuat harga mata uang Amerika Serikat lebih mahal daripada mata uang rupiah. Bahkan, apabila diperhatikan dengan beberapa negara di regional, tingkat bunga di Indonesia sudah tinggi.

Kedua faktor yang diuraikan sebelumnya merupakan faktor mendasar dan juga merupakan faktor fundamental ekonomi dalam membahas adanya nilai tukar antara dua negara. Bahkan, beberapa bulan sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menyatakan adanya kelemahan dalam fundamental ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, tidak salah bisa terjadi kenaikan nilai kurs valuta asing kita di semua mata uang yang diperdagangkan di Indonesia.

Ketiga, faktor pendapatan masyarakat yang berbeda di antara dua negara. Jika satu negara mempunyai pendapatan lebih tinggi, produksi yang dihasilkan negara tersebut akan laku terjual karena masyarakat mempunyai pendapatan yang cukup. Jika masyarakat mempunyai pendapatan yang kecil, permintaan terhadap satu barang kecil sehingga harga barang dinaikkan agar terpenuhi biaya produksi untuk menghasilkan produksi tersebut. Kenaikan harga mendorong adanya inflasi dan sekaligus menyatakan adanya nilai tukar yang meningkat antara dua negara.

Faktor stabilitas dan eksternal

Setelah dipahami adanya faktor fundamental atau bisa juga disebut faktor internal negara, ada kemungkinan faktor stabilitas dan eksternal memengaruhi nilai kurs antarnegara. Kedua faktor ini akan dijelaskan selanjutnya.

Keempat, adanya stabilitas politik di satu negara dibandingkan di negara lain. Seperti kita pahami, tahun ini merupakan tahun politik, begitu pula tahun depan, akibat adanya pemilihan pemimpin negara dan pemimpin daerah. Negara kita juga sudah melakukan pilkada dua bulan lalu. Aktivitas ini membuat berbagai pihak tidak merasa penting melakukan aktivitas ekonomi di Indonesia. Ketakutan atas aktivitas politik ini membuat mereka merasa dananya tidak aman diinvestasikan di Indonesia dan tidak bisa secepatnya keluar dari Indonesia. Padahal, melakukan investasi di Indonesia merupakan faktor penting apabila ada stabilitas politik. Oleh karena itu, kestabilan politik sangat dibutuhkan dalam rangka membuat tidak adanya perbedaan kurs valuta asing tersebut.

Kelima, adanya kebijakan negara lain yang menguntungkan negara tersebut. Salah satu faktor yang sangat penting adalah adanya kepentingan Amerika Serikat untuk mengundang uangnya kembali pulang kampung dengan cara menaikkan tingkat bunga di negaranya. Amerika Serikat sudah mendengungkan untuk terjadi kenaikan tingkat bunga sebanyak tiga kali dalam tahun 2018. Kebijakan ini membuat beberapa pemilik dana di Amerika Serikat ingin mengembalikan dananya dengan mencairkan dana tersebut, seperti dari Indonesia. Ekonomi Indonesia kelihatan sudah membaik dan membutuhkan dana sehingga perlu dilakukan dengan menaikkan tingkat bunga agar dana tersebut bisa datang.