Apakah aku ada kecenderungan menjadi rasis terhadap orang bule. Anda pasti akan bilang: sulit, melihat bentuk hidungku yang rada mancung ini. Tetapi, suka tidak suka, aku kadang-kadang tak bisa mengendalikan diri ketika menyaksikan gelagat 90 persen orang bule residen Indonesia yang kutemui, entah di Canggu, Bali, atau di Kemang, Jakarta: mereka rata-rata menjengkelkan.

Yang paling menjengkelkanku ialah cara "mereka" bersikap terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia, kata mereka, adalah mudah, maka tidak perlu dipelajari. Alhasil, ragam bahasa Indonesia yang umumnya dipakai oleh mereka, berikut tata krama terkait, kerap dipersepsikan sangat kasar oleh masyarakat.

Hal itu bukan tanpa akibat, seperti di dalam kasus kenalanku berikut ini. Orang itu adalah residen lama Indonesia yang bangga mampu berbahasa Indonesia untuk proyek-proyek yang dikelolanya. Tetapi, setiap berurusan dengan pegawai negeri, dia selalu mengalami kesulitan—dan bukan tanpa alasan: dia menyapa bupati dan camat dengan istilah "kamu", dan tanpa kalimat pengantar. Aduh! Bodohnya. Tanpa menyadarinya, dia memakai ragam bahasa yang dipergunakan orang Belanda dengan jongosnya. Ya! Bahasa "pasaran" para bule kerap menyiratkan nada superioritas sosial warisan zaman tidak enak: ketika para bule masih disebut "tuan". Astaga.

Sebenarnya, seandainya para bule di atas mempelajari bahasa Indonesia dengan baik dan benar, mereka akan serta-merta kehilangan "superioritas sosial" warisan kolonial itu. Mereka akan membaur—dan ada yang melakukan hal itu. Tetapi jika membaur berarti mereka harus juga ikut antrean di kantor polantas untuk mencari SIM A atau SIM C, seperti dilakukan Pak Kusno dan Mbah Wati yang jelata itu.

Banyak sekali bule residen lama menolak hal itu. Terlalu lama berkamu ria dengan pembantu atau partner selingkuhannya. Maka, tidak mengherankan bila, alih-alih mempelajari kunci-kunci sistem awalan-akhiran dalam bahasa Indonesia, mereka lebih suka memakai bahasa Inggris. Hasilnya terjamin: "ngeboss".

Di negeri ini, siapa yang ingin diperhatikan orang harus bermantra Sanskerta di kalangan Hindu, berbahasa Arab di kalangan Islam, atau "ngomong kosong" dalam bahasa Inggris di kalangan lain. Kuasa atas bahasa "sana" adalah syarat mutlak untuk nampang di negeri Indonesia-ku ini. Tetapi hal ini, untuk orang bule, berujung dengan paradoks: mereka suka berceloteh tentang demokrasi Indonesia, tetapi sulit bersikap demokratis terhadap orang Indonesia. Memikirkan ini, pipiku yang putih ini bisa tiba-tiba menjadi merah.

Hal menjengkelkan lainnya pada orang bule ialah cara mereka membungkus kebodohannya dengan kepintaran. Ada banyak bule yang 20 tahun di sini dan tidak tahu ada majalah bernama Tempo dan surat kabar bernama Kompas,tetapi dapat berbicara penuh kepastian selama tiga jam tentang kain Flores atau ukiran Batak atau menjadi informan bagi wartawan gadungan yang berlalu lalang di bar khusus bule.

Bagi mereka, yang penting bukanlah pengetahuan tentang Indonesia dalam segala kompleksitasnya, tetapi justru pengetahuan sepotong-potong seperti martabak Turki. Pengetahuan "orientalis" itu menjadi tanda efektif dari dominasi simbolis mereka atas "kaum pribumi", sebut saja Flores, Batak, dan lain-lain. Para kolektor "antik" zaman kita memang rata-rata adalah penerus dari para penjarah KNIL dari zaman jayanya Belanda. Koleksinya berakhir di museum-museum yang sama.

Sebenarnya Indonesia menghasilkan aneka ragam bule bodoh lainnya: terlalu sedikit ruang untuk menyebut semua di sini. Yang jelas terdapat satu perbedaan sikap yang besar antara "mereka" dan "orang kita". Di Indonesia, orang pintar pun cenderung berdiam diri, maka orang tidak langsung ketahuan kepintarannya—atau kebodohannya, sedangkan orang Barat yang bodoh mana pun merasa ide-idenya harus diungkap dengan lantang. Maka, langsung ketahuan kebodohannya. Aku tak khawatir termasuk kategori terakhir ini.