Beberapa bulan lalu, kalau tidak salah menjelang pertandingan Piala Dunia, saya mendapat kiriman sebuah video kocak di mana dipertontonkan seorang pria yang sedang dikerjaisaat asyik menyaksikan pertandingan sepak bola di layar televisi. Tayangan itu diakhiri dengan menyaksikan sang pria naik pitam dan membanting layar televisi.

Seragam

Waktu menyaksikan kiriman video itu saya terpingkal-pingkal dibuatnya. Saya bisa membayangkan betapa dongkolnya kalau saya juga dikerjai seperti itu. Akan tetapi, setelah terpingkal-pingkal, saya jadi berpikir, mungkin begitu rasanya kalau remote control hidup kita itu dipegang orang lain. Ya, kalau yang pegang mengontrolnya benar, bagaimana kalau berakhir dengan dikerjai?

Kemudian saya teringat akan masa sekolah dulu. Bahwa pemandangan itu harus digambarkan dengan dua gunung yang di tengahnya ada matahari. Kemudian ada sawah dan burung terbang mirip angka 3 terbalik di sisi kanan atas. Dan gambaran semacam itu masih terjadi ketika menanyakan klien saya yang baru berusia 27 tahun beberapa hari sebelum tulisan ini saya kirimkan ke meja redaksi.

Saya dikontrol oleh sistem pendidikan yang menyeragamkan ide. Selain itu, predikat juara kelas itu nilai Matematika-nya, Kimia-nya, Fisika-nya harus super bagus. Tak ada ceritanya juara kelas itu memiliki nilai tinggi dalam pelajaran Agama dan Bahasa Indonesia atau Olahraga. Kalau dulu dengan terpaksa belajar Berhitung, sekarang baru merasakan betapa diskriminatifnya semua itu.

Pada masa sekarang ini, saya berpikir kalau seseorang disebut kaya raya itu harus diwakili dengan rumah yang besar, punya mobil mewah dan penampilan yang bermerek. Saya tak tahu siapa yang membuat aturan sosial semacam itu. Karena ketika saya mendengar ada konglomerat yang naik pesawat di kelas ekonomi, nurani saya langsung menghakimi. "Kikir amat".

Saya baru disebut tak ketinggalan zaman kalau membeli atau memakai baju terbaru dari desainer yang naik daun. Saya harus membeli tas bermerek tertentu untuk dianggap oleh sebuah grup pertemanan. Karena kalau tidak, bisa jadi saya menjadi tidak dianggap dan mendapat predikat ketinggalan zaman. Nah, karena saya ini juga orangnya lemah, pengontrolan sosial yang dilakukan oleh orang lain menjadi lebih mudah untuk menjadikan saya korban.

Bukan seragam

Saya tak pernah menikah dan saya tak pernah berkeluarga. Saya hanya pernah mendengar bahwa ada orangtua yang mengontrol anaknya bahkan untuk menentukan calon pendamping hidupnya. Cinta itu katanya datang dari kebiasaan, jadi awalnya tak perlu cinta yang penting calon mantu dan besan dapat menjamin kehidupan yang seperti ayunan ini.

Saya tak pernah menjalani sebuah perkawinan, hanya pernah mendengar ada suami yang mengontrol pasangan hidupnya atau istri yang mengontrol pasangannya, sehingga hubungan dua anak manusia di dalam perkawinan itu seperti hubungan sipir penjara dan tawanannya. Bahkan, saya dan Anda tahu istilah suami takut istri dan apa yang dimaksud dengan istilah itu.

Dalam kasus yang berbeda, beberapa manusia ada yang terpaksa menikah, tetapi sejatinya karena mereka harus terpaksa melakukan itu karena untuk jujur mengakui bahwa mereka adalah pencinta sesama jenis hanya membuat malapetaka datang lebih cepat. Malapetaka untuk keluarga dan masyarakat.

Karena saya ini tak pernah menikah, tak pernah mempunyai keluarga, maka bisa jadi kalau mendengar pernikahan yang babak belur itu seperti tayangan video kocak di atas. Karena dikontrol orang lain, kekesalan dapat berakhir dengan layar televisi yang pecah berantakan.

Mungkin sudah waktunya Anda dan saya memegang remote control masing-masing. Mengontrol diri untuk memilih saluran yang tepat dan yang sesuai kebutuhan dan bukan hanya kesenangan sesaat.

Sebuah saluran (channel) televisi kehidupan yang membuat Anda bahagia lahir batin, yang dipilih dengan melihat kepada kekuatan dan kemampuan sendiri, dan bukan untuk memuaskan orang lain tetapi diri sendiri. Sebuah channel yang setelah mampu membahagiakan saya, saya bisa membagikan kebahagiaan itu dengan orang lain.

Remote control yang dapat berfungsi mengubah channel kehidupan yang tidak tepat guna menjadi yang tepat guna. Mengontrol pikiran dan perilaku. Sehingga keputusan dalam hidup adalah sebuah keputusan yang dibuat tanpa paksaan, tanpa dipengaruhi oleh orang lain.