REUTERS/ERIC THAYER/FILE PHOTO

Layar menunjukkan nama Facebook sebagai salah satu perusahaan terdaftar di Indeks Saham NASDAQ di New York, Amerika Serikat, Senin (4/7/2018). Saham Facebook cenderung tertekan di tengah sorotan publik global atas data pengguna salah satu media sosial itu.

Harga saham Facebook dan Twitter yang anjlok sekitar 20 persen telah menjadi peringatan mengenai masa depan bisnis media sosial. Mereka harus mengembangkan cara untuk menarik lebih banyak pengguna dan juga berinovasi dalam mencari sumber pendapatan baru. Tidak hanya itu, dampak negatif media sosial juga mulai disorot sehingga bila tidak ditangani maka akan memukul balik perusahaan-perusahaan digital itu.

Perilaku-perilaku agresif, kecanduan, dan menciderai orang lain tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga muncul di media sosial. Masalah ini sudah banyak dibahas. Namun, sampai sekarang belum ada cara-cara yang efektif untuk menghentikan atau setidaknya membatasi perilaku itu. Di dalam beberapa grup media sosial, cemooh dan pencideraan terhadap seseorang mudah sekali terjadi.

Media komunikasi ini memang kadang memunculkan kesalahpahaman, apalagi di negara dengan tingkat literasi dan kemampuan berbahasa rendah, karena mereka yang bermedia sosial kerap membuat unggahan berupa teks yang bermakna ganda atau malah kalimat yang tidak jelas hingga kerap disalahartikan. Konteks unggahan juga tidak mudah dipahami ketika mereka berinteraksi sehingga memunculkan konflik.

Sejumlah negara juga telah mengeluhkan dampak buruk dari sejumlah media sosial karena beberapa unggahan menimbulkan keresahan sosial, seperti di Sri Lanka, sehingga mereka harus membayar mahal akibat unggahan yang berisi ujaran kebencian. Beberapa tokoh juga telah menjadi korban dari berita bohong dan ujaran kebencian hingga kehidupan mereka terusik bahkan reputasinya nyaris hancur.

Seorang kolumnis di media The Guardian Jonathan Freedland pekan lalu mengusulkan ada detoksifikasi media sosial. Ia bahkan mengusulkan perlu ada libur dari media sosial dan juga gawai. Jonathan menyebutkan ada beberapa temannya yang telah memilih untuk libur dari gawai selama sebulan. Mereka menyatakan prihatin dengan tren kecanduan gawai di Inggris karena setiap 12 menit warga Inggris mencek gawai mereka.

Ada yang lebih radikal lagi. Seorang penulis Jaron Lanier dalam bukunya Ten Arguments for Deleting Your Social Media Accounts Right Now menyebutkan, media sosial adalah racun yang membuat kita lebih beringas, merasa sedih berlebihan, dan terisolasi.

Jaron sesungguhnya adalah seorang pionir di dalam industri digital, namun kini malah menjadi pemberontak dalam bidang yang sama. Di dalam buku-buku sebelumnya ia telah mengingatkan, teknologi digital telah menggerus interaksi manusia, mengubah hidup manusia, dan membuat hidup kita gerah.

Pertanyaannya adalah, bagaimana semua ini berawal? Tuduhan diarahkan ke perusahaan media sosial. Mereka sejak awal membuat "strategi kecanduan" dengan berbagai metode pemasaran modern sehingga orang benar-benar lekat dengan media sosial.

Perilaku-perilaku agresif, kecanduan, dan menciderai orang lain tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga muncul di media sosial.

Tidak mengherankan bila beberapa kalangan mempelopori protes ke perusahaan digital agar segera melakukan perubahan. Beberapa perusahaan merespons. Investor Apple sudah menyarankan agar produk-produk perusahaan itu bisa mengurangi kecanduan gawai pada anak-anak. Mereka melihat pada masa depan kecanduan itu akan merugikan bisnis mereka sendiri.

Meski demikian kalangan pemrotes melihat upaya yang dilakukan oleh perusahaan membutuhkan waktu lama. Apalagi bila langkah itu akan menekan penjualan produk mereka dalam waktu dekat.

Baca juga: https://kompas.id/baca/ekonomi/2018/08/01/pengguna-medsos-mulai-tak-bertambah/

Perusahaan media sosial sendiri, seperti Facebook dan Twitter yang harga sahamnya merosot, akan mati-matian mempertahankan penggunaan aktif harian (DAU) atau pengguna aktif bulanan (MAU). Mereka tengah berusaha menarik pemakai lebih banyak lagi.