Gelombang udara panas melanda belahan utara khatulistiwa pada musim panas 2018. Selain mengambil korban, udara panas membuat produksi pangan dunia turun.

Dampak gelombang udara panas di Bumi belahan utara dirasakan di Amerika Utara, Afrika, Eropa, hingga Asia. Gelombang panas yang terjadi sejak Juli lalu menyebabkan suhu udara naik hingga di atas 30 derajat celsius di kawasan yang berada di lingkar Arktika dan suhu naik mencapai 51,3 derajat di Ouargla, Aljazair.

Kita prihatin sebab gelombang panas yang diikuti dengan kekeringan itu mengambil korban jiwa tidak sedikit. Di kota Kumagaya, 40 kilometer dari Tokyo, gelombang panas yang menyebabkan suhu pernah mencapai 41,1 derajat pada awal Juli lalu, misalnya, mengambil korban jiwa hingga 44 orang.

Dampak gelombang panas terutama sangat terasa pada produksi pangan. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), produksi biji-bijian dunia tahun ini turun jutaan ton dibandingkan dengan tahun lalu, terutama karena cuaca ekstrem di Benua Eropa. Ada 38 negara mengalami darurat pangan akibat cuaca ekstrem.

Kekeringan dan gelombang udara panas membuat harga pangan naik dan memaksa banyak negara mengimpor pangan. Dampaknya adalah pada cadangan devisa, kenaikan utang, dan transaksi berjalan yang akan menurunkan kemampuan membangun fisik dan manusia dalam jangka panjang.

Sejumlah laporan mengingatkan, produksi pangan penting dunia, yaitu gandum, jagung dan kedelai, tahun ini akan lebih rendah dari kebutuhan. Tahun lalu adalah tahun ketiga dari empat tahun berurutan produksi tidak sesuai harapan. Produksi biji-bijian saat ini yang terendah per orang secara global dalam tiga dekade terakhir, meskipun secara global, dunia belum berada dalam situasi darurat pangan.

Cuaca ekstrem sebetulnya telah kita duga akan terjadi cepat atau lambat, baik dalam bentuk curah hujan berlebihan yang menyebabkan banjir besar, badai, maupun kekeringan. Peringatan dini telah diberikan sejak lebih dua dekade lalu.

Para ahli menyebut, cuaca ekstrem dipicu pemanasan global akibat aktivitas manusia membakar terlalu banyak energi fosil. Pembakaran tersebut melepas gas karbon, menghasilkan efek rumah kaca, yaitu pantulan panas permukaan Bumi terhalang lepas ke angkasa luar sehingga menaikkan suhu muka Bumi. La Nina yang biasanya membawa banyak hujan dan suhu lebih dingin tahun ini terhangat dengan lebih sedikit curah hujan.

Sebagai penghuni Planet Bumi, kita tidak dapat bersikap acuh tak acuh ketika cuaca ekstrem terjadi di belahan Bumi lain. Langsung atau tidak langsung, kita ikut merasakan dampaknya karena Bumi membentuk satu kesatuan sistem iklim dan cuaca. Memulai dengan membangun kebiasaan baik dari diri sendiri, lingkungan, hingga kota-kota kita, seperti mengurangi penggunaan plastik, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang tidak perlu, atau menanam lebih banyak pohon, akan bermakna besar bila kita dapat melakukannya bersama-sama.

Kompas, 11 Agustus 2018