KOMPAS/IQBAL BASYARI

Wisatawan berfoto di Pantai Kuta yang berada di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Selasa (18/9/2018). Bangunan hotel, restoran, dan fasilitas umum di KEK Mandalika tidak rusak akibat gempa Lombok.

Sebulan silam saya makan siang dengan Akrasid Amatayakul, Duta Besar Thailand untuk Kerajaan Norwegia. Salah satu topik pembicaraan ialah tentang keberhasilan Thailand menggaet wisatawan Norwegia untuk mengunjungi dan tinggal lama (long stay) di Thailand. Dia tak memberi statistik, tetapi memberi indikasi bahwa setidaknya ada sekitar 80.000 wisatawan Norwegia yang berkunjung ke Thailand setiap tahun. Diungkapkan, wisatawan Norwegia adalah "big spenders", royal dan membelanjakan uang setiap hari. Devisa masuk dari wisatawan Norwegia terbilang cukup signifikan.

Lantas saya mencari data mengenai jumlah wisatawan Norwegia yang berkunjung ke Indonesia. Angka yang saya peroleh dari data imigrasi 17.903 (2015), 18.482 (2016), dan 22.230 (2017). Setiap tahun ada kecenderungan meningkat, tapi angkanya masih jauh dibandingkan yang berkunjung ke Thailand setiap tahun.

Pertanyaannya: mengapa angka itu begitu jomplang, padahal tujuan wisata di Indonesia jauh lebih banyak dan tak kalah indah. Saya berkali-kali melakukan kunjungan wisata ke Thailand dan saya merasa obyek wisata kita jauh lebih indah dan lebih layak untuk dijual dan dikunjungi oleh wisatawan. Saya tak hanya bicara mengenai Bali, tetapi tujuan wisata lain, baik yang masuk dalam 10 tujuan wisata utama yang dikampanyekan oleh pemerintah maupun di luar itu. Banyak tempat unik dan indah, termasuk dari segi budaya, adat istiadat, produk kesenian, ataupun pemandangan alam serta ecotourism.

Strategi pemasaran

Saya tak habis pikir kenapa kita belum berhasil menggaet wisatawan asing lebih banyak. Tak terlalu salah kalau kita mengatakan, kita tak memiliki strategi pemasaran yang terpadu dan multidimensi. Kita tanggung dalam strategi pemasaran. Seperti budaya kita yang rada "malu-malu" kita juga punya karakter agak malu-malu dalam pemasaran.

Sementara Thailand melakukan pemasaran yang terpadu dan multidimensi. Pertama, Thailand membuat penerbangan langsung dari Bangkok-Oslo dan juga dengan kota-kota lain. Begitu praktisnya untuk berdarmawisata ke Thailand. Sementara kita tak memiliki penerbangan langsung itu. Kalau akan mengunjungi Indonesia, ada beberapa kali transit yang mesti dilakukan, tergantung perusahaan penerbangan yang digunakan. Penerbangan langsung ini sangat berperan dalam menggaet lebih banyak wisatawan asing berkunjung ke Thailand.

Kedua, Thailand memberikan visa bebas kunjungan selama 60 hari dan ternyata kebijakan ini sangat membantu. Wisatawan umumnya tak mau susah dan ketika diberikan bebas visa selama 60 hari, semua yang dibutuhkannya sudah terpenuhi, perjalanan wisata itu bisa langsung dilakukan. Thailand mengatakan belanjalah selama 60 hari, sumbangkan uangmu untuk Thailand. Sementara kebijakan kita mengenai bebas visa kunjungan hanya 30 hari. Memang lumayan lama, tetapi masih kalah lama. Kita hanya menggoda wisatawan untuk belanja selama 30 hari. Jadi jangan heran kalau pemasukan devisa kita juga lebih sedikit dibandingkan pemasukan Thailand.

Ketiga, Thailand membolehkan orang asing membeli land house. Ternyata kebijakan ini memberikan pemasukan devisa yang besar dan ini membuat wisatawan yang mau long stay, menghindari cuaca ekstrem musim dingin di negara mereka, menjadi lebih mudah. Adalah biasa memiliki dua rumah buat orang-orang yang punya tabungan berlebih dan kalau selama ini rumah yang dibeli itu berlokasi di Paris, London, atau New York, sekarang lokasi bisa di Phuket, Chiang Mai, atau Bangkok.

Kebijakan ini memang kontroversial karena bisa jadi ditafsirkan menjual tanah dan rumah kepada asing, tetapi rumah dan tanah itu, kan, tak akan bisa dipindah atau dibawa keluar Thailand. Jadi uangnya masuk dan propertinya tetap di Thailand. Akibatnya, banyak juga yang menikah dengan orang Thailand yang membuat ikatan emosional semakin erat. Sementara itu, Indonesia belum membolehkan kepemilikan land house karena alasan nasionalisme.

Kita memang sudah membolehkan kepemilikan apartemen, tetapi buat banyak orang, kepemilikan apartemen belum dirasakan cukup. Tentu tak dibantah bahwa manipulasi hukum terjadi seperti apa terjadi di Bali dan Lombok di mana "nominee arrangement" dibuat untuk memiliki tanah dan rumah dengan memakai nama orang lokal, padahal kepemilikannya berada pada orang asing. Kepemilikan land house ini menjamin kedatangan berulang dari wisatawan.

Tentu ketiga hal di atas tak berdiri sendiri. Pemasaran menggaet wisatawan dilakukan dengan perspektif jangka panjang yang cerdas. Sekarang, misalnya, kita menyaksikan betapa banyak restoran Thailand di seluruh kota besar di dunia. Restoran Thailand adalah ujung tombak pemasaran wisata yang mendapat dukungan penuh Pemerintah Thailand dalam hal permodalan, sumber daya manusia (chef), dan bumbu makanan. Di restoran inilah interaksi dengan wisatawan dan calon wisatawan dilakukan dan acara khusus serta penyebaran brosur wisata dilakukan.

Dengan bantuan sosial media dan digitalisasi strategi pemasaran ini, terlihat sangat lengkap dan sempurna, apalagi kedutaan berkali-kali mengadakan festival makanan, busana, dan kesenian yang menggaet banyak perhatian. Ironisnya, pemerintah tak melakukan hal ini. Seandainya di setiap kota besar di negara-negara yang potensial mengirimkan wisatawan ke Indonesia didirikan restoran Indonesia, pemasaran itu jelas akan bisa lebih efektif. Sudah waktunya pemerintah melihat keberadaan restoran Indonesia di luar negeri sebagai sesuatu yang serius dan strategis dalam pemasaran.

Kesiapan infrastruktur

Hal lain yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kita mempersiapkan infrastruktur wisata di semua tujuan wisata kita agar mampu menawarkan semua fasilitas yang dibutuhkan oleh wisatawan, seperti hotel, telekomunikasi, internet, dan guided tour. Yang tak kalah pentingnya adalah pelayanan yang ramah (friendly).  Di sini tak semua daerah bersikap friendly terhadap wisatawan. Bali memang sudah sangat friendly, tetapi banyak daerah lain yang belum siap untuk tak dikatakan "unfriendly". Saya sendiri kalau berwisata ke  kawasan Danau Toba nan indah selalu merasa banyak sekali layanan yang unfriendly.

Ini mungkin cerminan dari budaya Batak yang keras sehingga terhadap wisatawan juga layanan itu sangat keras. Kesan pertama wisatawan yang tak merasa mendapatkan friendly treatment akan membekas dan disebarluaskan kepada wisatawan lain. Ini bukan soal kecil. Dalam dunia wisata, ini soal sangat besar dan penting.

Tentu kita tak boleh tak optimistis. Kalau pemerintah menargetkan jumlah wisatawan menjadi 17 juta pada 2018, tentu kita berharap angka itu bisa tercapai. Kita banyak dapat wisatawan dari peristiwa Asian Games, pertemuan IMF-Bank Dunia, serta berbagai konferensi internasional lainnya. Sekarang angka 6,2 juta wisatawan sudah tercapai dan semoga angka 17 juta itu bisa tercapai. Kalau Thailand bisa mendapat serbuan wisatawan lebih dari 20 juta orang, mengapa Indonesia tak bisa melebihi angka 20 juta tersebut?