Dalam empat tahun terakhir, atas dukungan Kedutaan Belanda, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan bekerja sama dengan kantor LBH APIK di tujuh provinsi dan ratusan paralegalnya melakukan pendidikan politik kewargaan.

Fokusnya antara lain tentang hak-hak fundamental yang termuat dalam UUD 1945, berbagai aturan tentang kekerasan terhadap perempuan, termasuk di dalamnya soal pencegahan perkawinan anak  dan hak-hak atas tanah, serta partisipasi politik  perempuan.

Setelah dilatih, paralegal  mendirikan dan mengurus Sekolah Pelopor Keadilan (SPK) sebagai wadah   pendidikan kewargaan mengenai hak dasar, jender, dan inklusi sosial. Dengan cara ini, berbagai permasalahan akses  hak dasar  dan pelayanan publik, khususnya terkait identitas hukum yang menjadi kunci memperoleh  kartu BPJS, KJP, Kartu Lansia, Kartu Nelayan, sertifikat tanah dan seterusnya, dapat diatasi.

Karena kerja-kerja tersebut, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menganugerahkan penghargaan tingkat nasional kepada LBH APIK NTB dan Sulawesi Tengah (juga penghargaan ORI tingkat provinsi) sebagai Mitra ORI dalam mendorong partisipasi masyarakat  sebagai pengawas pelayanan publik.

Pengalaman emak-emak dari  Galur, sebuah RT  di Johar Baru, ketika menghadapi Pilkada DKI yang lalu, dapat memberi pelajaran yang baik bagi para aktivis dan akademisi yang saat ini sibuk memperebutkan istilah "emak".

Sumi, seorang emak dan paralegal, berhasil mendidik tetangganya dalam  mengatasi persoalan memperoleh identitas hukum dan akses pelayanan publik serta memberikan bantuan hukum kepada  korban KDRT. Ia  mengalami ketegangan politik luar biasa pada Pilkada DKI lalu. Anggota komunitasnya yang  terlibat dalam proyek "peningkatan kesejahteraan warga RT Galur" juga terfragmentasi jadi dua kubu.

Keterbelahan, akibat Pilpres 2014, sebenarnya sudah terasa sejak proyek bersama itu dimulai. Namun, Sumi selalu mengingatkan kesepakatan yang telah dibuat bahwa tujuan utama SPK dan Forum Warga ialah agar warga dapat mengakses pelayanan publik demi kesejahteraan keluarga masing-masing. "Pilkada adalah acara rutin lima tahunan, tetap siapa pun yang terpilih, 'tujuan bersama' harus tetap diperjuangkan. Apalagi kita semua adalah saudara," ujar Sumi dalam wawancara untuk film dokumenter besutan WatchDoc. Bagi Sumi, pegangan utamanya adalah kesepakatan untuk memperjuangkan kepentingan bersama.

Politisasi atau berebut pemaknaan?

Saya belajar banyak dari Sumi, dan juga teman-teman LBH APIK serta paralegalnya  yang bekerja di tingkat akar rumput. Sumi dan jutaan perempuan emak-emak lain yang pada umumnya  hidup di bawah garis kemiskinan itu membutuhkan persaudaraan dan solidaritas dari sesama perempuan. Dari Sumi dan kelompoknya, kita bisa  belajar tentang politik afinitas, yakni  pertalian atas dasar persamaan ide dan isu perjuangan. Politik afinitas inilah yang seharusnya menjadi dasar gerakan perempuan Indonesia yang saat ini  mengalami sakit keterbelahan yang hampir akut.

Alih-alih mempersiapkan platform bersama gerakan perempuan Indonesia untuk ditawarkan kepada dua kandidat yang sedang bertarung, para elite politik, akademisi, dan aktivis gerakan perempuan lebih mempersoalkan istilah "politik emak-emak" dari pada memperdebatkan isu-isu strategis yang akan diusung dalam pilpres. Sementara, para aktivis perempuan yang berpihak kepada politik emak-emak  berangkat dari keprihatinan atas kehidupan para emak karena naiknya harga bahan pokok  sampai dengan tingginya angka kematian ibu (AKI) dan APBN yang belum berpihak pada perempuan.

Munculnya politik emak-emak sebenarnya  buah pendidikan politik gerakan perempuan dan karenanya harus diapresiasi. Kemunculannya  saat ini harus dilihat sebagai  akibat kebuntuan saluran politik formal dan kurangnya kepedulian anggota parlemen perempuan atas permasalahan perempuan kelas bawah. Ambil contoh, soal kebijakan menurunkan AKI dan perkawinan anak, siapa peduli?

RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) hampir  15 tahun terbengkalai atau UU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang tak kunjung diundangkan. Alih-alih mengajak mereka berdialog, malah pamer rekaman PRT belanja Rp 100.000. Padahal bagi sebagian besar emak-emak, persoalannya bukan  bagaimana membelanjakan uang Rp 100.000, melainkan yang lebih penting bagaimana  memperoleh Rp 100.000 itu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Penolakan elite perempuan terhadap istilah "emak- emak" juga menimbulkan gerakan anti emak-emak berpolitik oleh kelompok perempuan milenial.  Mereka berdemo di kantor Bawaslu menolak pelibatan emak-emak dalam politik praktis dalam pilpres. Kesadaran politik para milineal inilah yang justru merupakan pendangkalan dan seharusnya membuat kita prihatin. Bukankah pendidikan   untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan merupakan agenda  utama perempuan setelah 32 tahun dikerdilkan dengan politik domestikasi perempuan?

Meningkatnya kesadaran politik  emak-emak sekarang ini, dari kubu mana pun,  harus dianggap sebagai keberhasilan gerakan perempuan melakukan pendidikan politik. Tentang isinya, jadi tugas kita bersama untuk mendiskusikannya dengan mereka.

Sementara Ketua Kowani juga menolak istilah "emak-emak" dan memunculkan kembali istilah "ibu bangsa" dan  meminta Jokowi menggunakan istilah "ibu bangsa" karena dianggap lebih nobel daripada "emak-emak". Padahal kita tahu bahwa dalam perjalanan sejarahnya konsep ibu bangsa diaktualisasi dalam  kebijakan ibuisme negara,  yang menarik kaum perempuan semata ke ranah domestik. Hegemoni ibuisme negara,  suara mereka dimobilisasi  guna melanggengkan kekuasaan, tanpa bisa bersuara. Sebenarnya, inilah bentuk politisasi perempuan yang sejati.

Hampir tiga dekade lalu, terjadi juga perebutan makna atas kata "wanita" yang berbau ibuisme negara  dan istilah "perempuan" yang dianggap lebih nobel. Kelompok perempuan memenangi pertarungan  ini dengan diadopnya istilah itu pada era Presiden Gus Dur sebagai istilah resmi institusi negara.

Dari solidaritas ke afinitas

Di belahan dunia lain, gerakan perempuan 1990-an ditengarai oleh "identitas perlawanan" yang dikenal  sebagai  politik afinitas. Ini agak berbeda dengan politik solidaritas 1970-an yang memperoleh banyak kritik karena menonjolkan identitas keperempuanannya. Dalam kenyataannya perempuan-perempuan karena kelas dan rasnya mengalami penindasan berbeda-beda.

Pertalian ide melawan patriarki dan proses pemiskinan  yang melahirkan berbagai bentuk kekerasan dan konflik (militer)  seharusnya dapat menjadi platform bersama perempuan dari segala kelas. Kita bisa berbeda dalam banyak hal, tapi tentunya ada persamaan dalam satu hal: melawan patriarki dan para sekondanya. Para aktivis feminis tentulah tak dapat menegasikan kelompok emak-emak melawan patriarki dalam berbagai bentuknya,  termasuk di dalamnya proses pemiskinan yang ditopang sistem ekonomi kapitalis global yang dijalankan pemerintah.

Pertanyaan mendasarnya, bagaimana proyek peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai dengan  mengerdilkan kepentingan emak-emak yang begitu nyata? Bagaimana akan membangun gerakan politik perempuan yang kuat jika klaim kebenaran dimonopoli dan menjalankan politik tribalisme yang berakibat pada fragmentasi? Pertarungan melawan patriarki dan penindasan kelas dan jender hanya dapat dimenangi jika kaum perempuan dari seluruh lapisan menyadari bahwa penyebab berbagai kejahatan politik dan ekonomi adalah sistem ekonomi dan politik maskulin dan tidak berpihak kepada perempuan.  Sumi telah memberikan pelajaran yang baik untuk kita, terutama bagi mereka yang mau berpikir.