Semua itu biasanya merupakan gambaran "ideal" sebuah kota yang nyaman. Namun, setiap tahunnya The Economist Intelligence Unit (EIU) melakukan survei terhadap 140 kota di dunia untuk menetapkan kota-kota mana saja yang paling nyaman untuk dihuni. Kota-kota seperti gambaran ideal itu memang ada.
Untuk tahun 2016, kota Melbourne, Australia, terpilih sebagai kota ternyaman di dunia. Berikutnya berturut-turut Vienna, Vancouver, Toronto, Calgary, Adelaide, Perth, Auckland, Helsinki, dan Hamburg. Dari 10 kota tersebut, tiga berada di Kanada dan tiga berada di Australia. The Economist menggunakan 30 faktor kualitatif dan kuantitatif yang terangkum dalam lima kategori penilaian, yaitu stabilitas keamanan, pelayanan kesehatan, kebudayaan dan lingkungan, pendidikan, serta infrastruktur.
Yang langsung terlihat, kesepuluh kota tersebut berada di negara yang relatif kaya, luas kotanya sedang, dan memiliki populasi yang relatif rendah. Kota-kota ini mampu memberikan standar hidup yang berkualitas tinggi, sementara warganya tidak merasa "sesak" berdesakan, dan lingkungannya terjaga.
EIU juga menyoroti faktor stabilitas keamanan dengan lebih serius dan menyatakan bahwa terorisme menjadi kekhawatiran utama pada tahun ini. Tidak mengherankan, kota seperti Brussels dan Paris peringkatnya melorot.
Di mana posisi kota di Indonesia? EIU menempatkan Jakarta di peringkat ke-56, kalah dari Mumbai (India), Caracas (Venezuela), ataupun Kairo (Mesir), tetapi jauh lebih baik dari 10 kota yang paling tidak layak huni, yaitu Damaskus, Tripoli, Lagos, Dhaka, Port Moresby, Algiers, Karachi, Harare, Douala, dan Kiev.
Sebagai perbandingan, dalam data Worldatlas tahun 2016, misalnya, Jabodetabek menempati urutan kedua di dunia setelah Tokyo-Yokohama sebagai kota yang terbesar penduduknya dengan populasi 30.539.000 orang (Tokyo-Yokohama 37.843.000 orang).
Sudah nyamankah sistem transportasi di Jabodetabek? Seberapa aman dan bersih lingkungan kita? Tentunya masih jauh dari ideal. Namun, apa yang kita ulas di sini sebetulnya merupakan hak dasar warga yang setiap tahun wajib membayar pajak, yang mendambakan sebuah lingkungan yang aman dan manusiawi.
Kita tidak butuh puluhan bangunan mal, tetapi merindukan trotoar untuk berjalan kaki dengan aman, merindukan kota yang bebas sampah, taman yang cukup untuk meredam polusi, lalu lintas yang tertib, transportasi publik yang nyaman dan terjangkau. Mungkin tidak seideal Melbourne, tetapi kota kita harus mengarah ke sana.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Kota yang Nyaman".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar