Di tahun politik ini, generasi milenial jumlahnya sekitar 50 persen dari total warga negara yang punya hak pilih (Kompas, 14/9/2018).

Mereka jadi ladang "rebutan", baik untuk pileg maupun pilpres karena dianggap sebagai ceruk yang menjanjikan kemenangan. Tidak hanya politisi, para pebisnis pun dengan segala variasi usahanya juga membidik mereka. Produk teknologi dengan berbagai derivasinya sepertinya didedikasikan untuk passion mereka.

Hal yang mungkin tak terpikirkan adalah sejumlah kelompok agamawan ternyata juga membidik mereka. Ini terbukti dari model "dakwah", baik di media massa maupun media sosial, yang dikemas dan disesuaikan dengan selera mereka. Tentu perhatian para agamawan kepada generasi milenial  adalah sesuatu yang perlu didorong dan diapresiasi apabila hal itu dilakukan oleh agamawan yang moderat. Namun, apabila yang membidik adalah kelompok radikal, sudah sewajarnya  perlu diwaspadai karena mulai tampak benih-benih pengaruh cengkeraman mereka.

Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Agustus 2017 menyoroti aspirasi milenial dalam kepemimpinan dan toleransi di  34 provinsi di Indonesia. Sebanyak 90,5 persen generasi milenial tidak setuju jika ada gagasan mengganti  Pancasila dengan ideologi lain, sebanyak  9,5 persen menyetujui penggantian Pancasila.

Survei di atas cukup menggembirakan  karena hanya sedikit yang menyetujui penggantian ideologi Pancasila. Sekalipun demikian, perlu berhati-hati karena mereka juga membidik sistem politik, yakni mengganti NKRI. Kehati-hatian itu terafirmasi dengan  penelitian yang dilakukan oleh  Maarif Institute pada 2016, yang menunjukkan lebih dari separuh siswa sekolah menengah umum di Jawa Barat mendukung menuju pembentukan negara berbasis khilafah (Alexander R Arifianto, Banning Hizbut Tahrir Indonesia, 2017). Demikian pula, survei Wahid Foundation (2016) tentang radikalisme di kalangan aktivis Islam (rohis) menunjukkan  78 persen mendukung gagasan pendirian kekhalifahan.

Hasil riset di atas tentu mengkhawatirkan. Orientasi politik generasi milenial bisa berubah; mulai jadi golput, anti-Pancasila, dan menentang NKRI. Demikian juga semaian tradisi beragama yang moderat kepada generasi milenial yang selama ini berjalan bisa goyah dan tercerabut. Salah satu indikasinya, mereka gampang memberi stempel negatif terhadap sesama umat Islam yang berbeda, apalagi yang berbeda agama.

Stigma kafir dengan makna musuh bebuyutan   bisa diucapkan anak setingkat SD. Beberapa tahun lalu, kolega dosen di Surabaya sempat terkejut ketika anaknya seusai pulang dari sekolah, lalu mengucapkan kata kafir dengan intonasi geram. Tentu hal ini cukup menyeramkan.

Kisah lain, baru saja seorang teman sepulang dari NTB untuk mengawal bantuan gempa sempat mampir ke rumah saya. Dia bercerita ada seorang sukarelawan  datang ke  tenda pengungsian di dekat  Gunung Rinjani. Si sukarelawan berusaha menghibur anak-anak, lalu dilanjutkan dengan pengenalan pentingnya toleransi dengan menanyakan nama-nama agama di Indonesia. Anak-anak menjawab dengan tepat. Namun saat ditanya lagi apakah  boleh saling memusuhi? Jawaban anak-anak sangat mengejutkan. Mereka serempak menjawab boleh. Tentu ini sedikit kasus saja, tidak mencerminkan totalitas warga NTB yang toleran.

Jebakan argumen kelompok radikal

Aras berpikir sempit dengan muatan kebencian demikian ini akan cepat tersebar berkat konektivitas internet. Karena, seperti dijelaskan dalam buku Millennial Nusantara karya Hasanuddin Ali dan Uuk Purwandi, ciri utama generasi milenial ialah ketersambungan komunikasi internet. Internet akan cepat membantu menciptakan friksi apabila itu dipegang kalangan radikal.

Lalu, pilihan argumen apa saja yang biasa digunakan kelompok radikal untuk memengaruhi pola pikir generasi milenial? Perlu disadari, cara mendoktrin generasi milenial tidak  dilakukan secara "paksa", tapi menggamit wilayah nalar mereka. Sekali lagi, ciri generasi milenial tidak suka diindoktrinasi. Mereka lebih suka jenis komunikasi dua arah seperti diskusi dan dialog, demikian kata Hasanuddin Ali seperti dikutip nu.online.

Artikel tahun 2016 berjudul "Millennials: Burden, blessing, or both?" yang ditulis Joanna Barsh, Lauren Brown, dan Kayvan Kian, memperkuat pernyataan di atas. Walau artikel ini fokus pada bisnis terkait generasi milenial,  ada kutipan yang relevan: bahwa dalam menghadapi generasi milenial, seorang pemimpin harus mau mendengarkan, dengan mendorong dialog dua arah  antargenerasi.

Kelompok radikal menyadari betul strategi merekrut mereka. Saat mendekati generasi milenial, mereka mengajak dialog. Lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik nalar dan menggugah rasa ke hadapan mitra diskusinya. Semisal pertanyaan, "Anda mengaku sebagai umat beragama yang taat, lalu pegangan tertinggi kehidupan Anda itu apakah kitab suci, atau Pancasila dan UUD 1945?"

Saat sidang sebagai saksi ahli saya juga dikejar pertanyaan oleh pengacara kelompok yang hendak mendirikan khilafah tentang hierarki sumber hukum Islam. Saat saya sebut sumber hukum Islam adalah Al Quran, hadis, ijmak, dan qiyas, lalu si pengacara bertanya tentang posisi Pancasila yang tidak ada dalam tata urutan sumber hukum Islam. Maksud pengacara ini mau menjebak saya agar  tidak bisa membantah argumen mereka.

Tentu jebakan pertanyaan seperti itu akan mengacaukan nalar  generasi milenial yang memang baru sedikit mengenal ajaran agama yang memiliki ragam mazhab dan pemikiran. Saat dijawab sumber hukum agama berbeda dengan sumber hukum di NKRI, maka kelompok radikal sudah menyiapkan senjata lainnya dengan melontarkan stempel; sekuler, liberal, dan  tidak konsisten serta tidak taat agama. Untuk  itu, memberi pemahaman tentang posisi kitab suci, Pancasila, dan UUD 1945 harus dilakukan dengan memasukkan ke dalam kurikulum.

Kelompok radikal ini untuk mempromosikan khilafah juga punya strategi  menjebak yang lain. Mereka akan mengeksplorasi wacana para ulama yang mendukung ide khilafah, lalu akan disuarakan secara masif bahwa khilafah adalah bagian tak terpisah dari ajaran Islam. Selanjutnya akan dikonstruksi secara logis bahwa menentang khilafah sama dengan menentang Islam. Setuju  dengan khilafah, tapi hanya duduk berpangku tangan tidak berupaya menegakkan khilafah, maka orang itu dianggap telah melakukan dosa atau maksiat paling besar. Bisa dibayangkan kalau tidak setuju dan menentang, pasti dosanya berlipat.

Mereka akan menggiring nalar generasi milenial bahwa dalam Islam sistem politik yang absah adalah khilafah dan sumber hukum yang tertinggi adalah Al Quran dengan membangun logika berlawanan, bukan logika berdampingan dan saling mengisi. Padahal, menggunakan logika berdampingan dan saling mengisi terdapat sandaran argumentasinya. KH  Afifuddin Muhajir dalam bukunya Fiqh Tata Negara menjelaskan bagaimana hukum Barat bisa diterima dalam wacana fikih selama tidak bertentangan dengan Islam. Belum lagi apabila menggunakan pendekatan maqashid syariah.

Namun, kelompok radikal lebih memilih model beragama yang mempersempit dan mempersulit cara memahami dan mengaktualisasikan serta menciptakan kreasi positif dalam beragama. Kiai Husein Muhammad pernah menjelaskan terdapat kaidah-kaidah seperti; al-ashl fi al-mu'amalat al-ibahah (pada dasarnya dalam relasi dan transaksi sosial adalah boleh), dan al-ashl bara-ah al-dzimmah (pada dasarnya manusia bebas dari kesalahan/asas presumption of innocent).

Kaidah fikih yang lapang ini sering diabaikan  dengan memilih menggunakan kaidah yang sebaliknya, yakni "sadd al-dzari'ah" (menutup peluang bagi terjadinya keburukan dan bahaya), yang merupakan mekanisme hukum yang membatasi dan  bersifat protektif. Dengan cara pandang seperti ini, para ahli fikih lalu memproduksi  hukum-hukum yang melarang, membatasi, dan memproteksi tingkah laku manusia, secara individu maupun sosial.

Generasi milenial dipagari sedemikan rupa oleh  kelompok radikal melalui ajaran yang sempit dan membelenggu. Tentu generasi milenial harus dibuat merdeka dalam berpikir dengan suluh ajaran agama  yang membebaskan, mencerahkan, moderat, serta toleran.