Dari pemilu ke pemilu, partai-partai politik cenderung hanya melakukan kontestasi meraup suara pemilih, tanpa kontestasi program kebijakan dengan visi yang jelas. Di ajang pemilu legislatif, euforia pemilu di Indonesia telah lama disimbolkan dengan atribut "pesta demokrasi". Puncak pesta ini adalah ajang pengerahan massa dalam penyelenggaraan kampanye. Panggung hiburan dan pemberian kaus serta kebutuhan pokok tampil sebagai pemikat di dalam karnaval politik yang sifatnya seremonial dan tak substantif.
Di negara-negara demokrasi mapan, partai politik diikat oleh nilai-nilai ideologis di mana diferensiasi platform antarpartai tecermin melalui program mereka sebagai posisi dalam berbagai isu politik, ekonomi, dan sosial. Kita di Indonesia sulit menemukan nuansa ideologis yang membedakan posisi suatu partai dengan partai lain pada tataran operasional. Di Indonesia, ketika terjadi pro-kontra di DPR pada isu tertentu yang harus diselesaikan melalui voting, pengubuan partai/fraksi lebih didasarkan kalkulasi perimbangan kekuatan dan kepentingan politik sesaat, bukan pada kesamaan visi ideologis.
Di AS, Partai Republik dan Partai Demokrat memiliki posisi berseberangan untuk banyak hal, berdasarkan garis ideologi masing-masing. Republik berhaluan liberalisme ekonomi klasik/kapitalisme dan nilai-nilai konservatisme sosial AS, sementara Demokrat berpedoman liberalisme modern, mengedepankan gagasan kesetaraan sosial-ekonomi dan negara kesejahteraan (welfare state).
Pada tataran program kampanye, untuk anggaran pertahanan misalnya, Partai Republik yang bervisikan AS sebagai negara adikuasa global, proanggaran pertahanan yang tinggi. Sementara Partai Demokrat selalu menawarkan program-program jaminan sosial. Ini berlawanan dengan posisi Partai Republik yang ingin peran negara dalam kehidupan publik diminimalkan dan peran kelompok bisnis kuat, tak dibebani dengan pajak yang tinggi.
Di Indonesia, kekeringan ideologis partai politik dan kesenjangan jarak antara partai politik dan konstituennya ataupun rakyat secara umum adalah dampak kebijakan depolitisasi, deparpolisasi, dan deideologisasi yang diberlakukan rezim Orde Baru pada era 1970-an saat melakukan konsolidasi kekuasaan yang bertumpu pada kekuatan Golkar sebagai partai penguasa dan militer. Secara sistematis Orde Baru mengalienasi rakyat dari ideologi dan proses politik.
Akibatnya, proses dan sistem politik menjadi tidak transparan, birokratis, dan menafikan partisipasi serta kesadaran politik warga negara yang bersifat otonom. Penyaluran segala aktivisme politik sudah diatur berdasarkan sistem korporatisme negara. Semua aktor politik dan penyaluran kegiatan politik di luar sistem dinyatakan sebagai ilegal dan subversif serta dianggap mengancam stabilitas politik dan pembangunan. Dalam kerangka pikir semacam ini, rakyat sekadar obyek yang pasif dan apolitis, yang perlu dibina dan diarahkan menuju tercapainya "cita-cita pembangunan nasional".
Kepemimpinan visioner
Sistem multipartai era Demokrasi Parlementer 1950-1959 yang penuh warna-warni ideologis dan politik aliran oleh Orde Baru dianggap mengganggu stabilitas politik, yang dijadikan sebagai dasar penyelenggaraan pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan yang tinggi. Oleh karena itu, platformideologi partai politik, sistem multipartai, dan bahkan kemudian kesadaran politik warga negara pun dilucuti secara sistematis.
Di atas reruntuhan struktur politik inilah landasan Reformasi 1998 diletakkan. Meski demokrasi dan sistem multipartai telah kembali, partai-partai politik baru dan partai politik lama dengan wajah baru, yang lama hidup dalam iklim politik Orde Baru, praktis tidak memiliki program visioner apa pun untuk ditawarkan kepada rakyat. Ketika pemilu diselenggarakan, muncul ketergantungan pada figur. Partai pun lebih sebagai kendaraan para politisi yang sibuk bergelut dalam pertarungan elite yang kontraproduktif.
Bagaimanapun, muncul rahmat terselubung bahwa masalah kekeringan ideologis ini jadi peluang bagi partai-partai beserta para tokohnya untuk melakukan positioning pada isu-isu besar, sekaligus menawarkan program visioner kepada rakyat pemilih. Di ranah eksekutif, kita menyaksikan tren positif munculnya para pemimpin yang bersih, kompeten, dan visioner, yang tak hanya berkomitmen, tetapi juga mampu menerjemahkannya ke dalam program-program kebijakan yang konkret, yang mampu menjawab tantangan di berbagai bidang.
Di tengah kekeringan platformideologis, prinsip-prinsip seperti pembangunan yang partisipatoris, transparansi, anti- korupsi, atau perlindungan terhadap hak-hak kelompok minoritas misalnya, dapat dijadikan landasan program-program operasional partai yang ditawarkan kepada rakyat pemilih di dalam kampanye pemilu kita. Selain itu, partai-partai politik juga semestinya ditantang untuk menyiapkan program untuk merespons berbagai masalah, misalnya ketenagakerjaan, ketahanan pangan, energi, bagaimana posisi, dan arah ekonomi Indonesia di tengah berlangsungnya Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan sebagainya.
Partai politik dan para figurnya hendaknya turut mencerdaskan rakyat pemilih dengan mengeksplorasi perumusan program kebijakan berdasarkan perkembangan aktual di segala bidang, baik di lingkup lokal, nasional, regional, maupun internasional, yang berdampak terhadap negara kita. Sesungguhnya masih banyak hal yang dapat dan harus dikerjakan. Dari sinilah kita dapat membangun kembali kepercayaan rakyat terhadap partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi, yang pada akhirnya akan memperkuat sistem demokrasi kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar