Pengaruhnya menyebar ke banyak pasar sedang berkembang (emerging markets), seperti Afrika Selatan, India, dan Indonesia. Penyebabnya adalah kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat, perang dagang, dan kondisi keseimbangan keuangan di ekonomi sedang berkembang (emerging economies) itu sendiri, seperti defisit transaksi berjalan, defisit anggaran, utang luar negeri yang besar, serta cadangan devisa yang kurang memadai.
Krisis mata uang, krisis keuangan, krisis ekonomi
Krisis mata uang (currency crisis) dipahami sebagai jatuhnya atau besarnya depresiasi nilai suatu mata uang terhadap mata uang kuat (khususnya dollar AS) yang tidak saja terjadi untuk sistem mata uang tetap (fixed exchange rate), tetapi juga mengambang (flexible exchange rate). Krisis mata uang tidak selalu menyebabkan krisis keuangan (financial crisis), yaitu rusaknya sistem intermediasi keuangan, dengan bank dan lembaga keuangan nonbank mengalami insolvensi (modal negatif). Sementara krisis keuangan pada umumnya menyebabkan krisis ekonomi (economic crisis) di mana pertumbuhan ekonomi negatif dan kenaikan harga sangat tinggi (hiperinflasi) atau penurunan harga yang dalam (deflasi). Pada tahun 1998, Indonesia mengalami sekaligus krisis mata uang, krisis keuangan, dan krisis ekonomi, dan bahkan krisis politik. Nilai mata uang jatuh dalam sekali, bank insolven, pertumbuhan ekonomi negatif 13 persen, inflasi 60 persen, dan jatuhnya kekuasaan Soeharto.
Saat ini Turki dan Argentina mengalami krisis mata uang, di mana nilai mata uang mereka terdepresiasi sekitar 40 persen terhadap dollar AS. Namun, mereka belum mengalami krisis keuangan karena lembaga intermediasi keuangan masih berfungsi. Inflasi mulai meningkat cukup tinggi dan pertumbuhan ekonomi melemah yang memberikan peringatan pada kemungkinan krisis ekonomi. Sementara India dan Indonesia yang mata uangnya terdepresiasi cukup dalam belum mengalami krisis mata uang.
Mengapa Indonesia yang fundamental ekonominya cukup baik, pertumbuhan ekonomi 5,3 persen, inflasi 3,2 persen, defisit APBN 1,9 persen, dan defisit neraca berjalan masih 3 persen, cadangan devisa juga cukup 118 miliar dollar AS, terkena penjalaran dari krisis keuangan? Penjelasannya adalah karena penjalaran krisis mata uang adalah melalui medium likuiditas uang (seperti layaknya udara). Setiap ada bagian dari tubuh ekonomi yang keseimbangannya terganggu, untuk kasus Indonesia defisit neraca berjalan, dan cadangan devisa yang terbatas, maka penjalaran krisis mata uang makin besar akibatnya. Sebenarnya jika bank sentral AS menunda kenaikan suku bunga dan Donald Trump menghentikan perang dagang, penjalaran krisis mata uang tak perlu terjadi. Namun, bank sentral AS harus menaikkan suku bunga untuk mengantisipasi inflasi. Dana yang kembali ke AS, untuk mendapatkan keamanan dan imbal hasil, sekaligus menutupi defisit anggaran dan neraca berjalan yang sangat besar.
Ketidakseimbangan keuangan
Ketidakseimbangan keuangan yang ingin diperbaiki di pusatnya AS dan aliran dana kembali ke AS memperburuk keseimbangan keuangan di pinggiran atau pasar sedang berkembang. Jika keadaan ini terus berlangsung, krisis mata uang bisa meningkat menjadi krisis keuangan dan krisis ekonomi. Seperti layaknya pesawat terbang yang mengalami ketidakseimbangan atau retak di badannya, terbang di udara yang bergejolak (turbulensi) membuat ketidakseimbangan kian buruk dan retakan bisa jadi meluas.
Hampir dipastikan bank sentral AS akan menaikkan suku bunganya beberapa kali lagi. Sementara itu, kelakuan Presiden Trump yang mengobarkan perang dagang sulit dikendalikan. Apalagi dalam perang dagang dengan China bukan hanya karena motivasi ekonomi, melainkan juga strategis menentang kedigdayaan China. Karena itu, kemungkinan krisis mata uang di ekonomi sedang berkembang masih akan berlanjut dan begitu juga pengaruhnya. Rupiah masih akan mengalami tekanan dan berfluktuasi.
Bank Indonesia sebagai otoritas yang bertanggung jawab terhadap stabilitas rupiah telah melakukan berbagai langkah untuk menstabilkan nilai rupiah, tetapi depresiasi (pelemahan) rupiah masih terus terjadi melebihi 8 persen dengan tingkatan yang mendekati angka krisis 1998. BI telah menaikkan suku bunga kebijakan 1,25 persen, intervensi di pasar valuta asing, fasilitas swap (lindung nilai). Pembatasan impor, mendorong ekspor, serta langkah lain juga telah dilakukan pemerintah.
Selama The Fed menaikkan suku bunga dan perang dagang terus berlangsung, turbulensi dari aliran modal keluar dari pasar modal dan pasar obligasi masih akan terus terjadi. Namun, pada saat harga saham dan obligasi menjadi sangat murah, kemungkinan dana akan masuk kembali, untuk mendapatkan keuntungan (capital gain) seperti yang terjadi belakangan ini dengan menguatnya rupiah untuk sementara waktu. Jika tekanan eksternal meningkat lagi, modal itu juga akan keluar lagi. Investor semakin berperilaku sebagai pedagang (trader), membeli saham atau obligasi saat harga murah, dan menjualnya ketika harga cukup tinggi dan kemungkinan tekanan eksternal meningkat lagi.
Langkah mendesak
Langkah yang harus segera dilakukan adalah penambahan cadangan devisa melalui kerja sama dengan bank sentral lain dan kerja sama multilateral. Sampai sekarang langkah ini belum secara jelas dilakukan. Cadangan devisa yang lebih besar memberikan kepercayaan bagi investor terhadap stabilitas rupiah. Sementara penurunan cadangan devisa memberikan sinyal kepada berlanjutnya pelemahan rupiah. Langkah lainnya adalah identifikasi terhadap perusahaan BUMN dan swasta yang utang luar negerinya besar, apalagi penerimaannya rupiah.
Langkah untuk mencegah keterlambatan atau bahkan gagal bayar harus dilakukan lebih dini. Selanjutnya adalah identifikasi terhadap bank yang mengalokasikan kredit dalam dollar, tetapi penerimaan nasabah dalam rupiah. Sekalipun Otoritas Jasa Keuangan menyatakan bahwa perbankan masih aman dengan rupiah mencapai Rp 20.000 per dollar AS, keadaan bank satu dengan yang lain berbeda-beda. Kelemahan satu bank bisa menjadi sistemis yang menjalar ke bank lainnya. Sementara langkah yang tergesa-gesa seperti kasus Bank Century pada 2008 bisa menimbulkan permasalahan politis yang rumit.
Bank pada umumnya juga cukup besar memegang obligasi pemerintah yang harganya menurun cukup dalam, dengan imbal hasil (yield) mencapai sekitar 8 persen. Dengan perhitungan harga pasar (mark to market), kemungkinan banyak bank mengalami kerugian dengan tetap memegang obligasi. Sementara kapan harga obligasi akan naik lagi atau yield akan turun lagi tidaklah menentu (uncertain). Memang bank-bank yang mempunyai risiko sistemik dalam kategori Buku III dan IV dapat dikatakan aman, dengan rasio kecukupan modal yang cukup tinggi, sekitar 21 persen, dan kredit macet (NPL) relatif rendah di bawah 3 persen. Namun, bank dalam kategori Buku II mudah terpukul jika likuiditas kian ketat karena peningkatan suku bunga.
Investasi migas juga harus segera difasilitasi untuk menaikkan produksi dan mengurangi defisit migas. Langkah yang belum dilakukan ini sebenarnya lebih efektif dalam mengatasi defisit migas daripada biodiesel 20 persen yang belum tentu dijalankan dengan baik seperti sebelumnya. Berbeda dengan pasar ekspor produk manufaktur yang terhambat oleh perang dagang, migas tak mengalaminya. Seperti pesawat terbang, ekonomi Indonesia dalam keadaan layak terbang, sekalipun dalam keadaan udara bergejolak (turbulensi), namun terdapat ketidakseimbangan pada bagian sayap (defisit transaksi berjalan dan kurang memadainya devisa) yang harus distabilkan. Ini perlu dilakukan karena setiap ketidakseimbangan akan dimanfaatkan spekulan untuk menekan nilai rupiah lebih dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar