Dengan berlakunya SJSN yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan, masalah kesehatan masyarakat Indonesia seharusnya dapat diurus dan ditangani dengan baik. Hal ini tentu perlu disambut baik dan perlu didukung oleh semua pemangku kepentingan agar tujuan SJSN, khususnya di bidang kesehatan, dapat dinikmati seluruh rakyat Indonesia.
Kaji ulang SJSN
Namun, sepertinya pelaksanaan SJSN itu perlu ditinjau ulang. Baru berjalan empat tahun sejak 2014, telah muncul tanda-tanda bahaya atas keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut. Hal ini tampak dari kondisi keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS) yang dikelola BPJS Kesehatan yang mengkhawatirkan.
Akumulasi defisit DJS Kesehatan yang telah mencapai Rp 23 triliun per 31 Desember 2017 mulai menunjukkan permasalahan yang serius. Permasalahan keuangan DJS BPJS Kesehatan tersebut mulai membawa banyak korban dan permasalahan ke pemangku kepentingan lain. Misalnya banyaknya tagihan fasilitas kesehatan (faskes) tingkat lanjut atau rumah sakit (RS) yang belum dibayar oleh BPJS Kesehatan. Tagihan RS yang belum dibayar membawa efek berantai ke pihak lain, misalnya tagihan obat perusahaan farmasi tidak dibayar oleh RS. Defisit DJS Kesehatan pasti juga akan mengurangi kualitas layanan kepada peserta dan mengakibatkan kualitas kesehatan masyarakat akan menurun.
Defisit DJS Kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan telah berakibat serius terhadap pelaksanaan JKN. Jika defisit ini tidak segera ditangani dengan baik, akan berakibat terhadap kolapsnya BPJS Kesehatan dan gagalnya program JKN. Pemerintah dan semua pemangku kepentingan perlu segera mengambil langkah agar program JKN ini dapat dijaga keberlangsungannya.
Ada beberapa penyebab defisit DJS Kesehatan. Pertama, tidak seimbangnya antara penerimaan iuran dan beban manfaat kesehatan yang ditanggung BPJS Kesehatan. Berdasarkan Laporan Pengelolaan Program DJS Kesehatan per 31 Desember 2017, pendapatan iuran yang diterima Rp 78 triliun, sementara beban yang harus ditanggung Rp 92,8 triliun. Jika ketidakseimbangan ini tidak segera diatasi, sampai kapan pun DJS Kesehatan akan terus defisit dan jumlahnya semakin membengkak.
Kedua, ketidakseimbangan pendapatan dan beban tersebut perlu diurai tiap komponennya agar diketahui mengapa beban membengkak mencapai Rp 92 triliun. Komponen terbesar dari beban tersebut adalah beban jaminan kesehatan yang mencapai Rp 84 triliun. Ini terdiri dari beban rawat inap tingkat lanjut (RITL) Rp 47 triliun, rawat jalan tingkat lanjut (RJTL) Rp 23,5 triliun, dan rawat jalan tingkat pertama (RJTP) Rp 12,7 triliun. Adapun sisanya adalah rawat inap tingkat pertama Rp 894 miliar serta biaya promotif dan preventif Rp 207 miliar.
Sementara biaya rawat jalan tingkat pertama yang diberikan kepada faskes tingkat pertama (FKTP) dengan sistem kapitasi Rp 12,7 triliun. Beban terbesar diberikan kepada puskesmas milik pemda Rp 8,5 triliun.
Kaji ulang sistem kapitasi
Dari survei dan kunjungan penulis selama bertugas di BPJS Kesehatan, banyak puskesmas yang belum menggunakan dana kapitasi ini dengan optimal, yang berarti dana "nganggur" yang seharusnya bisa mengurangi beban BPJS Kesehatan. Di sinilah beban itu bisa dibagi antara pemerintah pusat dan daerah. Kapitasi adalah sistem pembayaran BPJS Kesehatan kepada FKTP yang dibayarkan berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar di FKTP tersebut, tanpa melihat realisasi jumlah kunjungan RJTP.
Seharusnya dengan kewajiban pemda menganggarkan dalam APBD-nya anggaran kesehatan 10 persen, bisa menanggung sebagian anggaran untuk puskesmas yang berada di bawah pengelolaan pemda. Dengan begitu, beban kapitasi/RJTP kepada puskesmas bisa dikurangi sehingga dapat mengurangi beban DJS Kesehatan/BPJS Kesehatan.
Penghematan kedua yang dapat dilakukan BPJS Kesehatan adalah evaluasi atas kapitasi yang diberikan ke FKTP lainnya yang mencapai Rp 4,2 triliun. Walaupun telah mendapatkan pelayanan di FKTP dengan beban Rp 12,7 triliun, tingkat rujukan ke faskes tingkat lanjut (FKTL) masih cukup tinggi, yaitu 12 persen-15 persen. Dengan tingkat rujukan yang tinggi ke FKTL, artinya BPJS Kesehatan harus mengeluarkan beban lagi untuk melayani peserta di tingkat FKTL. Hal ini menjadikan BPJS Kesehatan membayar "pengeluaran ganda" dengan sistem tersebut.
Jika melihat praktik di Perancis sebagai salah satu negara terbaik yang menjalankan sistem jaminan sosial kesehatan, pembayaran RJTP dilakukan dengan sistem reimburse (penggantian). Peserta membayar sendiri terlebih dahulu, baru ditagihkan ke badan asuransi sosial. Dengan sistem reimburse, barangkali BPJS Kesehatan dapat mengurangi beban RJTP dan dapat mengatur cash flow dengan lebih baik.
Selanjutnya, komponen beban terbesar adalah beban RITL Rp 47 triliun dan RJTL Rp 23,5 triliun. Artinya, BPJS Kesehatan harus mengeluarkan beban manfaat yang sangat besar, mencapai 76 persen dari total beban manfaat kesehatannya. Tentu banyak faktor yang memengaruhi besarnya beban di tingkat FKTL ini. Penulis tidak membahas secara khusus, tetapi perlu ditinjau tentang kemungkinan berbagi beban biaya ini dengan peserta yang mendapatkan layanan di tingkat lanjut atau di RS.
Perlu dipikirkan ulang syarat peserta dapat dijamin seluruhnya untuk pelayanan di RS. Apakah mungkin jika hanya kelompok peserta penerima bantuan iuran (PBI) saja yang dapat jaminan penuh, sementara golongan peserta lain perlu memiliki asuransi tambahan untuk ditanggung sebagian bebannya oleh asuransi swasta. Dengan gotong royong, di antaranya dengan berbagai beban biaya ini akan mengurangi beban dan defisit BPJS Kesehatan. Mudah-mudahan ada solusi komprehensif untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar