Kabar duka kembali mencuat dari sepak bola Indonesia. Tewasnya Haringga Sirla, akhir pekan lalu, memperlihatkan ada yang keliru pada industri sepak bola kita.
Laga sepak bola bisa membawa kegembiraan atau kekecewaan pada pendukungnya. Namun, olahraga terpopuler ini tidak seharusnya berbuah kekerasan di dalam atau di luar lapangan. Faktanya, pengeroyokan yang menyebabkan Haringga melepas nyawa di luar Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Bandung, ini bukan insiden pertama. Insiden ini juga tak akan menjadi yang terakhir apabila tidak ada tindakan tegas untuk mencegahnya.
Anggota Jakmania, pendukung klub Persija Jakarta, itu menjadi korban ketujuh akibat kekerasan suporter sepak bola di Tanah Air dalam satu tahun terakhir. Hal ini terjadi dua bulan setelah Muhammad Iqbal, seorang pendukung PSS Sleman, tewas dikeroyok suporter PSIM Yogyakarta. Khusus perseteruan antara pendukung Persija dan Persib Bandung, tercatat tujuh orang meninggal sejak 2012 saat tiga bobotoh Persib menjadi korban.
Dalam kasus yang menyebabkan Haringga tewas, polisi bertindak cepat dengan menetapkan sedikitnya delapan tersangka. Video pengeroyokan yang menjadi viral membantu polisi mengidentifikasi para pelaku. Yang kini dinanti adalah sikap tegas Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sebagai otoritas tertinggi sepak bola di Tanah Air untuk mencegah kekerasan ini berulang kembali.
PSSI adalah pemegang mandat dari FIFA, federasi sepak bola internasional, untuk menggelar kompetisi sepak bola nasional secara teratur dan aman. Namun, menghentikan kompetisi sepenuhnya bukan pilihan bijaksana. Perlu jangka waktu jelas jika moratorium penghentian kompetisi diterapkan sebab pertaruhannya terlalu besar. Akan sangat sulit membangun kembali jika liga sepak bola dihentikan. Apalagi, kompetisi yang teratur dan berkualitas adalah kunci utama pembinaan prestasi.
Di sisi lain, sanksi yang sebelumnya pernah diterapkan, seperti melarang pendukung memakai dan membawa atribut klub ke stadion, terbukti tidak cukup membawa efek jera. Perlu sanksi lebih tegas dalam kewenangan PSSI, misalnya menghukum klub menggelar pertandingan kandang tanpa penonton hingga akhir musim. Sanksi hukum bagi pelaku kekerasan bisa ditambah larangan menyaksikan pertandingan di stadion seumur hidup.
Sanksi seperti ini akan menjadi pelajaran berharga bagi klub dan suporternya. Klub tak hanya bertanggung jawab atas pemain, tetapi turut membina pendukung. Selama sanksi, kelompok pendukung diwajibkan melakukan pendekatan kepada anggota resmi ataupun tidak resmi, hingga yang paling dasar, untuk memutus warisan budaya kekerasan. Dendam lama yang selama ini menjadi pembenaran untuk melakukan kekerasan, menganggap pendukung klub lain sebagai lawan, harus dihentikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar