KOMPAS/YUNIADHI AGUNG (MYE)

Pengguna gawai dengan mudahnya memberikan komentar di media sosial.

Kini, lebih dari separuh penduduk Indonesia telah terhubung dengan koneksi internet, baik melalui perangkat bergerak seperti telepon pintar dan sejenisnya maupun komputer meja (baca: desktop). Pertumbuhan penetrasi internet di Indonesia tentu berdampak pada intensitas penggunaan media sosial.

Dari berbagai aktivitas di internet, seperti mencari berita, e-banking, atau bahkan transaksi jual-beli, bermedia sosial merupakan aktivitas yang paling banyak dilakukan masyarakat Indonesia (Survei Ekonomi Nasional, 2017). Selain itu, rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktunya dalam mengakses media sosial sekitar 3 jam per hari (Nguyen, 2017).

Media sosial pun menjadi suatu hal yang tak dapat dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Notifikasi yang muncul dari konten yang kita publikasikan di media sosial pun menjadi salah satu pemicu rasa penasaran untuk terus-menerus memantau aplikasi media sosial di telepon genggam.

Pemberian respons dalam bentuk likes dan love pun menjadi faktor yang menciptakan rasa senang dan penasaran begitu ada kerabat atau teman di media sosial yang memberikan tanggapan terhadap postingan kita.

Memahami konstruksi realitas

Sesungguhnya media sosial bukan sekadar teknologi komunikasi jarak jauh, melainkan lebih dari itu, media sosial juga merupakan alat yang dapat menciptakan atau mengonstruksikan realitas pada pikiran seseorang. Hal ini yang tentunya memiliki dampak dalam kehidupan.

Albert Bandura, pakar psikologi media dari Universitas Stanford, AS, menjelaskan bahwa media dapat membentuk realitas sosial di masyarakat. Dan, realitas sosial ini diwakili oleh penggambaran media mengenai kehidupan manusia, hubungan sosial, serta struktur dan norma di masyarakat. Terpaan terhadap informasi di media sosial mampu membentuk keyakinan dan konsepsi seseorang terhadap suatu realitas.

Sebagai contoh, dalam konteks pernikahan, Kevin Mintaraga—CEO perusahaan startup teknologi di industri pernikahan—menuturkan dalam suatu wawancara media bahwa tren pernikahan di Instagram membuat batasan pernikahan yang "wah' semakin tinggi. Sebab, dalam kenyataannya di mana foto-foto pernikahan kerabat di Instagram dapat memicu seseorang untuk turut menggelar acara yang tak kalah mewah. Mungkin saat ini anekdotnya adalah bahwa bukti cinta sejati bagi mempelai saat melangsungkan pernikahan adalah panen like di postingan Instagram.

Kenali efek psikologis

Hasil riset United Kingdom's Royal Society of Public Health (RSPH)menunjukkan bahwa pengguna media sosial yang menghabiskan waktunya lebih dari 2 jam per hari menyebabkan terganggunya kesehatan mental.

Hal ini disebabkan oleh tekanan psikologis yang dapat mengakibatkan kecemasan dan depresi. Melihat kebiasaan teman-teman di media sosial yang sedang berlibur atau sedang melakukan aktivitas yang menyenangkan, misalnya, dapat membuat seseorang cenderung membandingkan-bandingkan kehidupannya dengan orang lain.

Ekspektasi yang tidak realistis yang digambarkan oleh media sosial dapat membuat penggunanya menjadi tidak percaya diri dan menimbulkan kecemasan sosial. Hal ini merupakan kecemasan berlebih karena terbayangkan atas apa yang orang lain pikirkan terhadap konten yang mereka publikasikan di media sosial.

Hasil riset ini mendapatkan bahwa sekitar 80.000 anak-anak dan pemuda di Inggris mengalami depresi parah akibat menggunakan media sosial secara berlebihan. Para peneliti kemudian menamakan fenomena ini sebagai facebook depression,yang menjelaskan bahwa tekanan dari representasi realitas yang tidak realistis merupakan hal utama penyebab depresi bagi penggunanya.

Konsep lainnya sebagai efek psikologis dari penggunaan media sosial adalah fear of missing out atau apa yang dikenal dengan "FOMO". Konsep ini relatif baru dan terus berkembang dalam kajian budaya pop, seiring dengan meningkatnya popularitas media baru.

Sederhananya, FOMO adalah kekhawatiran yang ditimbulkan jika kita tidak ada dalam suatu event atau kegiatan menyenangkan, sementara teman-teman atau orang-orang yang kita kenal ada dalam acara tersebut. FOMO dicirikan bahwa seseorang cenderung ingin terus-menerus terhubung atau mengetahui terhadap apa yang sedang dilakukan oleh teman-temannya atau orang yang dikenal. Riset Royal Society of Public Health ini menunjukkan bahwa semakin intens seseorang menggunakan media sosial, maka orang tersebut akan semakin berpeluang mengalami FOMO dalam kehidupannya.

Hal-hal positif

Meskipun konstruksi realitas yang ditampilkan media sosial dapat memberikan efek negatif psikologis pada penggunanya, tentu media sosial juga memiliki dampak positif. Media sosial dapat membantu penggunanya merawat hubungan dengan kerabat, teman, dan keluarga yang mungkin jarang berkomunikasi secara tatap muka.

Media sosial juga dapat menjadi wadah bagi orang-orang yang membutuhkan dukungan komunitas (community support) dalam menghadapi masalah dalam kehidupan. Selain itu, media sosial dapat menjadi sarana untuk mengekspresikan diri terhadap hal-hal  positif dan penguatan identitas diri. Baik buruknya media sosial kembali lagi sangat bergantung pada penggunanya.

Kita harus dapat mengontrol penggunaan media sosial sesuai dengan kapasitas dan tempatnya. Jadikanlah media sosial sebagai pemicu hal-hal yang baik dalam menjalani kehidupan bukan malah sebaliknya.