Sebagai sebuah negara yang baru mereformasi dirinya secara "paksa" pada 1998, Indonesia memang patut memperluas horizon demokrasi dengan wacana keadilan. Muncul sejumlah pertanyaan dalam forum diskusi tersebut, apakah "Access to Justice" program yang utopis sehingga mudah tergelincir pada absurditas? Bukankah keadilan tidak bisa diukur secara saintifik sebagaimana mengukur derajat panas udara?

Keadilan merupakan sebuah momen yang selalu lolos dari genggaman hukum, walau untuk mendekati keadilan, manusia memerlukan hukum. Sejak zaman Plato hingga Satjipto Rahardjo mempertanyakan: apakah keadilan sebagai tujuan dari hukum? Atau, apakah keadilan inheren di dalam hukum? Saya tidak mau memboroskan waktu untuk menentukan pilihan "either or". Yang lebih prioritas adalah bagaimana mengubah akses keadilan dari tanda tanya menjadi tanda seru.

Mendekati keadilan

Deborah L Rhode dalam bukunya Access to Justice (Oxford, 2004) memberikan beberapa pertanyaan kunci  dalam memahami konsep akses terhadap keadilan. Pertama, apa yang dimaksud keadilan? Kedua, akses terhadap apa (prosedural atau substantif)? Ketiga, apakah "equal justice" sama dengan akses yang sama terhadap sistem keadilan? Keempat, akses keadilan untuk siapa? Apakah hanya untuk si miskin atau terhadap semua warga negara? Kelima, untuk siapakah akses terhadap keadilan?

Sebagai upaya akses terhadap keadilan, minimal ada lima unsur yang harus dipenuhi. Pertama, kesadaran. Orang-orang harus bersuara: masalah keadilan sebagai masalah bersama. Ketika ketidakadilan terjadi, orang perlu menjadikannya sebagai masalah bersama. Ini juga penting supaya pola tidak adil yang serupa tidak terulang lagi di masa depan.

Unsur kedua dari akses terhadap keadilan terkait soal distribusi. Keadilan distributif menjamin semua warga negara mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara seadil mungkin. Sistem kapitalisme yang bertumpu pada mekanisme pasar tak hanya menyebabkan kesenjangan sosial, juga sebagai penyebab ketidakadilan di mana kelompok rentan terpelanting ke pinggir. Negara tidak boleh pasif dan menyerahkan kedaulatannya pada mekanisme pasar, tetapi harus hadir memperluas distribusi melalui pengalokasian "belanja publik" dalam APBN dan kebijakan publik yang mengikat untuk menjamin pemerataan dan kompensasi bagi mereka yang tercecer dalam pembangunan.

Ketiga, dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, diperlukan keadilan multikultural. Masyarakat majemuk terdiri atas beragam kelompok kultural,
yang memiliki nilai dan praktik kultural yang berbeda-beda. Setiap kelompok kultural menuntut agar seluruh kepentingan mereka diakomodasi dan diproteksi keberadaannya dalam masyarakat.

Keadilan terkait soal kesetaraan antarmanusia, lepas dari ras, suku, agama, ataupun beragam identitas sosial lainnya. Di dalam model ini, negara  melindungi semua kelompok kultural yang ada di dalam masyarakat, baik minoritas maupun mayoritas.

Unsur keempat adalah emansipasi warga masyarakat dalam mengontrol dan mengkritisi setiap pengambilan kebijakan dan keputusan. Sebagai contoh, tiap HUT RI, hukuman terpidana kasus korupsi dikurangi melalui pemberian remisi. Warga menilai itu tidak adil dan melawan semangat antikorupsi. Warga masyarakat melakukan protes agar pemerintah tidak mengobral remisi bagi koruptor. Presiden Jokowi mempertimbangkan suara publik dan akhirnya menolak draf revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak  Warga Binaan Pemasyarakatan.

Unsur kelima, pemulihan hak dari ketidakadilan. Selama ini penegakan keadilan hanya dipandang sebagai penghukuman pelaku, sementara pemulihan atas hak korban diabaikan. Negara harus menyediakan mekanisme pemulihan hak bagi para korban yang mengalami tindakan diskriminasi rasial, penggusuran, perusakan lingkungan, kekerasan, dan pelanggaran HAM. Pengadilan, misalnya, harus menyediakan mekanisme reparasi bagi korban, seperti restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi.

Pengadilan mempunyai kewenangan memerintahkan kepada pihak tertuduh untuk memberikan reparasi agar memulihkan hak korban atau mengembalikan pada keadaan semula. Sebagai contoh, lingkungan masyarakat adat rusak karena penebangan kayu hutan oleh perusahaan. Perusahaan tidak hanya menerima sanksi, tetapi juga wajib memulihkan hak masyarakat adat atas lingkungan dan budaya setempat, seperti keadaan semula atau sebelum kerusakan terjadi.

Gerakan sosial

Setiap upaya perubahan sosial selalu datang dari gerakan sosial yang terorganisasi. Dalam sungai sejarah yang mengalir, perubahan sosial seperti hak-hak buruh hingga hak-hak kaum perempuan lahir dari gerakan terorganisasi melawan penguasa yang tidak adil. Kemampuan berorganisasi amat diperlukan di sini. Kekuatan jaringan, baik konvensional maupun daring, amat penting untuk memperluas gerakan.

Pada era milenial ini, kampanye lewat media sosial terbukti dapat mendorong perubahan. Media sosial digunakan untuk tempat berkumpul virtual dan secara tak langsung dapat memobilisasi massa yang memiliki tujuan sama. Orang-orang yang peduli terhadap kasus-kasus ketidakadilan bisa menyuarakan dengan cara menandatangani petisi secara daring.

Sebagai contoh, selama tahun 2017, platform petisi daring Change.org "memenangi" keadilan yang melibatkan lebih dari 500.000 akun yang turut meneken petisi. Kebanyakan petisi tersebut sebagai respons atas ketidakadilan yang melukai hak asasi manusia (HAM) di antaranya adalah kasus Etihad Airways terkait diskriminasi disabilitas, penolakan tambang di Pulau Bangka, Sulawesi Utara, yang merugikan masyarakat lokal, dan kasus pembebasan perempuan yang mengalami pelecehan seksual di Lombok, NTB.

Petisi yang dibuat Dwi Ariani, misalnya, menceritakan diskriminasi yang dialaminya saat menaiki pesawat Etihad Airways. Dwi diusir kru Etihad Airways karena menggunakan kursi roda tanpa ada yang mendampingi. Karena perlakuan tersebut, Dwi membuat petisi dan didukung hampir 50.000 orang. Perempuan itu juga membawa kasus tersebut ke jalur hukum. Setelah hampir dua tahun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus: Etihad Airways bersalah!

Kita optimistis akses terhadap keadilan bukan lagi tanda tanya, melainkan menjadi tanda seru. Ia adalah momen yang masih perlu diperjuangkan secara terus-menerus. Akses terhadap keadilan mirip jutaan kunang-kunang yang tetap berkedip walau malam semakin larut.