Impor dan ekspor, termasuk impor-ekspor pangan, merupakan kegiatan ekonomi biasa.

Ekspor dilakukan guna meraih devisa. Sebaliknya, impor untuk memenuhi barang yang tidak bisa diproduksi sendiri. Berdasarkan UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012, impor pangan tidak dilarang, bahkan jadi bagian solusi. Impor boleh dilakukan dengan syarat: apabila produksi pangan domestik tak mencukupi dan/atau tak dapat diproduksi di dalam negeri; produksi pangan domestik dan cadangan pangan nasional tak mencukupi (Pasal 36 Ayat 1-2).

Impor jadi krusial karena terkait produk pertanian domestik. Sepanjang jumlah impor tak signifikan atau produk domestik siap bersaing, impor bukan masalah. Masalah muncul karena impor tak selalu karena ada kebutuhan atau impor dilakukan tanpa menimbang nasib petani. Impor sering dikaitkan daya saing. Padahal, daya saing tak berdiri sendiri, tapi akibat kebijakan domestik dan negara lain.

Implikasinya, kita tidak bisa melihat persoalan daya saing produk pertanian di dalam negeri tanpa memeriksa secara saksama kebijakan negara lain. Contohnya Afrika Selatan. Dalam kasus gula, negara itu menyimpulkan bahwa persoalan gula tak bisa diselesaikan secara unilateral Afrika Selatan saja, tetapi perlu secara global. Agar tidak merugikan diri sendiri, negara ini memilih pola monopoli gula oleh South African Sugar Association. Hal sama bisa diperiksa pada komoditas lain.

Ditilik dari kepentingan memberikan jaminan hak hidup petani, impor jadi soal fundamental. Menurut konstitusi, warga negara dijamin memperoleh pekerjaan yang layak sesuai kemanusiaan dan fakir miskin dipelihara negara. Artinya, negara wajib melindungi hak hidup petani. Karena itu, kebijakan apa pun tak boleh menyubordinasi hak hidup petani. Misal impor dan daya saing. Daya saing berjalan lurus dengan efisiensi. Namun, efisiensi bukan tujuan jika tak manusiawi. Harga pangan impor murah adalah efisien, tapi ini tidak manusiawi jika menyubordinasi, bahkan mematikan hidup petani.

Kesalahan kebijakan

Sialnya, manajemen impor pangan kita acak adul, seperti tercermin dari ikhtisar pemeriksaan BPK tahun 2015 hingga semester I 2017 yang dirilis April 2018. Ada 11 temuan kesalahan kebijakan impor pada beras, gula, garam dan daging sapi sejak menteri perdagangan dijabat Rachmat Gobel, Thomas Lembong, hingga Enggartiasto Lukita. Kesalahan bisa dikelompokkan jadi empat.

Pertama, impor tidak diputuskan di rapat tertinggi di Kemenko Perekonomian. Ini terjadi pada impor gula kristal putih 1,69 juta ton untuk swasta, impor 50.000 ekor sapi buat Bulog, impor daging sapi 97.100 ton pada 2016, serta impor 70.100 ton dan 1.000 ton daging sapi kepada PT Impexindo Pratama.

Kedua, impor tanpa persetujuan kementerian teknis: Kementerian Pertanian. Ini terjadi pada impor gula kristal mentah 108.000 ton kepada PT Adikarya Gemilang, beras kukus 200 ton oleh Bulog, daging sapi 97.100 ton pada 2016,daging sapi 17.000 ton kepada PT Impexindo Pratama, dan impor daging sapi 10.000 ton kepada Bulog.

Ketiga, impor tak didukung data kebutuhan dan persyaratan dokumen. Ini terjadi pada impor gula kristal mentah 108.000 ton kepada PT Adikarya Gemilang, impor beras 70.195 ton, impor sapi 9.370 ekor, impor daging sapi 86.567,01 ton pada 2016, impor daging sapi 70.100 ton, dan impor garam 3,35 juta ton.

Keempat, waktu pemasukan impor melebihi dari tenggat yang ditentukan. Ini terjadi pada impor beras 70.195 ton.

BPK juga menyimpulkan, Kemendag tak memiliki mekanisme pemantau realisasi impor: apakah impor lebih atau kurang, apa laporan terlambat atau importir tak melaporkan? Karena tak ada peranti monitoring, importir nakal bebas sanksi. Lalu, tidak menyatunya data portal Inatrade membuat data Kemendag dan kementerian teknis berbeda-beda. Ujung-ujungnya, data yang jadi dasar impor dipersoalkan. Sayangnya, audit BPK belum bisa menjawab pertanyaan: ada apa di balik tata kelola impor seperti ini?

Ditilik dari hak hidup petani dan perlunya kita berdaulat di bidang pangan, impor mestinya dilakukan hati-hati. Negeri ini pernah punya pengalaman buruk terkait impor kedelai yang tak terkendali. Akibat liberalisasi kebablasan pada 1997-1998, tak ada lagi subsidi dan perisai petani kedelai dari gempuran impor. Petani yang menanam kedelai selalu merugi. Akibatnya, luas panen kedelai merosot drastis: pada 1992 luas panen 1.665.706 hektar, tinggal 357.000 hektar pada 2017. Produksi merosot: dari 1,869 juta ton (1992) tinggal 0,542 juta ton (2017). Petani kedelai yang tersisa adalah mereka yang tak punya pilihan. Politik pembiaran tak hanya menghancurkan modal sosial, tapi juga "mematikan" petani kedelai.

Banjir pangan impor

Kini tanda-tanda impor yang mematikan itu menjalar ke petani tebu. Akibat impor tak terkendali, sejak 2016 pasar banjir gula. Buntutnya, harga gula domestik tertekan. Lelang gula petani sering kali gagal karena harga dari pedagang di bawah biaya produksi. Tahun 2018, pasar masih dipenuhi gula sisa 2017 mencapai 1,2 juta ton. Dalam kondisi demikian, pemerintah mengeluarkan izin impor raw sugar 1,1 juta ton untuk diolah jadi gula konsumsi. Ditambah perkiraan produksi tahun ini 2,2 juta ton dan gula rafinasi yang merembes ke pasar gula konsumsi 0,5 juta ton, total pasokan gula konsumsi mencapai 5 juta ton. Padahal kebutuhan hanya 2,9 juta ton. Bagaimana petani tebu hidup?

Ke depan, banjir pangan impor sepertinya sulit dielakkan karena dua hal. Pertama, pelonggaran aneka aturan yang restriktif terhadap impor, menyusul kekalahan kita dalam sengketa impor hortikultura, hewan, dan produk hewan di WTO melawan ASt dan Selandia Baru.

Kedua, izin impor sejumlah pangan penting dari Kemendag kini tidak perlu rekomendasi kementerian teknis. Saat aturan masih mewajibkan Kemendag mengantongi rekomendasi kementerian teknis saja ditabrak, apa jadinya jika itu dihapus?

Adalah ceroboh mengintegrasikan perekonomian dengan perekonomian global dan regional tanpa banyak berbuat mengintegrasikan perekonomian nasional. Kita telah mengikatkan diri dengan berbagai kawasan pasar bebas, tetapi integrasi ekonomi nasional tak dibenahi. Bagaimana mungkin produk kita bersaing jika praktik ekonomi biaya tinggi mendera? Pemerintah amat agresif meliberalisasikan pasar dan perekonomian, tapi abai membangun jaring pengaman pasar. Rakyat, terutama petani, dibiarkan berjibaku cari selamat sendiri. Hasilnya: banjir pangan impor. Ironisnya, barang-barang yang terdesak di pasar domestik adalah produk yang sejatinya kita punya keunggulan komparatif.

Mengimpor pangan dari luar negeri, walau harga lebih murah ketimbang pangan petani domestik, akan menimbulkan dampak sosial berbeda. Kalau mengimpor pangan dari luar negeri akan menimbulkan efek berantai di luar negeri, yang dalam konsep ekonomi disebut efek pengganda. Sebaliknya, jika membeli pangan domestik, meski lebih mahal, akan menciptakan efek berantai di dalam negeri. Efek berantai berbentuk konsumsi, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Inilah bedanya efisiensi komersial dan efisiensi sosial. Jadi, apabila hak hidup petani jadi dasar melihat impor, yang sebenarnya dibangun tak hanya ketergantungan pangan, tetapi juga penciptaan lapangan kerja dan berusaha bagi sebagian besar petani, mayoritas warga negeri ini.