Putusan Mahkamah Agung akhirnya membatalkan pasal-pasal dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 dan Nomor 26 Tahun 2018 yang melarang bekas terpidana bandar narkoba, kejahatan  seksual terhadap anak, dan korupsi menjadi calon anggota legislatif.

Mahkamah Agung (MA) menilai larangan dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang membolehkan mantan napi menjadi calon anggota legislatif (caleg), dengan syarat secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa ia adalah mantan terpidana.

Akibatnya, para eks narapidana, khususnya yang paling disorot adalah napi korupsi, berhak menjadi caleg. Sontak putusan MA itu mendapatkan reaksi keras dari publik. Bagaimana seharusnya kita memahami putusan MA yang demikian?

Kesadaran antikorupsi

Meminjam slogan kampanye di Pilpres 2014, "Jokowi adalah Kita", dalam konteks yang tentu berbeda, saya ingin mengangkat kesadaran pemilih bahwa "Koruptor adalah Kita".

Dalam opininya, "Pantat Inul adalah Wajah Kita Semua" (Kompas, 4/5/2003), Emha Ainun Nadjib sukses membuka aib kita yang ramai-ramai menghujat goyang seksi Inul Daratista. Serupa tapi tak sama, putusan MA tentu membuat sebagian kita geram, tetapi sekaligus menunjukkan bahwa kita sebagai rakyat masih belum yakin akan kemampuan kita sendiri untuk memilih caleg yang bersih sehingga masih membutuhkan pertolongan MA.

Kita sebagai pemilih sering mengkritik pelantikan tersangka korupsi menjadi kepala daerah di penjara. Padahal, kesalahan terbesar juga ada di kita yang tetap saja memilih dan memenangkan tersangka korupsi itu, padahal yang bersangkutan tidak bisa berkampanye karena ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kita sering mengkritik parpol terkait jual-beli mahar politik dalam pencalonan presiden ataupun caleg (candidacy buying). Padahal, pemilih sendiri sering kali rela menjual suara daulat rakyat demi beberapa lembar rupiah (vote buying). Sebagian kita tentu ingat potongan syair lagu almarhum Franky Sahilatua, "Ambil uangnya, jangan pilih orangnya", yang menggambarkan keputusasaan kita berhadapan dengan maraknya praktik jual-beli suara pemilih.

Tahun 2013, survei Asia Foundation menemukan 56 persen dari pemilih menganggap menerima uang dalam pemilu bukanlah hal yang negatif. Pada tahun yang sama, survei KPK menemukan 78,2 persen dari pemilih mempunyai pengalaman dengan masalah politik uang (money politics). Angka-angka itu menegaskan bahwa pendidikan pemilih antikorupsi masih jauh dari ideal.

Dalam contoh lain, "Berani Jujur Itu Hebat" yang menjadi slogan kampanye antikorupsi KPK masih gagal menginternalisasi menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Bukti paling menyedihkan adalah bangkrutnya kantin-kantin kejujuran yang coba diinisiasi oleh KPK di beberapa sekolah di Tanah Air.

Jadi, penegakan hukum kita, termasuk di MA, tentu tidak luput dari masalah, tetapi kita sendiri sebagai rakyat masih punya segunung pekerjaan rumah untuk menghadirkan kesadaran antikorupsi dalam alam pikir dan tindak nyata pemilih.

MA problematik, tetapi konsisten

Dilihat dari aspek keadilan dan kemanfaatan hukum, terlebih dari semangat agenda pemberantasan korupsi, putusan MA memang terkesan problematik. Namun, dilihat dari sisi kepastian hukum, MA memang mempunyai pilihan terbatas, karena secara tekstual, peraturan KPU yang melarang napi korupsi menjadi caleg memang bertentangan dengan UU Pemilu yang membolehkannya.

Terlebih, adalah merupakan teori dasar bahwa untuk hak asasi manusia yang dapat disimpangi, pembatasan hanya dapat dilakukan pada level undang-undang atau putusan peradilan. Peraturan KPU yang nyata-nyata berada di bawah undang-undang tentu tidak dapat membatasi hak asasi untuk dipilih.

Maka, tanpa ada pembatasan yang tegas pada undang-undang ataupun putusan pengadilan yang mencabut hak dipilih napi korupsi, yang bersangkutan secara hukum tetap berhak maju dalam pemilihan jabatan publik, termasuk sebagai caleg.

Apalagi, putusan MA yang membatalkan peraturan KPU itu juga sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42 Tahun 2015, yang membolehkan bekas koruptor maju sebagai pejabat publik sepanjang secara terbuka dan jujur yang bersangkutan mengemukakan kepada publik bahwa ia adalah mantan terpidana.

Saya pribadi tak setuju dengan Putusan MK Nomor 42 tersebut dan lebih sepakat dengan putusan-putusan MK sebelumnya. Dalam putusan pengujian Undang-Undang Nomor 14-17 Tahun 2007, UU Nomor 4 Tahun 2009, dan UU Nomor 79 Tahun 2012, MK berpandangan, untuk pemilihan jabatan publik sebaiknya "tidaklah  sepenuhnya  diserahkan  kepada  rakyat  tanpa  persyaratan  sama  sekali  dan  semata-mata  atas  dasar  alasan  bahwa  rakyatlah  yang  akan  memikul  segala  risiko  pilihannya". Justru, menurut MK, pembuat undang-undang harus membantu rakyat agar dapat melakukan pilihan secara kritis.

Karena itu, dalam putusan-putusannya yang lebih awal tersebut, MK berpendapat bekas napi berhak mengikuti pemilihan, dengan syarat: (1) bukan untuk jabatan-jabatan publik (elected  officials); (2) terbatas  untuk  jangka  waktu  lima  tahun  setelah  eks  terpidana selesai  menjalani  pidana  penjara  berdasarkan  putusan  pengadilan  yang  berkekuatan  hukum  tetap;  (3) jujur dan terbuka mengenai  latar  belakang  jati  dirinya  sebagai  mantan  terpidana; dan (4) bukan  sebagai  pelaku  kejahatan  berulang-ulang. Keempat  syarat  tersebut  bersifat kumulatif atau harus dipenuhi semuanya secara keseluruhan.

Memang pembatasan hak memilih dan dipilih tersebut dengan kepentingan bernegara tidak jarang terjadi persinggungan. Meskipun tidak persis sama, kita tentu masih ingat salah satu putusan awal di MK yang membatalkan larangan menjadi caleg bagi anggota atau orang yang terkait dengan PKI atau organisasi massanya.

Kembali ke MA, adalah juga tidak adil untuk menilai lembaga peradilan tertinggi itu bertentangan dengan pemberantasan korupsi semata-mata berdasarkan putusan pembatalan peraturan KPU terkait larangan napi korupsi menjadi caleg tersebut. Paling tidak dilihat dalam uji materi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, MA juga konsisten melakukan tugasnya untuk menjaga harmonisasi peraturan di bawahnya terhadap undang-undang, sekaligus menguatkan agenda pemberantasan korupsi.

Dalam pengujian Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tersebut, melalui Putusan Nomor 51 Tahun 2013 dan Nomor 56 Tahun 2013, MA memutuskan pengetatan pemberian hak narapidana seperti remisi dan pembebasan bersyarat tak bertentangan dengan UU Pemasyarakatan dan UU HAM. Meskipun diajukan beberapa kali, salah satunya oleh para napi korupsi yang memercayakan kuasa hukumnya kepada Profesor Yusril Ihza Mahendra, MA tetap teguh menolak pembatalan PP No 99 yang efektif menghilangkan praktik obral remisi bagi napi korupsi tersebut.

"What next"?

Putusan MA yang membatalkan beberapa pasal peraturan KPU tersebut tentu wajib dihormati. Adalah keliru untuk berargumen bahwa putusan MA itu mengandung cacat formal karena menabrak Pasal 55 UU tentang Mahkamah Konstitusi, yang melarang MA menguji peraturan perundang-undangan, karena UU Pemilu yang menjadi dasar pengujiannya sedang diuji di MK.

Larangan demikian hanya berlaku jika norma yang diuji di MA dan MK memang saling berkaitan sehingga putusan di MK bisa memengaruhi putusan di MA. Sementara dalam kasus ini, uji konstitusionalitas UU Pemilu di MK tidak ada kaitannya dengan larangan bekas napi untuk menjadi caleg, sehingga sudah tepat jika MA tetap memutuskan pengujian tanpa harus menunggu putusan MK terkait UU Pemilu.

Persoalan mepetnya waktu untuk mengubah peraturan KPU bukanlah alasan untuk KPU menunda, apalagi tidak melaksanakan putusan MA. Meskipun ada ketentuan Pasal 8 Ayat (2) Peraturan MA tentang Hak Uji Materiil yang mengatur peraturan perundang-undangan yang dibatalkan MA tidak mempunyai kekuatan hukum jika dalam 90 hari tidak ada perubahan, ketentuan demikian seharusnya tak dimanfaatkan KPU untuk berkelit dari kewajiban menghormati putusan MA.

Selanjutnya, selain terus meyakinkan parpol untuk menarik caleg yang bekas napi korupsi, opsi untuk memberikan tanda di kertas suara, menurut saya, layak diatur dalam peraturan KPU. Aturan demikian tentu berpotensi diajukan keberatan lagi ke MA oleh bekas napi korupsi, dengan argumentasi diskriminatif. Namun, permohonan demikian seharusnya tidak dikabulkan MA karena KPU justru membantu pelaksanaan undang-undang yang meminta bekas napi secara jujur dan terbuka menyampaikan kepada pemilih bahwa yang bersangkutan adalah bekas terpidana.

Akhirnya, yang perlu kita dorong serius tetaplah pendidikan antikorupsi bagi rakyat pemilih. Agenda "Revolusi Mental" yang pernah direncanakan Presiden Joko Widodo perlu dipastikan realisasinya. Agar ke depan, kesuksesan pembangunan fisik infrastruktur tidak menjelma menjadi kasus-kasus korupsi, karena seharusnya: "Koruptor Bukanlah Kita".