KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Juru Damai Pilpres 2019 – (dari kiri ke kanan) Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, Duta Juru Damai Pilpres 2019 Sheila Widyas Marini, dan Direktur Rumah Bebas Konflik Pemilu (RUBIK) Abdul Ghofur mengikuti deklarasi gerakan #SayaJuruDamaiPilpres2019 di Media Center Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta, Senin (17/9). Kegiatan tersebut juga diisi dengan diskusi yang menghadirkan perwakilan dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan tokoh nasional.

Kampanye Pemilu 2019 baru akan dimulai 23 September, tetapi hiruk-pikuk politik sudah berlangsung jauh lebih awal, bahkan bersambung dari Pilkada DKI 2017. Kedua kubu sudah saling serang sejak sebelum deklarasi dan pendaftaran pasangan capres-cawapres. Suhu politik bertambah panas ketika elite politik kedua kubu ikut terlibat, bahkan dengan sikap nyinyir, cemooh, cercaan yang sebenarnya tak pantas  diucapkan, seperti kata cebong, kampret, manusia kardus.

Ulah seperti ini harus segera dihentikan karena dapat menggiring pemilu yang kita dambakan akan berlangsung aman, damai, dan sukses, ke arah konflik. Politik adalah dunia kekuasaan, pemilu pada hakikatnya merupakan ajang kompetisi untuk menentukan kekuasaan dalam sistem demokrasi, dan sejauh ini demokrasi merupakan cara yang terbaik.

Dalam berdemokrasi yang benar dan sehat, sesungguhnya kekuasaan hanyalah alat bagi pemenang untuk digunakan dalam upaya mencapai kesejahteraan bersama sebagai tujuan. Dalam konteks Indonesia, tujuan bersama kita adalah: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (alinea II Pembukaan UUD 1945).  Mungkin karena libido kekuasaan yang terlalu tinggi membuat para politisi, pengejar kekuasaan mengalami disorientasi, kekuasaan malah dianggap tujuan. Untuk memperolehnya pun tak jarang dengan menghalalkan segala macam cara. Disorientasi ini yang membuat pemilu berpotensi terjebak dalam konflik.

Konflik politik di Nusantara sesungguhnya sudah ada sejak zaman monarki dulu. Kerajaan seperti Sriwijaya, Singosari, dan Majapahit punah akibat konflik politik/kekuasaan dari dalam, bukan akibat serangan dari luar.

Belakangan dinasti Sultan Agung pun terpecah menjadi beberapa pusat kekuasaan. Namun, konflik politik pada masa monarki hanya terjadi di tingkat elite, sedangkan rakyat di tingkat bawah tidak terpengaruh, tidak terpecah, melainkan tetap rukun dan damai. Sebagai misal ketika terjadi konflik elite Kerajaan Singosari, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, rakyat di bawah tidak terpecah sebagai pendukung para elite yang bertikai.

Memasuki era kemerdekaan, para pendiri bangsa (founding fathers) menentukan Indonesia sebagai "negara bangsa" dengan bentuk "negara kesatuan" karena kita memerlukan ikatan kebangsaan yang kuat. Pertimbangannya tentu selain bangsa Indonesia sudah terbentuk lebih dulu, juga karena karakteristik Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan, memiliki posisi strategis, serta sangat kaya akan sumber daya alam. Karena itu, di negeri ini beredar kepentingan asing yang hendak turut mengeksploitasi sumber daya alam.

Secara demografis, Indonesia berpenduduk keempat terbesar di dunia dan memiliki kebinekaan luas-multidimensi: ras/etnik, agama, bahasa, budaya, adat-istiadat. Dalam ciri geografis-demografis ini, selain tersimpan berbagai potensi bangsa-negara, terkandung potensi konflik sekaligus ancaman cukup besar.

Dalam kondisi Indonesia seperti itu, dengan cerdas dirancang sistem "demokrasi perwakilan", dengan mekanisme musyawarah-mufakat untuk memperoleh keputusan yang mengandung "hikmat kebijaksanaan" atau kearifan yang mendalam. Sebuah metode pengambilan keputusan yang berpijak pada kualitas ide/rasionalitas, bukan pada kuantitas suara. Ide rasional, cemerlang yang muncul dari kelompok minoritas, dapat menjadi keputusan bersama.

Dengan demikian, sistem demokrasi Pancasila ini justru memancarkan respek terhadap minoritas, sebagai bagian tak terpisahkan dari kemajemukan bangsa yang bersifat kodrati.

Untuk menggelindingkan sistem demokrasi itu dirancang pula sistem pemerintahan negara yang dikenal sebagai "Sistem Sendiri", ditandai dengan eksistensi MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang merepresentasikan seluruh rakyat Indonesia, pusat kedaulatan rakyat. Untuk lengkapnya keterwakilan, MPR terdiri dari anggota DPR, utusan golongan, dan utusan daerah. Dalam sistem perwakilan ini presiden dipilih MPR, gubernur dan bupati/wali kota dipilih DPRD. Pertanyaannya, apakah dalam proses ini rakyat tak dilibatkan? Tentu dilibatkan, karena sebelum sampai Sidang Umum MPR atau Sidang Paripurna DPRD, pasti didahului proses artikulasi dan agregasi kepentingan politik dalam konteks seleksi kader.

Kewaspadaan

Dalam sistem kenegaraan dan demokrasi ini, hiruk-pikuk politik, silang pendapat, pertikaian, bahkan konflik politik tergiring ke tingkat perwakilan dan sangat mungkin dapat diselesaikan lewat mekanisme musyawarah-mufakat. Apabila tak tercapai mufakat, sistem demokrasi Pancasila tidak mengharamkan voting sebagai upaya terakhir. Rakyat di bawah tidak/kurang terpengaruh sehingga terhindar dari fragmentasi.

Reformasi 1998-2002 telah mengubah sistem demokrasi dan pemerintahan secara fundamental. Sejak itu Pancasila digantikan dengan individualisme-liberalisme, sistem demokrasi perwakilan diganti dengan sistem demokrasi langsung/voting yang mendewakan kuantitas suara. Sistem pemerintahan menjadi ala federal, bahkan lebih federal dari AS.

Karena pada dasarnya individualisme-liberalisme tidak cocok dengan akar budaya bangsa Indonesia dan tingkat kedewasaan para politisi kita dalam berdemokrasi pun masih belum baik, yang muncul mengedepan adalah kebebasan luas seolah tanpa batas seperti kebebasan: berpolemik, bertransaksi politik, berkata dan berbuat tanpa etika, mencaci-maki, berbohong, memfitnah, yang melanda semua lapisan masyarakat sampai ke akar rumput.

Dengan demikian, sistem liberal ini justru terbalik dengan Monarki Nusantara maupun Sistem Sendiri. Dalam sistem liberal ini yang terpecah-belah dilanda konflik justru rakyat di bawah, sedangkan elitenya malah "berpelukan" (walau bersandiwara). Konflik di kalangan rakyat ini diperparah dengan digunakannya politik identitas, terutama yang mengusung isu agama dan ras/etnik, sehingga fragmentasi bertambah luas, tajam dan sangat sensitif. Konflik identitas yang bersifat "residual" dan menggerus ikatan kebangsaan ini akan sulit diperbaiki/disembuhkan.

Diyakini bahwa kepentingan asing yang bertujuan menguasai sumber daya alam kita, terutama yang datang dari negara kuat, hegemonik-predatorik akan tetap beredar hingga kini. Reformasi yang diwarnai amendemen UUD 1945 dan berujung pada perubahan sistem kenegaraan kita pun tidak terlepas dari permainan asing. Mereka tentu tidak menginginkan Indonesia tumbuh menjadi negara kuat, bersatu, dan modern. Karena itu, kita perlu bergegas untuk kembali pada sistem sendiri dan demokrasi perwakilan sebelum telanjur sampai pada konflik, bahkan perang politik, yang berpotensi mengantarkan Indonesia pada perpecahan.