
Ribuan orang memenuhi halaman Kelenteng Hok Tek Bio, Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (25/8/2018). Mereka memeriahkan Festival Rebutan atau Sembahyang Cioko.
Ada meja besar di depan kelenteng, dipenuhi aneka makanan. Ratusan orang tua dan anak menyemutinya. Semua hanyut dalam kegembiraan. Mereka datang dari latar belakang sosial, bahkan agama beragam. Ibu-ibu paruh baya berkerudung berbaur dengan ratusan warga Tionghoa. Seusai upacara, mereka mengantre menukarkan voucer dengan paket beras yang sudah disiapkan panitia. Ada 2.500 paket bantuan.
Menurut pemimpin Kelenteng Kris Tan, paket bantuan itu berasal dari sumbangan para warga Tionghoa yang menyisihkan harta mereka untuk membantu masyarakat tak mampu. Ini agenda tahunan kelenteng. Semangatnya adalah memperkuat persaudaraan dan kepedulian sosial melalui kegiatan berbagi. Ini semacam zakat fitrah dalam tradisi Islam karena sumbangan itu harus dibagi habis. Keterbukaan pengurus kelenteng dalam mengelola sumbangan dan mendistribusikannya kepada masyarakat luas telah meningkatkan kepercayaan para donatur. Setiap tahun ada peningkatan jumlah donasi.
Ini bukan pertama kali saya merasakan suasana kebatinan menyatunya warga Muslim Ciampea dengan Kelenteng Hok Tek Bio yang berdiri pada abad ke-19 ini. Pendirinya adalah Thung Tiang Mie (1793-1856). Tubagus Abdullah bin Moestopa adalah nama Indonesianya. Saat perayaan Cap Go Meh 2569
awal Maret lalu, pementasan kesenian rebana mendahului atraksi barongsai (Liong Say) dan Kirab Joli (Tua Pe Kong). Ribuan warga sangat antusias meramaikan acara yang digelar malam hari itu.
Keterlibatan warga Muslim dalam perayaan Cap Go Meh ini sudah berlangsung cukup lama. Menandai pembauran warga Tionghoa dan warga lokal sejak pendahulu etnis Tionghoa hijrah ke daerah pedalaman Bogor ini pasca-Geger Pecinan tahun
1740. Berbeda dengan perjumpaan kebudayaan (cultural encounter) etnis Tionghoa dan penduduk lokal di beberapa daerah yang melahirkan kampung-kampung berbasis etnis, perjumpaan kedua entitas di Ciampea ini berujung pembauran. Hidup bersama, jauh dari saling menegasikan.
Potret kebersamaan itu terlihat juga di lembaga pendidikan SD Bhudi Bhakti yang berdiri tahun 1967. Meskipun sekolah ini berada di bawah yayasan yang dikelola pengurus Kelenteng
Hok Tek Bio, sangat terbuka bagi peserta didik dari kalangan non-Tionghoa. Pengurus yayasan memegang teguh prinsip "tidak ada diskriminasi dalam pendidikan". Pada awal sekolah ini beroperasi, separuh muridnya adalah warga Tionghoa. Sisanya berasal dari warga setempat dengan latar belakang agama berbeda-beda.
Sekolah ini terus berdenyut, berjibaku dengan perubahan zaman dan keterbatasan. Satu hal yang tak berubah, komitmennya terhadap kesetaraan, toleransi, mawas diri, persaudaraan sesama, dan keindonesiaan. Nilai-nilai inilah yang menjadi fokus pendidikan karakter di sekolah ini. Kini, 40% siswanya beragama Kristen dan 20% pengikut Katolik. Siswa yang beragama Khonghucu 22%, penganut Buddha 14%, dan pemeluk Islam 8%. Mayoritas tenaga pengajarnya Muslimin dan Muslimah (53%). Sisanya pemeluk Khonghucu (32%), Kristen (10%), dan Katolik (5%).
Kebinekaan SD Bhudi Bhakti ini mengingatkan saya pada kemajemukan SMA Muhammadiyah Ende, Flores. Saat mengunjungi sekolah ini tahun 2009, saya menyaksikan dua pertiga siswanya non-Muslim. Sejak awal berdirinya tahun 1971, sekolah ini sudah memberikan layanan pendidikan Agama Kristen kepada peserta didik beragama Kristen. Beberapa siswanya melanjutkan pendidikan ke seminari terdekat dan jadi pastor. Praktik pluralisme di institusi pendidikan Muhammadiyah ini menjadi salah satu oase kearifan lokal dari Indonesia timur.
Pada pertengahan Ramadhan lalu, saya menghadiri acara buka puasa bersama di sekolah dasar yang lokasinya tak jauh dari kelenteng tersebut. Yang menarik, semua siswa datang didampingi orangtua masing-masing, termasuk siswa non-Muslim. Menurut penuturan kepala sekolahnya, kegiatan ini bagian dari upaya menanamkan sikap empati dan saling menghargai perbedaan sejak dini lewat pengalaman bersama. Hujan deras yang membanjiri teras sekolah sore itu tak menggerus kadar kehangatan percakapan para orangtua dan anak-anaknya.
Medium kultural
Keberadaan Kelenteng Hok Tek Bio telah menjadi salah satu medium kultural yang memfasilitasi perjumpaan dan dialog lintas golongan, suku, dan agama. Perjumpaan identitas ketionghoaan, kekristenan, kekatolikan, dan kebuddhaan dengan identitas keislaman berada dalam narasi saling memperkaya horizon masing-masing pengalaman antarumat beragama dalam bingkai kewargaan yang inklusif. Tak ada narasi yang meliyankan, apalagi mendemonisasi, pihak-pihak yang dianggap lemah dan minoritas.
Namun, eksistensi kelenteng sebagai simbol umat Khonghucu bukanlah tanpa tantangan. Mereka bukanlah entitas homogen dari sudut pandang sosial, ekonomi, dan politik. Kemunculan dan penetrasi gerakan-gerakan keagamaan baru ke daerah ini memicu ketegangan kreatif (creative tension) dari pengelola kelenteng. Tak pelak, institusi kelenteng memerankan diri sebagai jangkar ketionghoaan di level lokal untuk menyolidkan identitas sekaligus memastikan keberlangsungan komunitasnya di tengah tarik-menarik politik identitas.
Pihak kelenteng telah melakukan respons kreatif untuk menyiasati penetrasi kekuatan-kekuatan keagamaan baru yang berpotensi menggerus eksistensi komunitasnya. Alih-alih bersikap protektif dan menutup diri, mereka membuka diri bahkan berperan aktif sebagai agen perekat integrasi masyarakat di lingkungannya. Mereka mengedepankan pendekatan kolaborasi, meminggirkan egoisme kelompok. Praktik perkawinan campur pun sudah lama berlangsung. Hal ini makin memastikan pembauran berjalan secara kultural.
Namun ada sisi lain. Pada 2010 dan 2012, publik dikejutkan dengan peristiwa penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Cilasada, Ciampea. Jaraknya sekitar 2 km dari lokasi kelenteng. Aksi kekerasan dipicu rencana renovasi Masjid Attaufik milik Ahmadiyah (Kompas, 2/10/2010). Masjid pun jadi sasaran lemparan batu. Pangkal masalahnya, ada sejumlah warga keberatan dengan keberadaan Ahmadiyah meski komunitas ini sudah tinggal sejak 1950-an di kampung itu. Pengalaman kekerasan ini perlu jadi pelajaran agar potensi-potensi disharmoni dan distorsi komunikasi antarkelompok beragama bisa terus diminimalisasi.
Peran kultural kelenteng yang terletak di pasar lama Ciampea ini mencerminkan bagaimana institusi keagamaan lokal terus aktif menjahit jaring-jaring kekitaan. Identitas Tionghoa dan Khonghucu berinteraksi dalam ruang lokalitas yang dinamis sehingga saling memengaruhi dengan entitas-entitas sosial-keagamaan yang mengitarinya. Keberlangsungan SD Bhudi Bhakti hingga sekarang dengan topangan mayoritas siswa non-Tionghoa bisa dilihat sebagai jejak jahitan kekitaan. Lembaga itu bukan hanya milik satu golongan belaka.
Perayaan upacara keagamaan yang dimaknai sebagai praktik kebudayaan (profan) oleh warga non-Tionghoa jadi jembatan bagi perjumpaan yang bersifat lintas identitas, baik dari asal-usul
suku maupun keyakinan agama. Pola ini merefleksikan kesadaran beragama yang memadukan aspek normativitas dan historisitas agama secara proporsional sehingga tidak terasa kaku dan kering.
Kita memerlukan lebih banyak institusi keagamaan lokal yang aktif menyebarkan nilai-nilai kewargaan berbasis toleransi, solidaritas kebangsaan, dan kesetaraan lewat medium-medium kultural. Kita harus memperkuat identitas keindonesiaan dengan narasi-narasi yang mencerminkan kekitaan ketika narasi keakuan kian menyesaki ruang publik. Pemerintah berkewajiban memastikan setiap anak bangsa memiliki kesempatan untuk turut serta dalam menjahit kekitaan secara kolektif. Diskriminasi, egoisme golongan, intoleransi, dan ketimpangan ekonomi merupakan ancaman yang akan mengoyak solidaritas kebangsaan kita.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar