Sayangnya, langkah tersebut  menuai kontroversi dan kritik keras dari pelbagai kalangan. Tak kurang Menteri Kesehatan meminta Badan Pelaksana Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) untuk menunda pelaksanaannya. Organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menganggap Perdirjampelkes 2018 mencederai UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional serta salah satu prinsip otonomi profesi kedokteran, yaitu memberikan pelayanan terbaik dan sesuai standar profesi bagi pasien.

Schultz dan Harrison (1986) membagi otonomi dokter ke dalam tiga kategori: otonomi politik, ekonomi, dan klinis. Otonomi politik seorang klinisi ialah hak seorang dokter untuk menentukan kebijakan terkait implementasi profesinya, semisal hak menentukan kondisi tempat ia berpraktik. Kemampuan untuk menilai kualitas dan kuantitas keekonomian  dokter itu, termasuk hak menentukan jasa layanan, disebut otonomi ekonomi. Sementara  otonomi klinis merupakan kebebasan mendiagnosis dan memberikan terapi terbaik menggunakan pertimbangan- pertimbangan medis selaras keilmuannya (Horner, 2000).

Korporatisasi kedokteran

Sejak asuransi kesehatan model Health Maintenance Organization (HMO) berkembang di AS pada pertengahan 1970-an, dokter mulai kehilangan kontrol atas otonomi politik mereka. Kinlay (1988) menggambarkan invasi kapitalisme tersebut sebagai "korporatisasi medis", di mana pusat layanan kesehatan, yang sejatinya merupakan institusi sosial, mulai dikelola layaknya perusahaan modern. Ini mencakup pengambilalihan kontrol administrasi pelayanan, pengaturan pasien, dan pengambilan keputusan-keputusan medis.

Di rumah sakit,  peran klasik dokter sebagai "kapten kapal" organisasi medis digantikan oleh sekelompok manajer pebisnis yang lebih berfokus pada aspek manajemen modern. Walau sebagian mereka juga lulusan fakultas kedokteran, mereka disebut sosiolog medis Alford R (1975) sebagai "rasionis korporat" yang memegang kendali produksi layanan.

Sejalan prinsip ekonomi modern, para "rasionis korporat" menuntut kontrol ketat atas para pekerja supaya mereka tetap fokus menghasilkan profit. Di rumah sakit, fungsi kontrol tersebut diejawantahkan dalam bentuk pelbagai standar operasi yang mengatur hingga hal sepele, seperti jumlah waktu yang dibutuhkan oleh seorang klinisi bertatap muka pasiennya.

Produktivitas dokter pun diatur secara cermat melalui aturan pembatasan izin praktik (tak boleh lebih dari tiga tempat), pemberian status dokter penanggung jawab pelayanan, sehingga klinisi bersangkutan mencurahkan sebagian besar waktunya pada rantai produksi layanan medis, hingga monopoli jaringan layanan lewat  "pemaksaan" RS/klinik swasta mandiri agar bekerja sama dengan asuransi tertentu (McKinley & Arches, 1985).

Diperkenalkannya model sistem diagnostic related group (Indonesia mengadopsinya menjadi INA-CBG) oleh BPJSK pada 2014 menjadi titik nadir pelemahan otonomi ekonomi dokter. Mereka harus tunduk pada aturan yang mengelompokkan jasa medis berdasarkan produk luaran terapi, bukan lagi berpatok pada biaya yang timbul dari setiap tindakan medis. Produk hasil layanan terapi lalu dikonversi ke dalam tabel tarif yang dinegosiasikan setiap tahun bersama organisasi profesi.

Hanya di Indonesia, proses negosiasi tarif INA-CBG tak dilakukan dengan organisasi profesi seperti IDI, tetapi dengan asosiasi rumah sakit, dinas kesehatan, dan klinik-klinik pratama (Permenkes No 455/2013). Kondisi ini semakin menggerus posisi tawar otonomi ekonomi  dokter.

Uniknya, para dokter tak terlalu hirau kehilangan otonomi ekonomi dan politik asalkan otonomi klinis medis mereka tak tersentuh (Funck, 2012). Hipotesis tersebut  sejalan tesis Friedson (1988) yang memandang otonomi klinis sebagai "rumah suci" profesi kedokteran, sementara otonomi ekonomi dan politik hanya sebagai pelengkap.

"Proletar profesi"

Lebih jauh, hilangnya kontrol otonomi di atas mengakibatkan dokter akan jatuh ke sebuah kelas sosial yang dinamakan "proletar profesi", yaitu sekelompok profesional yang tak memiliki hak kontrol apa pun akan pekerjaan yang digelutinya (Kinley & Arches, 1985). Pembatasan-pembatasan yang diterapkan Perdirjampelkes BPJSK (jumlah fisioterapi yang dibolehkan, paket bayi baru lahir yang diikutkan ibu) mencederai otonomi klinis karena tak berkonsultasi dengan kolegium dan organisasi profesi.

Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas dengan segera membentuk sebuah forum yang di dalamnya segala pihak yang terkait pelaksanaan JKN dapat duduk bersama membahas konflik yang berlarut-larut ini. Selama ini forum tersebut belum bisa dibentuk disebabkan tidak setaranya posisi tawar antara BPJSK, organisasi profesi IDI, dan Kementerian Kesehatan.