Kegaduhan politik di negeri ini seperti tak mau reda. Apalagi hadir media sosial yang cenderung menggeser pemberitaan media arus utama dan sepertinya tak terhentikan. Maka, berkembanglah apa yang dinamakan "post truth" (pasca-kebenaran sebagai suatu kebohongan).
Kondisi tersebut merasuk ke dalam relung-relung politik praktis dalam negeri ini yang sedang mengalami berbagai kesulitan dari sejak Soeharto berkuasa hingga era Reformasi saat ini.
Perubahan ke arah perbaikan—sebagaimana dikehendaki rakyat—terutama dalam hal tatanan moral belum tampak jelas, bahkan agama cenderung menjadi sarana untuk dipergunjingkan. Mungkin ini akibat dari politik banal ketika para elite hanya gandrung mendapat lebih banyak kekuasaan daripada yang diperlukan.
Hasil survei Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI menunjukkan indeks ketahanan nasional Indonesia pada 2016 berada dalam posisi kurang tangguh. Dari delapan gatra yang diukur, tiga gatra menunjukkan tren penurunan, yaitu gatra sumber kekayaan alam, gatra sosial dan budaya, dan gatra ideologi.
Apabila tren itu terus berlanjut, apakah tidak mungkin membuat kapal republik ini pada akhirnya akan karam? Tidak ada jalan pintas (shortcut) apabila sumber dayanya tidak dioptimalisasikan secara maksimal, dalam hal ini sumber daya manusia jadi syarat utama.
Yang terjadi justru kemerosotan, berkembangnya ujaran kebencian, misalnya yang diikuti antara lain dengan meledaknya sentimen agama, memperlihatkan bagaimana degradasi moral, hingga adab sebagian dari bangsa ini.
Sentimen agama, yang didiseminasi menggunakan berita palsu (hoaks) oleh oknum-oknum picisan, justru mengundang terjadinya intervensi, baik dari dalam maupun luar. Hoaksmacam ini, sebagaimana kita semua mafhum, adalah fenomena global hari ini.
Sayang, dalam hemat saya fenomena tersebut bisa jadi dimanfaatkan oleh para elite untuk mendulang impresi populis murahan lewat kiprah dari para pendukungnya karena fenomena ini sedang mengglobal.
Meskipun pejabat negara telah berusaha mengatasi, kenyataannya masih ada kegalauan dalam situasi politik dan ekonomi. Ada kecenderungan lemah dalam koordinasi, juga pejabat yang merombak tanpa meneliti skala prioritas pelaksanaannya, dan berbagai hal negatif dari dampaknya sehingga kebijakannya cukup membingungkan masyarakat.
Sialnya lagi kelemahan itu berakumulasi dengan masih berlanjutnya korupsi untuk memperkaya diri sendiri dan golongannya. Lengkap sudah persyaratan untuk menuju kemerosotan mental bagi bangsa Indonesia.
Jangan diam saja
Lalu bagaimana? Apakah warga negara diam saja? Menyerahkan masalah kepada elite politik yang telanjur banyak beban, anggota DPR? Atau DPRD yang bergelut merancang kemenangan untuk tahun 2018-2019, ataupun tokoh-tokoh masyarakat yang acuh, tetapi bangga menjadi agen-agen kekuasaan?
Malang nian nasib bangsa Indonesia karena orang-orang yang diharapkan membawa bangsa dan negara ke arah lebih baik, aman sejahtera, justru berbuat tidak semestinya. Jadi jelaslah bagi masyarakat, rakyat banyak, harus tahu apa yang sedang terjadi dan juga bakal menimpa mereka.
Gangguan apa saja yang akan mereka hadapi, bagaimana harus membela diri dan memperjuangkan kepentingannya secara baik dan benar. Keadaan yang buruk itu tidak boleh menjadi alasan timbulnya revolusi sosial atau coup d'etat militer.
Pertama, kita sadari bahwa proses demokratisasi barat yang tumbuh cepat ternyata dibarengi dengan timbulnya nasionalisme baru dengan berbagai keguncangan. Percepatan suatu negara untuk menjadi negara industri, menghilangkan pengaruh nasionalisme, dan ia tertekan sampai ke dasar.
Nasionalisme berhubungan erat dengan aliran kiri yang anti-kapitalis dan anti-imperialis, terutama di dunia ketiga setelah Perang Dunia II. Sementara nasionalisme sayap kanan yang bertautan dengan fasisme hancur setelah Perang Dunia II. Konon, awal 1990, terjadi kehancuran komunisme, runtuhnya hegemoni Uni Soviet dan perang dingin selesai, lalu muncul kembali dari tidurnya yang lelap, nasionalisme sayap kanan.
Tentu saja nasionalisme aliran kanan tidak tenang-tenang saja, tetapi memompa kegalauan di banyak negara bangsa yang terdiri atas beragam suku bangsa. Ini terjadi di Afrika, Asia, bahkan Eropa. Fenomena ini akhirnya juga melanda Indonesia. Ternyata Pancasila tidak kedap menghadapi serangan globalisasi.
Di Indonesia, keguncangan diakumulasi dengan sentimen antarpenganut agama dengan eskalasi yang cukup tinggi. Namun, secara fisik belum runtuh sehingga membuat kesal mereka yang menginginkannya. Bertahannya negara majemuk yang berbentuk kepulauan selama 73 tahun ini akhirnya harus diakui sebagai suatu prestasi tersendiri.
Proses demokrasi pasca-Soeharto harus dibayar dengan longgarnya tekanan ataupun aturan sehingga terjadi ketidakstabilan di semua lini, apalagi penegakan hukum terus melemah. Karena itu, bagaimana proses demokrasi bisa dikembangkan dan kestabilan terjaga, ini justru yang harus dipikirkan oleh para negarawan, dari para politikus partai besar pemenang pemilu, juga para cendekiawan di kampus-kampus.
Mana yang harus dipilih: menekan demokrasi sampai titik tertentu sambil terjaga kestabilan politik dan roda pemerintahan ataupun perekonomian sehingga memberi kehidupan pada rakyat banyak, atau terus membuka keran politik praktis dalam tatanan demokrasi yang belum jelas arahnya.
Cukup sudah politik banal ini berlangsung, pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Prabowo dalam acara nonton bareng pencak silat dalam Asian Game diharapkan jadi awal tumbuhnya politik elok yang mampu mengatasi masalah- masalah yang sedang terjadi. Suatu hal yang tak bisa diselesaikan dengan tekad besar saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar