KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR

Sejumlah pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Kerukunan Pemuda Lintas Agama(Akapela), saat hadir Konferensi Anak Muda Pembawa Perubahan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa (17/1/2018). Acara ini digelar Oxfam (The Oxford Committee for Famine Relief) Indonesia bersama Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) NTB, dan Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) NTB, sejumlah lembaga lainnya.

Sinyalemen Kompas (30- 31/7/2018) tentang perubahan minat dan aktivitas mahasiswa di era milenial menarik didiskusikan lebih lanjut.

Di beberapa kampus, para mahasiswa ada indikasi tidak lagi terlalu tertarik pada aktivitas di bidang sosial-politik. Unit kegiatan mahasiswa yang berkaitan dengan olah kepekaan sosial mahasiswa cenderung tidak lagi diminati dan keterlibatan mahasiswa pada aktivitas organisasi kemasyarakatan juga menurun.

Para mahasiswa yang dalam proses perubahan dan gerakan reformasi sering kali jadi bagian dari kekuatan civil society yang militan, kini ada kesan hal itu telah bergeser. Alih-alih berkomitmen dan terlibat aktif dalam gerakan pemberdayaan masyarakat marjinal dan reformasi politik, yang terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia, mereka saat ini disinyalir lebih sering menjadi bagian dari leisure class yang menampilkan gaya hidup santai, hedonis, acuh tak acuh, dan lebih banyak memosisikan diri sebagai bagian dari masyarakat konsumer daripada menjadi bagian dari gerakan civil society.

Ruang publik

Animo mahasiswa terlibat dalam gerakan politik praktis, seperti menggelar aksi demo mengkritik kebijakan yang dirasa tidak adil, belakangan ini makin sulit dijumpai. Penetrasi penggunaan gawai dan perkembangan media sosial ditengarai menjadi faktor penyebab pergeseran pola gerakan mahasiswa di era milenial.

Mahasiswa milenial yang merupakan bagian dari digital natives sebetulnya memiliki peluang untuk mengakses ruang publik dan memanfaatkannya untuk menyalurkan aspirasi sosial-politik mereka tanpa khawatir akan dihambat oleh regulasi kelas yang berkuasa melalui wewenang membatasi kebebasan media atau melakukan penyumbatan media komunikasi yang ada. Namun, ketika generasi milenial ini hidup dalam habitat yang lebih banyak dikendalikan kekuatan industri komersial yang kapitalistik dan cita rasa atau selera anak muda lebih banyak hasil bentukan hegemoni pasar daripada selera yang otonom, membayangkan para mahasiswa milenial ikut ambil bagian memanfaatkan ruang publik untuk mempercepat proses demokratisasi di Indonesia tampaknya masih jauh panggang dari api.

Per teori, kehadiran media massa yang seharusnya jadi pilar keempat demokrasi memang diharapkan dapat menjadi instrumen yang membuka wawasan generasi milenial dari hegemoni informasi yang serba tunggal seperti era Orde Baru. Di era pasca-reformasi, ketika media berkembang makin terdeferensiasi dan informasi yang diekspos ke publik makin beraneka ragam, seharusnya yang terjadi adalah munculnya sikap kritis yang makin meningkatkan minat mahasiswa menjadi bagian dari gerakan civil society. Namun, karena media massa yang berkembang di Indonesia umumnya dioperasikan sebagai entitas bisnis untuk kepentingan pencitraan keuntungan dan penumpukan modal, maka yang terjadi dan tak terhindarkan media massa lebih banyak berfungsi sebagai kekuatan antidemokrasi daripada memerankan diri sebagai penyangga perkembangan demokrasi.

Di beberapa negara, tak terkecuali di Indonesia, ketika kekuatan kapitalisme makin dominan, yang terjadi kemudian ruang publik bukan hanya tidak berfungsi sebagai ruang politis yang berdaulat terhadap kepentingan-kepentingan survival, lebih dari itu ruang publik justru raib dalam dominasi pasar yang diterima oleh para individu dengan sukarela. Pada tingkat ini kekuatan pasar telah mencapai status yang disebut Antonio Gramsci sebagai hegemoni.

Meski dengan kadar yang berbeda-beda, media massa dan ruang publik yang muncul di era masyarakat post-industrial cenderung makin kehilangan peran idealnya sebagai sarana untuk membangun dan mengembangkan demokrasi deliberatif. Sebab, di sana yang terjadi bukanlah dialog dan proses pencerdasan publik, melainkan justru metamorfose peran ruang publik jadi ladang persemaian bagi pertumbuhan hasrat konsumtif dan mengejar impian sebagai bagian dari masyarakat urban yang selalu ingin tampil gaya dan berkelas.

Dalam kenyataan tak jarang mahasiswa yang jadi bagian dari digital natives berselancar di dunia maya bukan untuk mencari informasi kritis atau ingin menyampaikan aspirasi politiknya, berkomentar tentang sesuatu hal yang dirasakan melanggar hak asasi atau tidak adil, melainkan mencari informasi produk industri budaya terbaru, melihat sejenak infotainment tentang berita artis idolanya, atau sekadar "ngobrol" dengan kenalannya di dunia maya sembari menghabiskan waktu karena jenuh dengan tugas-tugas belajar dari guru atau dosennya.

Di atas kertas, media massa dan internet sebetulnya memungkinkan pemberdayaan warga masyarakat untuk bersuara dan bertukar informasi tanpa bias kelas sosial. Internet dan media massa secara teoretis memiliki potensi untuk mendorong perkembangan demokrasi. Sebab, ia memiliki karakteristik interaktif, bertautan dengan jaringan global, menjamin kebebasan berbicara, mampu memfasilitasi relasi sosial yang bebas, memungkinkan pembagian informasi tanpa harus terancam sanksi, dan memungkinkan user untuk mengembangkan identitas global ataupun lokal (Hague & Loaker—ed), 1999).

Dengan memanfaatkan blog, Facebook, Twitter, BlackBerry Messenger, situs, diskusi daring, dan lain sebagainya yang leluasa dan selalu terbuka setiap saat untuk diakses siapa pun tanpa bisa dibatasi regulasi politik, generasi milenial sebetulnya memiliki peluang untuk turut berperan aktif mengembangkan demokrasi deliberatif.

Akan tetapi, karena generasi milenial adalah bagian dari anak muda urban yang tumbuh dengan karakteristik sosial-budaya yang cenderung haus hiburan dan konsumtif, yang terjadi umumnya mereka bukan sibuk terlibat dalam aktivitas pemberdayaan masyarakat dan mengembangkan diri sebagai bagian dari gerakan civil society yang militan. Namun, yang lebih banyak dikembangkan pada akhirnya aktivitas mencari kesenangan dan hedonis. Diakui atau tidak mahasiswa digital yang tumbuh di Indonesia ternyata adalah kelompok anak muda yang dibesarkan dalam kebudayaan informasi hasil bentukan kekuatan industri budaya yang dalam banyak kasus malah menjauhkan anak muda dari hasrat untuk terlibat aktif dalam proses demokratisasi.

Identitas baru

Bagi kalangan mahasiswa milenial, peluang mengembangkan dan memanfaatkan ruang publik sebagai arena untuk mempercepat persemaian demokrasi deliberatif dan ruang untuk beraktualisasi diri sebagai bagian dari civil society sebetulnya sangat terbuka. Namun, disadari bahwa mendorong digital natives untuk terlibat dalam proses pengembangan demokrasi deliberatif bukanlah hal mudah. Tanpa didukung kesadaran dan proses pendidikan politik yang mencerahkan dan membongkar hegemoni yang selama ini membelenggu mahasiswa milenial, harapan agar mereka terlibat dalam proses pengembangan demokrasi deliberatif akan sia-sia.

Youniss & Levine dalam Engaging Young People in Civic Life (2009) menyatakan, untuk membuka minat dan antusiasme generasi milenial terlibat dalam proses pengembangan demokrasi bukan saja harus dilakukan sejak dini melalui peleburan isu ini dalam kurikulum pendidikan, yang tak kalah penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran mereka sebagai bagian dari warga negara yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan hal-hal yang lebih besar daripada sekadar aktivitas yang pleasure dan konsumtif.

Ketika aktivitas demonstrasi dan diskusi politik tidak lagi menarik bagi para mahasiswa milenial, identitas sosial seperti apa yang hendak dan telah mereka kembangkan kini telah berubah. Alih-alih mengembangkan kepedulian terhadap persoalan dan aktivitas politik, justru yang terjadi tidak sedikit mahasiswa milenial yang makin acuh tak acuh dan jatuh dalam perangkap kekuatan industri budaya yang makin menggurita.

Ke depan, seberapa jauh kemungkinan kampus mampu mengembalikan lagi roh perjuangan dan semangat mahasiswa di era milenial untuk tetap peka terhadap nasib saudara-saudaranya yang membutuhkan? Pertanyaan inilah yang kini menjadi tanda tanya besar bagi banyak pihak.