Tidak ada satu partai politik pun yang berada di DPR memenuhi persyaratan untuk mengusulkan pasangan calon presiden. UUD 1945 memberi solusi jalan keluar apabila menghadapi persoalan seperti itu, yaitu gabungan partai politik.
Istilah yang digunakan oleh pengamat, politisi, dan media adalah koalisi parpol. Setelah melalui proses panjang, akhirnya terdapat dua pasangan calon yang mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni Joko Widodo-Ma'ruf Amin yang diusulkan oleh enam parpol dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang diusung empat parpol.
Masing-masing bakal calon presiden (capres) mengambil keputusan tentang bakal calon wakil presiden (cawapres) melalui proses yang tak mudah karena berbagai masukan dan tuntutan dari partai anggota koalisi. Proses penentuan bakal pasangan calon ini sepenuhnya merupakan pertarungan para elite partai. Suara rakyat atau pemilih hanya berdasarkan persepsi para elite dan paling jauh berdasarkan survei meski yang terakhir ini juga diragukan oleh sebagian elite. Proses penentuan pasangan calon berlangsung panjang dan penuh ketidakpastian karena keputusan diambil tidak oleh anggota partai di akar rumput, tetapi oleh pertarungan antarelite parpol tingkat atas.
Alasan dan tujuan dukungan
Karena pengusulan bakal capres-cawapres dilakukan oleh koalisi parpol, patut dipertanyakan apa yang menjadi alasan dan tujuan tindakan koalisi parpol itu? Alasan merujuk pada rekam jejak (penampilan masa lalu) bakal pasangan calon, sedangkan tujuan merujuk pada apa yang diharapkan dari penampilan bakal pasangan calon pada masa yang akan datang apabila terpilih. Apakah terdapat alasan yang secara jelas dan lengkap dikemukakan atau ada tujuan lain, tetapi tak diungkapkan secara jelas dan terbuka?
Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak, yaitu pemilu anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, serta pemilihan presiden dan wakil presiden. Dengan kata lain, pemilu anggota DPR akan dilakukan bersamaan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres). Berdasarkan UUD 1945, (1) kekuasaan membentuk undang-undang (UU) berada pada DPR walaupun harus dibahas dan disepakati dengan presiden, dan (2) pengajuan Rancangan APBN berada di tangan presiden, tetapi harus dapat persetujuan DPR. Singkat kata, pembuatan kebijakan publik nasional berada pada presiden dan DPR.
Berbeda dari bentuk pemerintahan parlementer yang tak memisahkan legislatif dari eksekutif (perdana menteri dan anggota kabinetnya adalah juga anggota parlemen), bentuk pemerintahan presidensial memisahkan legislatif dari eksekutif (presiden dan wakil presiden, dan para menteri tak boleh merangkap menjadi anggota DPR). Pembuatan UU tentang APBN dan UU non-APBN memerlukan kesepakatan antara kepala eksekutif (perdana menteri, presiden) dengan parlemen/DPR.
Kesepakatan antara perdana menteri (PM) beserta kabinetnya dengan mayoritas anggota parlemen lebih mudah tercapai, tak hanya karena kedua jabatan ini tidak dipisahkan, tetapi juga karena yang menjadi PM dan anggota kabinet adalah para pemimpin partai yang menguasai mayoritas kursi parlemen. Karena legislatif terpisah dari eksekutif, presiden acap kali mengalami kesulitan mendapatkan persetujuan DPR, terutama apabila partai pendukung presiden tidak menguasai mayoritas kursi DPR. Yang sering terjadi adalah partai presiden menempati posisi minoritas di DPR.
Salah satu persyaratan parpol menjadi peserta pemilu anggota DPR dan DPRD adalah merumuskan visi, misi, dan program partai yang tak hanya harus diserahkan kepada KPU pada masa pendaftaran peserta pemilu, tetapi terutama harus menjadi materi kampanye pemilu pada pemilu anggota DPR dan DPRD dari parpol bersangkutan. Pengajuan visi, misi, dan program juga menjadi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap bakal pasangan calon untuk menjadi peserta pilpres. Karena efektivitas pemerintahan presidensial antara lain ditentukan oleh dukungan mayoritas anggota DPR terhadap rencana kebijakan publik yang diajukan presiden, kesamaan visi, misi, dan program yang ditawarkan parpol (untuk pemilu anggota DPR dan DPRD) dengan visi, misi, dan program yang ditawarkan oleh pasangan capres-cawapres yang diusulkan oleh suatu parpol merupakan suatu keharusan. Agenda politik (beserta rincian substansinya) yang sama antara pasangan capres da cawapres dengan parpol yang mengusulkan akan sangat menentukan efektivitas pemerintahan presidensial.
Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, surat suara Pilpres 2019 tak hanya berisi nomor urut, nama, dan foto pasangan calon, tetapi juga tanda-gambar parpol yang mengusulkan. Namun, sangat tidak konsisten apabila program yang ditawarkan suatu parpol pengusul suatu pasangan calon berbeda/bertentangan dengan program yang ditawarkan oleh pasangan yang diusulkan. Apabila pasangan calon yang diusulkan terpilih, parpol yang mengusulkan niscaya akan mendapatkan jatah anggota kabinet.
Kalau program yang diusulkan partai pengusul berbeda atau bertentangan dengan program pasangan capres-cawapres, bukan tak mungkin akan terjadi ketidakkompakan kabinet karena kebijakan yang diputuskan oleh presiden berbeda dalam detail pelaksanaan oleh anggota kabinet yang berasal dari parpol tersebut. Kabinet yang tidak solid merupakan salah satu penyebab pemerintahan presidensial yang tidak efektif.
Dalam salah satu pasal UU No 7/2017 terdapat kewajiban untuk membuat dua macam kesepakatan. Pertama, kesepakatan di antara gabungan parpol yang mengusulkan suatu pasangan calon, dan kedua, kesepakatan antara pasangan calon dan parpol pengusul. Dalam praktik selama ini, kesepakatan itu cenderung bersifat formalitas saja tanpa substansi sama sekali. Isi kesepakatan formalitas itu hanya berupa kesepakatan beberapa partai untuk mengusulkan suatu pasangan calon yang ditandatangani ketua umum dan sekjen, dan kesediaan pasangan calon untuk diusulkan oleh beberapa parpol yang disertai tanda tangan ketua umum dan sekjen partai dan pasangan calon.
Kesepakatan yang berisi substansial merujuk alasan dan tujuan mengusulkan, serta alasan dan tujuan parpol yang disepakati dengan pasangan calon. Tampaknya kesepakatan substansial itu cenderung dihindari baik oleh parpol pengusul ataupun pasangan yang diusulkan.
Visi, misi, dan program
Dalam rapat di antara sembilan sekjen parpol pendukung Jokowi (enam partai pengusul/pendukung dan tiga partai baru sebagai pendukung) terungkap tentang perumusan Nawacita jilid 2. Konon, para sekjen kesembilan partai itu tengah mengevaluasi, memperbaiki, dan mempertajam sembilan program Jokowi-Jusuf Kalla pada masa jabatan 2014-2019. Akan tetapi, belum diungkapkan kepada publik apa saja substansi perbaikan dalam Nawacita. Presiden Jokowi pernah mengungkapkan salah satu prioritasnya pada masa jabatan kedua, yaitu pengembangan sumber daya manusia (termasuk sekolah kejuruan).
Empat parpol pengusul/pendukung dan satu parpol baru pendukung Prabowo-Sandiaga belum mengemukakan rencana kebijakan publik yang diusulkan. Prabowo dan Sandiaga dalam kesempatan terpisah pernah mengemukakan ekonomi (kemiskinan, kesenjangan, pengangguran) menjadi prioritas mereka.
Kedua bakal pasangan calon sudah menyerahkan visi, misi, dan program kepada KPU ketika mendaftarkan diri. Karena belum dibuka kepada publik, belum diketahui apakah visi, misi, dan program yang diajukan oleh kedua bakal pasangan calon sudah menjabarkan apa yang secara sepintas diutarakan kepada publik.
Karena visi berisi tentang negara yang dicita-citakan, yaitu tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, dapat diduga visi kedua pasangan calon tidak akan berbeda. Karena itu, yang perlu didalami lebih lanjut adalah visi dan program. Apa saja yang hendak diperbaiki juga tidak akan jauh berbeda di antara kedua pasangan calon.
Karena itu, yang perlu disimak secara kritis oleh semua pihak, terutama pemilih, adalah program yang ditawarkan untuk memperbaiki berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Kedua pasangan calon dapat dipastikan hendak menghilangkan kemiskinan, mengatasi kesenjangan, menghilangkan pengangguran, meningkatkan daya beli warga masyarakat, pengendalian inflasi, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi karena hal-hal ini yang kini tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Yang diharapkan dari setiap pasangan calon adalah program konkret dan terukur untuk mengatasi masalah-masalah bangsa. Aspek yang juga sangat penting tak hanya program konkret terukur, tetapi juga kepemimpinan macam apakah yang akan dilaksanakan untuk menjalankan program tersebut. Rencana program yang tepat (sound policy) sangat penting, tetapi rencana yang tepat tidak ada gunanya apabila rencana itu dilaksanakan dengan kepemimpinan yang tidak tepat. Rencana program yang konkret dan terukur sama pentingnya dengan kepemimpinan yang tepat untuk melaksanakan program dimaksud. Tampaknya kedua hal terakhir ini mungkin akan tampak pada masa kampanye, terutama apabila para panelis dan media massa mempertanyakan kedua hal itu dalam perdebatan antarpasangan calon.
Tidak diungkapkan secara jelas, tetapi justru menjadi tujuan utama parpol, yaitu jabatan menteri dalam kabinet jika pasangan calon yang diusulkan terpilih. Jabatan menteri ini konon diperlukan untuk melaksanakan program demi kesejahteraan rakyat. Hal ini betul apabila (a) programnya rinci terukur sesuai dengan visi, misi, dan program yang ditawarkan oleh pasangan calon terpilih, dan (b) aktor yang diusulkan menduduki kementerian itu tepat, baik dari segi program maupun model kepemimpinan melaksanakan program tersebut. Tujuan ini (jabatan menteri) secara tersirat disepakati oleh pasangan calon dan parpol yang mengusulkan, tetapi tidak dinyatakan secara tersurat dalam kesepakatan. Tentu pasangan calon belum bisa memerinci pembagian jabatan menteri dan portofolionya karena tergantung dari hasil pemilu presiden dan pemilu anggota DPR.
Kejelasan alasan dan tujuan mengusulkan pasangan calon itu diperlukan oleh para pemilih terdaftar tidak hanya karena elite politik sering kali mengungkapkan hal yang berbeda antara panggung depan dan panggung belakang, tetapi juga agar para pemilih dapat menggunakan informasi tentang alasan dan tujuan itu sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan pilihan dalam pemilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar