Summum Jus, Summa Injuria". Adagium tersebut bermakna keadilan yang setinggi-tingginya dapat berarti ketidakadilan yang setinggi-tingginya. Memahami postulat tersebut tidak sederhana, tetapi dengan penjelasan yang cukup sederhana, penegak hukum harus berhati-hati karena letak ketidakadilan sangat dekat dengan keadilan itu sendiri.
Dalam hal ini, putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai yang menjatuhkan vonis penistaan agama terhadap seorang wanita yang melakukan protes terhadap kerasnya suara azan menjadi pembelajaran tidak hanya di Tanjung Balai, tetapi juga seluruh wilayah di Indonesia.
Kasus protes terhadap azan tersebut sempat menimbulkan kerusuhan yang berakibat pula pada perusakan wihara. Perbuatan protes terhadap pengeras suara azan dipidana atas penistaan agama dengan satu tahun dan enam bulan penjara dan pembakaran wihara dipidana dengan pasal perusakan barang dengan pidana tidak lebih dari tiga bulan penjara.
Perbedaan penjatuhan pidana tersebut tentu dapat didasarkan pada banyak faktor, tetapi dalam hal ini menjadi pertanyaan kapan dan dalam hal apa pasal penistaan agama dapat dijatuhkan terhadap sebuah kasus yang berdekatan dengan agama. Dalam menjawab permasalahan tersebut, penting untuk melihat pasal penistaan agama di Indonesia dan bagaimana seharusnya aplikasi pasal tersebut.
Pengaturan penistaan agama pada dasarnya merupakan perubahan parsial KUHP. Sebelum ada Undang-Undang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (UU PNPS) Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penistaan Agama, Pasal 156 KUHP hanya mengatur penghinaan terhadap golongan. Konsep tersebut bersifat umum.
Kemudian, Pasal 4 UU Penistaan Agama menambahkan Pasal 156A yang merupakan kriminalisasi terhadap penistaan agama. Blasphemy law atau hukum penistaan agama dibentuk untuk menjaga keberagaman di Indonesia. Dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika, merupakan keniscayaan di Indonesia memiliki berbagai agama dan kepercayaan. Hal ini bahkan diperkuat Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengakui "kepercayaan" sebagai pengganti "agama"
pada kolom identitas penduduk Indonesia.
Oleh karena itu, UU Penistaan Agama dimaksudkan untuk mencegah adanya konflik yang terjadi jika terjadi penghinaan ataupun penodaan untuk agama yang dianut oleh penduduk Indonesia. Paling tidak hal inilah yang termuat dalam Penjelasan Umum UU Penistaan Agama.
Inkonsistensi MK
Apakah saat ini penerapannya mencegah atau malah menimbulkan konflik lainnya?
UU Penistaan Agama paling tidak pernah diuji ke MK dan mendapatkan keputusan MK yang sama, yakni Pasal Pidana Penistaan Agama adalah konstitusional dan penting untuk mencegah adanya konflik beragama. Dalam Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 dan Putusan MK Nomor 84/PUU-X/2012 bisa ditemukan bahwa pemohon selalu menunjukkan bahwa terjadi diskriminasi dan perbedaan dalam penegakan hukum.
Dalam kedua putusan tersebut, MK sama-sama berpendapat bahwa permasalahan perbedaan penerapan UU Penistaan Agama adalah "masalah dalam penerapan, bukan masalah konstitusionalitas". Jawaban ini merupakan jawaban yang janggal dalam sebuah sistem peradilan pidana.
Menurut Barda Nawawi Arief, sistem peradilan pidana terdiri dari tahapan formulasi (legislasi), aplikasi, dan eksekusi, di mana setiap tahapan memiliki pengaruh satu sama lain. Dalam hal ini, pada tahapan formulasi UU Penistaan Agama tentu sangat berpengaruh pada aplikasinya.
Dengan demikian, jika terjadi penerapan yang salah berkali- kali, hal ini merupakan kesalahan formulasi, bukan sekadar penerapan semata. Terlebih, MK menyatakan, sekalipun sebagian besar ahli hukum pidana dalam persidangan menyatakan bahwa UU Penistaan Agama harus direvisi untuk mencapai kepastian hukum, MK menyatakan bahwa MK tidak berwenang mengubah redaksional dan hanya mampu memutus terkait masalah konstitusionalitas semata.
Hal ini kembali menjadi inkonsistensi MK yang banyak melakukan putusan conditionally constitutional dengan mengubah redaksi suatu pasal dalam berbagai putusannya.
Mengapa terjadi perbedaan dalam penerapan pasal pidana penistaan agama, dapat disebabkan beberapa hal. Pertama, Indonesia tidak mengenal binding force of precedent, di mana hakim terikat putusan hakim lainnya sehingga setiap rumusan delik dalam hukum pidana harus dapat diukur dan memiliki nilai obyektivitas yang tinggi karena jika tidak, akan terjadi perbedaan dalam penerapan hukumnya. Dalam hal ini, jika merujuk pada Putusan MK Nomor 1/PUU-XI/2013, MK menyatakan, inkonstitusionalitas frasa "tidak menyenangkan" dalam Pasal 335 KUHP didasarkan pada nilai subyektivitas pasal tersebut. Dalam putusan MK terkait penistaan agama, MK menyadari nilai subyektivitas pada Pasal 156A KUHP, tetapi hanya memberikan definisi dan menyerahkan kepada pihak legislatif untuk melakukan perubahan yang hingga saat ini belum dilakukan.
Kedua, permasalahan lain adalah penegak hukum yang sejak awal menerapkan pasal yang berbeda. Dalam kasus Tanjung Balai, obyek yang diserang—baik dalam protes terhadap pengeras suara azan maupun pembakaran wihara—adalah sama-sama berkaitan dengan suatu agama yang dianut di Indonesia.
Namun, dalam kasus pengeras suara azan dijatuhkan pasal penistaan agama, dan dalam kasus perusakan wihara dijatuhkan pasal perusakan barang. Banyak kasus pembakaran Al Quran ataupun perusakan masjid yang kemudian dijatuhi pasal penistaan agama. Hal ini karena pada dasarnya perbuatan-perbuatan tersebut jelas memenuhi rumusan delik (tatbestanmassigkeitI), selain itu penegak hukum harus mempertimbangkan apakah perbuatan-perbuatan tersebut memenuhi maksud pembentuk undang-undang (wessensau).
Jika wessensau tidak terpenuhi, sudah sepantasnya tidak dijatuhi hukuman yang berbeda-beda. Selain itu, obyektivitas penegakan hukum penting untuk memberikan kepastian hukum yang adil dalam melindungi keberagaman agama di Indonesia.
Karena itu, berdasarkan dua permasalahan itu, perlu ada revisi blasphemy law di Indonesia dan penegakan hukum yang didasarkan pada perlindungan terhadap keberagaman beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar