KOMPAS/ALIF ICHWAN

KPK Periksa Amin Santono – Anggota Komisi IX DPR Fraksi Partai Demokrat nonaktif Amin Santono didampingi petugas usai di periksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (30/8/18). Amin Santono diperiksa sebagai tersangka dengan kasus dugaan suap terkait usulan dana perimbangan keuangan daerah pada RAPBN Perubahan 2018.

Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya, penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan tepercaya serta mampu membebaskan diri dari praktik KKN.

Begitu bunyi Pasal 2 Ayat (2) Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Bunyi itu terkait erat dengan Ayat (1), yang menyebutkan, penyelenggara negara pada lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara.

Meski diputuskan lebih dari 20 tahun lalu dan dilengkapi berbagai peraturan, termasuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memang tak mudah untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN. Di lembaga yudikatif, sejak KPK dibentuk, sudah lebih dari 20 hakim diproses hukum sebab terlibat korupsi. Kementerian Dalam Negeri pun mencatat, antara tahun 2004 dan 2017 sudah 313 kepala daerah yang terjerat korupsi. Tahun 2018, hingga Juli lalu, 19 kepala daerah yang tertangkap KPK.

Pada lembaga legislatif, Kemendagri mencatat antara tahun 2005 dan 2014 ada 3.169 anggota DPRD diduga korupsi, tak termasuk anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Data di KPK, antara tahun 2007 dan 2014 terdapat 74 anggota DPR yang terjerat kasus korupsi. Jumlah wakil rakyat yang terjerat korupsi pasti lebih besar lagi karena KPK antara tahun 2014 dan 2018 berulang kali menangkap wakil rakyat yang diduga korupsi.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) ingin mewujudkan semangat Ketetapan No XI/MPR/1998 itu, yang sejalan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dengan melarang eks narapidana korupsi, pelecehan seksual terhadap anak, serta bandar narkoba menjadi wakil rakyat. KPU membuat Peraturan Nomor 20 Tahun 2018 untuk pencalonan anggota DPR dan DPRD, dan Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan DPD. Namun, keinginan yang didukung oleh masyarakat itu tak gampang diwujudkan karena mendapat tentangan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), DPR, dan pemerintah. Di sejumlah daerah, seperti Aceh, Sulawesi Utara, dan Kabupaten Rembang (Jawa Tengah), bekas koruptor tetap diloloskan menjadi calon wakil rakyat.

Dalam pembahasan UU Pemilu dan PKPU, memang, Bawaslu, pemerintah, dan DPR sepakat dalam pencalonan anggota DPRD dan DPR serta DPD meminta KPU mengikuti UU. Untuk calon anggota DPR/DPRD, misalnya, pasal 240 UU Pemilu menyatakan, eks napi yang telah dihukum selama lima tahun atau lebih bisa mencalonkan diri, selama mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka, dirinya pernah berstatus sebagai napi. Namun, UU KPK jelas menyebutkan, korupsi tak lagi bisa digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi menjadi kejahatan luar biasa. Upaya pemberantasan korupsi tak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi menuntut cara yang luar biasa. Tak cukup pendekatan yang legalistik, sekadar mengikuti bunyi UU.