Dewasa ini ada lima sumber utama yang secara potensial menimbulkan gejolak baru ekonomi internasional.

Kelima potensi masalah itu adalah 1) peningkatan suku bunga internasional, 2) peningkatan laju inflasi dunia, 3) tingginya tingkat utang dunia usaha dan perorangan maupun pemerintah di berbagai negara, 4) kebijakan perdagangan sepihak Presiden Trump yang proteksionistis dan bertentangan dengan aturan baku WTO, serta 5) penurunan tarif Pajak Pendapatan di AS.

Peningkatan suku bunga adalah akibat dari berakhirnya kebijakan pemompaan likuiditas oleh bank sentral negara-negara besar (terutama AS, Jepang, Uni Eropa, dan Inggris) untuk mengatasi krisis keuangan global 2008-2009. Kebijakan pemompaan likuiditas itu dikenal dengan Quantitative Easing (QE). Melalui QE, bank sentral membeli obligasi negara maupun surat-surat berharga perusahaan swasta berkualitas tinggi. Pemerintah AS juga menguatkan modal lembaga-lembaga keuangan, perusahaan asuransi, dan General Motor, pabrik mobil yang mengalami kesulitan karena krisis.

Terkait kebijakan perdagangan, di masa pemerintahan Trump, AS bukan lagi jadi motor penggerak liberalisasi perekonomian dunia sebagaimana tecermin dari pembatalan keikutsertaannya di Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), modifikasi perjanjian dagang di Amerika Utara dengan Kanada dan Meksiko serta kebijakan dagang yang protektif. Kenaikan tarif impor besi dan aluminium di AS belakangan ini memicu perang dagang dengan mitra dagangnya sehingga memperburuk keadaan.

Sementara penurunan tarif Pajak Pendapatan di AS akan menyedot investasi dan pelarian modal dari seluruh dunia ke AS. Tadinya modal keluar dari AS karena rendahnya suku bunga dibanding dengan di luar negeri. Pada dasarnya, AS memang lebih menarik bagi investor dunia karena selain memiliki stabilitas politik dan sosial paling tinggi, pasar uang dan modalnya juga paling besar dan dalam. Pada gilirannya, pelarian modal antarnegara akan menimbulkan gejolak kurs antarnegara.

Untuk menghadapi berbagai ketidakpastian internasional, Indonesia perlu meningkatkan ketahanan ekonomi dalam negerinya sendiri seraya memperluas ekspor ke negara-negara nontradisional.

Berakhirnya QE

Pada gilirannya, banjir likuiditas karena QE telah menurunkan tingkat suku bunga pinjaman bank mendekati nol persen dan bahkan negatif di berbagai negara, seperti di Jepang dan Norwegia. Artinya, deposan tak lagi memperoleh balas jasa bunga depositonya di bank, tetapi justru membayar jasa penyimpanan uangnya. Lebih rendahnya suku bunga di negara-negara maju itu telah mendorong arus modal keluar dari negara maju. Salah satu penyebab pelarian modal antarnegara adalah adanya perbedaan suku bunga efektif.

Tujuan QE dengan menurunkan suku bunga pinjaman maupun deposito adalah untuk menguatkan modal lembaga-lembaga keuangan, termasuk perbankan, serta merangsang pengeluaran masyarakat, baik untuk keperluan konsumsi maupun investasi. Murahnya tingkat suku bunga telah meningkatkan pinjaman masyarakat, baik dunia usaha maupun perorangan. Pinjaman negara juga meningkat karena suku bunga pinjaman yang menurun yang dipergunakan untuk mendorong pengeluarannya. Tujuan lain dari ekspansi likuiditas itu adalah meningkatkan kembali tingkat laju inflasi agar dapat memberikan insentif bagi produsen barang dan jasa.

Dengan kian sehatnya kondisi keuangan lembaga-lembaga keuangan dan dunia usaha, secara bertahap, pemerintah negara-negara maju mengakhiri QE. Perusahaan yang meminjam modal mulai melunasi utangnya pada pemerintah. Bank-bank sentral mulai menjual kembali obligasi negara dan saham dunia usaha yang mereka beli. Bank-bank sentral mengurangi kredit kepada perbankan seraya meningkatkan suku bunga pinjamannya. Dalam masa empat tahun neraca bank sentral diharapkan normal kembali dengan pengurangan portepel yang sangat besar berupa obligasi pemerintah serta saham maupun surat utang dunia usaha.

Pengetatan likuiditas dan penjualan obligasi negara serta surat-surat utang dunia usaha telah mulai meningkatkan tingkat suku bunga. Peningkatan suku bunga itu diawali di negara maju yang menghentikan QE dan kemudian menjalar ke seluruh dunia. Pada gilirannya, kenaikan suku bunga menyulitkan debitor karena memberatkan pembayaran utang, baik utang pribadi dan dunia usaha maupun negara.

Lalu lintas modal antarnegara memengaruhi nilai tukar mata uang atau kurs devisa. Pada gilirannya, kurs devisa memengaruhi tingkat harga-harga, tingkat upah tenaga kerja maupun suku bunga efektif. Yang terakhir ini merupakan penjumlahan tingkat suku bunga nominal dan persentase perubahan kurs mata uang.

Dampak dari arus lalu lintas modal antarnegara karena perbedaan suku bunga setelah berakhirnya QE sudah kita rasakan di Indonesia dewasa ini. Karena kombinasi QE, pemasukan modal dan penurunan Pajak Pendapatan di AS, mata uangnya terus menguat. Akibatnya rupiah dan mata uang berbagai negara lain terus melemah. Di satu pihak, peningkatan suku bunga di luar negeri dan pelemahan rupiah akan sangat memberatkan pihak yang berutang dalam mata uang asing ke luar negeri. Sebagai contoh, merosotnya nilai rupiah lebih dari tujuh kali lipat pada 1997 telah membangkrutkan pihak swasta maupun pemerintah yang banyak berutang dalam bentuk valuta asing ke luar negeri.

Beban kian berat jika utang luar negeri dalam mata uang asing itu adalah dalam bentuk jangka pendek dipergunakan untuk membangun proyek infrastruktur yang jangka panjang seperti telepon, listrik, jalan tol, dan real estat yang memberikan balas jasa dalam jangka panjang dan dalam rupiah. Para ahli ekonomi menyebutnya sebagai gabungan ketidakserasian mata uang dan antara jangka waktu kredit dan pengembaliannya.

Di lain pihak, kalau bisa memanfaatkannya, pelemahan rupiah seharusnya memberikan insentif bagi peningkatan ekspor dan pariwisata dan menurunkan impor. Eksportir dan produsen memperoleh penghasilan rupiah lebih banyak dari setiap satuan mata uang asing yang dihasilkan. Tarif hotel, transportasi, dan makan minum serta jasa-jasa kian murah diukur dalam satuan mata uang asing. Sebaliknya, harga komoditas impor dalam mata uang asing akan menjadi lebih mahal dalam satuan rupiah. Biaya umrah dan turisme ke luar negeri juga menjadi lebih mahal dalam satuan rupiah.

Apa yang harus dilakukan?

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menguatkan fundamental perekonomian Indonesia guna mengatasi berbagai ketakpastian di atas. Pertama, meningkatkan pemantauan tingkat kesehatan finansial lembaga-lembaga keuangan, dunia usaha, dan pemerintah secara lebih cermat. Khususnya, untuk mencegah terjadinya kembali krisis keuangan seperti 1997-1998, Otoritas Jasa Keuangan perlu lebih jeli dan tegas dalam menerapkan aturan prudensial bagi bank, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya. Dewasa ini, pemerintah tak lagi memberikan bantuan untuk menyehatkan kondisi keuangan lembaga keuangan (bail out).

Menurut aturan baru, pemilik lembaga keuangan sendiri yang bertanggung jawab untuk menyehatkan kondisi keuangan perusahaannya (bail in). Sementara BI perlu memantau pinjaman dunia usaha. Pemerintah pun perlu menahan dari agar tak lagi melakukan pinjaman luar negeri untuk membangun proyek mercusuar. Contoh proyek mercusuar adalah pembangunan kereta api dengan kecepatan 500 kilometer per jam untuk menempuh jarak 180 kilometer Jakarta-Bandung.

Kedua, pemerintah perlu mengembalikan operasi lembaga keuangan nasional pada fungsi semula dan memodernisasikannya. Ilmu ekonomi percaya, persaingan pasar yang sehat merupakan cara terbaik untuk dapat merangsang efisiensi dan modernisasi badan usaha negara dan bukan melindunginya secara berlebihan melalui perlindungan pasar dan hak istimewa. Dilihat dari nilai aktiva dan jumlah kantor cabangnya, dewasa ini, industri keuangan Indonesia bertumpu pada empat bank negara (Mandiri, BNI, BRI, dan BTN), dan rangkaian Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang hidupnya hanya bergantung pada proteksi pemerintah.

Bank-bank negara itu tak efisien dan tak mampu bersaing dengan bank-bank swasta nasional, apalagi bank-bank asing, termasuk Maybank dan CIMB Niaga dari Malaysia serta DBS (Development Bank of Singapore) dari Singapura. Industri asuransi nasional juga dikuasai oleh perusahaan saing, sedangkan perusahaan asuransi negara semakin terpinggirkan.

Ketiga, untuk tujuan pemerataan berusaha dan pendapatan, fungsi BRI perlu dikembalikan sebagai bank bagi rakyat dan pengusaha menengah dan kecil, koperasi, tani, dan nelayan guna memerangi pelepas uang. Bank Tabungan Pos (BTP) perlu dibangun kembali untuk memobilisasi tabungan masyarakat dan mengajari masyarakat menggunakan lembaga keuangan modern. Kantor pos tersebar di seluruh pesolok Tanah Air dengan jumlah yang jauh lebih besar dari kantor cabang bank. Nilai aktiva BTP di Jepang dan Eropa Barat jauh melebihi aktiva bank swasta terbesar di negara-negara itu. Peranan BTP di Singapura tetap penting di tengah sistem keuangannya yang modern dan maju. Proyek-proyek pemerintah dan pembiayaan UKM di Jepang didanai dari dana yang dimobilisasi BTP.

Keempat, meningkatkan penerimaan pajak melalui implementasi aturan perpajakan. Hanya dengan meningkatkan tabungan nasional, termasuk penerimaan pajak, Indonesia dapat terlepas dari status negara pengutang di tingkat dunia walaupun sudah 73 tahun merdeka. Program pemerintah yang bersifat kosmetik selama ini hasilnya belum seperti diharapkan. Misalnya amnesti pajak, pembukaan rahasia bank, maupun kerja sama internasional mengenai informasi perpajakan.

Rangkaian program itu hanya untuk sekadar mendapatkan informasi mengenai wajib pajak serta kekayaan dan pendapatannya. Program itu tak akan meningkatkan penerimaan pajak tanpa adanya audit dan upaya paksa untuk melunasi pembayarannya.

Pada sisi pengeluaran, pemerintah reformasi sudah mengganti disiplin fiskal anggaran berimbang Orde Baru dengan disiplin fiskal yang berlaku berdasarkan Perjanjian Maastricht di Uni Eropa. Disiplin fiskal itu dituangkan dalam UU Keuangan Negara Tahun 2003. Selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, seluruh defisit APBN ditutup dengan hibah dan pinjaman yang diterima dari negara-negara donor Barat—yang tergabung dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan kemudian digantikan oleh Consultative Group on Indonesia (CGI).

Dalam aturan Maastricht, jumlah utang negara untuk menutup anggaran dibatasi maksimum 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sementara batas maksimum utang negara 60 persen dari PDB.

Strategi pembangunan ekonomi

Kelima, mengubah strategi pembangunan ekonomi ke arah orientasi ekspor (export oriented development strategy). Strategi ini ditujukan untuk mencapai dua sasaran ganda: meningkatkan penerimaan devisa ekspor serta menciptakan lapangan kerja dan pendapatan bagi penduduk yang padat, terutama di Jawa. Strategi ini perlu berbagai bentuk kebijakan yang meningkatkan efisiensi perekonomian dan daya saing di pasar dunia. Pertama, meningkatkan kurs efektif riil rupiah (REER). Kedua, kebijakan fiskal yang tak distortif. Ketiga, kebijakan struktural yang meningkatkan efisiensi dan produktivitas perekonomian. Ketiga kebijakan itu akan merangsang peralihan produksi dari non-traded goods (NTG) yang tak efisien ke traded goods (TG) yang lebih produktif dan efisien. NTG berorientasi pada pemenuhan keperluan dalam negeri saja. TG menghasilkan barang jasa untuk pasar dunia.

Kebijakan ekonomi yang berorientasi pada ekspor akan mendorong peningkatan produksi dan ekspor industri manufaktur dan pengolahan SDA yang dapat diproduksi dengan teknologi padat karya oleh tenaga kerja Indonesia yang surplus, tetapi dengan tingkat pendidikan dan keahlian rendah. Peningkatan efisiensi dan produktivitas pekerja akan meningkatkan pendapatan produsen komoditas ekspor. Industri berorientasi ekspor itu termasuk tekstil dan pakaian jadi, industri perabot kayu, alas kaki, pengolahan bahan mentah seperti minyak goreng dan produk minyak kelapa sawit, komponen serta suku cadang industri otomotif dan elektronik.

Pemasukan investor asing perlu dirangsang untuk mengembangkan ekspor itu karena selain membawa modal dan teknologi, perusahaan asing juga sekaligus membuka pasar di luar negeri. Kenapa Salim Group dan Sinar Mas bisa mengekspor minyak goreng, kertas, dan mi instan, kenapa BUMN tak mampu mengembangkan ekspor? Pemasukan modal asing dan peningkatan ekspor mengurangi keperluan Indonesia melakukan pinjaman luar negeri dan meningkatkan kemampuan melunasi utang luar negeri.

Untuk memperluas pasar ekspor, Kementerian Agama perlu mewajibkan seluruh jemaah umrah dan haji menggunakan pakaian buatan Indonesia, mulai dari baju ihram, kerudung, ikat pinggang, kopiah, tasbih, sandal, hingga peralatan makan dan minum. Dengan warna lain dan renda-renda kerudung yang sama dapat dijual ke Eropa untuk dipakai oleh wanita Katolik beribadah ke gereja. WNI juga perlu didorong bermitra dengan pemodal Arab Saudi untuk mendirikan perusahaan angkutan darat, asrama haji, losmen, maupun hotel dan restoran Indonesia di Arab Saudi. Dodol Garut dan Kudus harus dapat bersaing dengan Turkish Delight yang terkenal itu. Bank-bank nasional pun dapat bermitra dengan lembaga keuangan Arab Saudi, Kuwait, dan negara-negara penerima TKI lain dalam mengelola keuangan jemaah maupun transfer uang pekerja Indonesia ke kampung halaman.

Tekstil, batik, barang-barang kerajinan, hingga sabun mandi maupun sabun cuci Indonesia sangat populer di berbagai negara Afrika. Untuk menurunkan biaya produksi yang tak perlu, logistik harus diperbaiki. Ini perlu penertiban pungli di jalan raya dan kelancaran urusan di pelabuhan udara dan laut. Kelancaran logistik juga memberikan kepastian berusaha dalam pengiriman barang.