KOMPAS/ZULKARNAINI (AIN) 15-07-2018

Muliana (31) saat berada di rumahnya di Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, Provinsi Aceh, Minggu (15/7/2018). Muliana adalah keluarga pemulung yang bergantung hidup dari sampah-sampah plastik yang dikumpulkan dari tempat pembuangan akhir sampah. Hingga Maret 2018 jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 839.000 orang atau 15,97 persen. Aceh menjadi provinsi dengan penduduk miskin terbesar di Pulau Sumatera.

Belakangan ini kita disuguhi perdebatan mengenai angka kemiskinan. Versi Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin sudah turun menjadi satu digit, yaitu 9,82 persen atau 25,95 juta orang pada Maret 2018. Itu angka terendah sejak 1999 (Kompas.com, 16/7/2018).

Tak lama berselang, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut ada sekitar 100 juta orang yang masuk kategori miskin meskipun dijelaskan yang dimaksud adalah "the bottom 40" atau 40 persen kalangan bawah yang jumlahnya sekitar 100 juta orang.

Sandiaga Uno, sang cawapres, juga meragukan data BPS dan menuding pemerintah mengontrol data BPS serta lebih percaya dengan data yang dimilikinya karena berdasarkan keluhan langsung dari masyarakat saat ia dan timnya berkunjung ke daerah.

Terlepas dari motivasi di balik pernyataan-pernyataan para politisi itu, tebersit pertanyaan apakah makin banyak orang miskin di negara kita atau makin sedikit? Dalam buku Hans Rosling et alFactfulness, Ten Reasons We're Wrong About the World-and Why Things Are Better Than We Think, Flatiron Books, 2018, diungkapkan bahwa kebanyakan kita cenderung menerka bahwa dunia atau negara kita makin buruk.

Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan  sederhana mengenai tren global, seperti  persentase orang miskin dunia, persentase populasi yang mempunyai akses listrik, anak perempuan yang lulus sekolah dasar, dan lain-lain. Yang mengejutkan adalah kebanyakan jawaban responden salah, sedemikian salahnya sehingga jawaban acak simpanse secara konsisten lebih baik dari jawaban para guru, wartawan, bahkan para pemenang hadiah Nobel yang seharusnya memiliki pengetahuan umum yang lebih baik dibandingkan dengan orang kebanyakan.

Salah satu contoh dari 13 pertanyaan yang diajukan adalah: dalam 20 tahun terakhir, proporsi penduduk dunia yang hidup dalam kemiskinan ekstrem (penghasilan di bawah 2 dollar AS per hari) adalah A) dua kali lipat; B) kurang lebih sama; C) hampir setengahnya.

Yang menjawab benar hanya 7 persen dari ribuan orang yang disurvei, masih kalah dengan simpanse yang secara acak mempunyai kemungkinan 33 persen benar. Jika kita menjawab asal-asalan saja seperti diumpakan seekor simpanse, maka ada kemungkinan sepertiga jawaban benar atau 33 persen. Bagi yang penasaran, jawaban yang benar adalah C. Ini sangat mengejutkan bahwa perkembangan paling penting dan luar biasa ini, yaitu jumlah penduduk miskin ekstrem berkurang setengahnya dalam dua dekade terakhir, tetapi kita tidak mengetahuinya.

Dia mengungkapkan bahwa kita cenderung percaya kebanyakan aspek dalam hidup kita semakin buruk seperti contoh soal kemiskinan ekstrem di atas. Kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu dan dugaan kita sangat dipengaruhi bias yang cenderung negatif. Padahal, secara faktual banyak aspek hidup kita yang berkembang menjadi lebih baik.

Lalu bagaimana dengan angka kemiskinan di Indonesia. Setelah membaca Hans Rosling, tentu kita harus mengacu kembali ke fakta yang ada. Untungnya Bank Dunia sangat rajin mencatat statistik penting ini, dengan menggunakan acuan garis kemiskinan internasional di mana ternyata jika dibandingkan dengan 20 tahun lalu, angka kemiskinan kita turun 87,5 persen dari 137 juta pada tahun 1999 menjadi 16,9 juta tahun 2016 (tahun 2017-2018 belum ada data, http://povertydata.worldbank.org/poverty/country/IDN).

Kalau dunia dalam 20 tahun bisa menurunkan angka kemiskinan menjadi setengahnya, ini sudah prestasi hebat. Kita lebih hebat lagi, proporsi penduduk miskin hanya tinggal 12,5 persen! Inilah Indonesia!