Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 22 September 2018

Para Penjaja Menghilang//Audit Dana Desa di Nias Selatan//Malang yang Sungguh Malang (Surat Pembaca Kompas)

Para Penjaja Menghilang

Paling tidak sejak penertiban dan pembenahan stasiun kereta api di sepanjang jalur Jakarta-Bogor, saya kesulitan mencari penjaja koran. Mereka, bersama penjaja dagangan yang lain, menghilang dari emplasemen atau emperan stasiun.

Tiba-tiba saya tersadar, gejala seperti itu juga terjadi di beberapa bandar udara domestik yang sempat saya sing- gahi. Di perempatan jalan raya juga tidak lagi tersua anak-anak atau pemuda tanggung menawarkan koran kepada pengemudi mobil yang berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah.

Kalau begitu, raibnya para penjaja itu tentu bukan semata-mata tergusur oleh proyek modernisasi stasiun. Seorang teman—wartawan—mengatakan kepada saya, "Jika Anda masih membayangkan banyak koran cetak beredar di pasaran, berarti Anda tergolong generasi jadul." Lihat saja, imbuhnya, banyak penumpang kereta komuter lebih asyik membaca berita-berita ringkas yang nongol di layar ponsel ketimbang menggelar koran.

Dia benar. Kios-kios di stasiun yang dulu menjual koran dan majalah pun kini berubah jadi toko mini serba-ada atau tempat jualan nyamikan dan minuman kemasan. Saya jadi teringat akan Geertz—kerumunan penjaja itu telah digantikan oleh barisan raja-raja.

Di pojok jalan masuk menuju Stasiun Depok Lama, saya masih berharap bisa ketemu kios koran dan majalah yang lumayan ramai saban hari. Tetapi, saya kecelé, kios itu kini jadi bengkel tambal ban mobil, bersisian dengan warung gudeg dan soto lamongan.

KASIJANTO SASTRODINOMO
Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat

Audit Dana Desa di Nias Selatan

Sebenarnya saya tak usah mencampuri urusan yang satu ini sebab saya tak lagi tinggal di kampung. Tetapi, melihat situasi yang bikin miris, tergerak nurani saya menulis surat ini.

Sewaktu pulang kampung pada Mei 2018, saya menanyakan hasil pembangunan dari Dana Desa di Desa Fanedanu, Kecamatan Somambawa, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara, kepada keluarga besar saya. Saya tentu ingin desa itu maju seperti desa lain.

Betapa terkejut saya ketika mendengar bahwa hampir Rp 1 miliar dana desa itu, yang diperoleh dari dana program pembangunan, jalan di tempat. Nyaris tak ada faedahnya.

Awalnya saya tak yakin. Hasilnya memang benar. Tak membekas. Kasihan sekali. Ke mana uang Rp 1 miliar itu?

Saya memohon para penegak hukum di Nias Selatan maupun pemerintah yang membidangi dana desa segera mengevaluasi penggunaan dana desa.

Di desa biasanya memperjuangkan keadilan itu sangat mahal. Dengan ini, saya minta seluruh dana segera diaudit aparat atau KPK.

Filemon
Putra Asli Desa Fanedanu,
Tinggal di Batam


Malang yang Sungguh Malang

Betapa malang warga Malang. Dana APBD yang mestinya membangun kota ditilap para pemimpinnya: 41 dari 45 anggota DPRD Malang tersangkut korupsi. Mereka korupsi bersama saat menunaikan tugas dan tanggung jawab sebagai pejabat publik.

Korupsi di Indonesia makin sistemik. Lembaga yang seharusnya saling mengontrol justru sepakat "berjemaah" melakukan kejahatan. Ada akar menggurita yang melumpuhkan mentalitas, pola pikir, bahkan budaya hidup bersama dalam masyarakat. Jika dianggap sepele dan ditangani setengah hati, korupsi akan berakibat fatal.

Penting membangun sistem pelayanan publik yang bisa dikontrol bersama seperti e-government yang transparan demi efisiensi: akses dan kontrol bisa optimal. Perlu pula membangun mentalitas, perilaku, dan budaya antikorupsi melalui pendidikan dengan latihan praktis kejujuran di sekolah. Beri ruang hidup dan tumbuh kembangkan gerakan antikorupsi.

Adrianus Pristiono
Warga Malang,Tinggal di Meruya Selatan

Jakarta Barat

Kompas, 21 September 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger