Beberapa minggu lalu saya menyarankan kepada klien saya agar membiasakan tim mereka untuk belajar memberikan solusi dan bukan hanya datang dengan problematik sehingga membiasakan mereka untuk berlatih memiliki sikap seorang pemimpin, bukan berlatih memiliki mental bawahan.

Profesional

Saran yang saya sampaikan kepada klien saya itu sejujurnya saya dapatkan dari nasihat yang pernah diberikan oleh teman saya. Saya ingat, teman saya itu menjelaskan bahwa bawahan itu kalau menemukan problematik tak bisa hanya melapor saja. Itu bukan seorang profesional. Atasan atau bawahan hanya sebuah sebutan soal kedudukan, tetapi itu tak berarti bahwa yang di bawah bukan profesional.

Kalau sebuah perusahaan disebut profesional itu berarti seluruh jajarannya apa pun jabatannya, ya, harus bersikap profesional dan salah satu keprofesionalan yang paling mudah dicerminkan adalah mencari solusi ketika berhadapan dengan masalah dan bukan hanya menjadi pelapor masalah serta berakhir dengan menjadi karyawan yang malas. Demikian saran teman saya beberapa tahun lalu.

Nah, saran itu saya sampaikan di hadapan klien saya. Namun, beberapa saat kemudian saya jadi kepikiran. Kalau bawahan bekerja dan bersikap profesional artinya mereka mampu menghadapi problematik dengan memberikan solusi, terus apa gunanya pemimpin kalau begitu? Gaji sudah pasti lebih besar, kuasa juga pasti lebih besar, fasilitas pasti lebih banyak, demikian juga tanggung jawab.

Kalau tanggung jawab itu lebih besar daripada bawahan, artinya bahwa pemimpin wajib menjadi pembuat solusi yang jitu dan bukan hanya menunggu bawahan datang dengan solusi, bukan? Atau saya keliru?

Karena kuasa yang lebih besar yang didapat seorang pemimpin atau atasan, bisa diartikan berkuasa untuk tidak memberikan solusi dan berkuasa untuk memerintahkan bawahan yang mencarikan jalan keluar. Atasan tinggal manggut-manggut atau paling tidak merevisi sedikit atau memberikan masukan sedikit.

Bahwa ketika problematik bisa diselesaikan dengan baik dan profesional oleh bawahan, dan atasan yang mendapat pujian, itu akan menjadi risiko bawahan dan untungnya menjadi atasan. Kecuali atasan berniat baik menjelaskan bahwa penyelesaian yang profesional itu adalah kerja sebuah tim yang profesional.

Di balik layar

Ada sebuah ungkapan dari seorang penulis dan a top leadership thinker, John C Maxwell, yang mengatakan begini: A
leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way
. Ungkapan ini sampai membuat saya berpikir bahwa betapa beratnya menjadi seorang pemimpin. Seperti harus tahu segalanya, bahkan apa yang terjadi di masa depan. Sudah berat seperti itu, kok, ya, masih saja ada yang mau berebut jadi pemimpin.

Duh, kalau saya langsung mundur mendadak. Nurani saya langsung menyambar secepat kilat. "Pastinyaaaa. Wong kamu nyali gak ada, kepandaian di bawah rata-rata, kepemimpinan juga gak punya. Yang ada cuma jadi pemimpin yang mulutnyakayak silet. Makanya kamu itu, sampai sudah tua seperti sekarang ini, hidupnya cuma segini-segini saja. Cuma bisa nyinyir. Heran, kok, masih ada yang mau kerja sama kamu."

Dengan tingkat IQ saya yang gitu deh itu, ungkapan Pak John di atas itu saya artikan bahwa pencari solusi terhadap problematik seharusnya memang tugas pimpinan untuk menyelesaikan, bahkan seandainya bawahan tidak datang dengan sebuah atau beberapa solusi?

Kalau bawahan datang dengan alternatif solusi, itu berarti bawahan sungguh profesional dalam mengemban tugas dan tidak dapat diartikan bahwa pemimpinnya tinggal ongkang-ongkang kaki. Karena ungkapan yang diberikan Pak John itulah yang, menurut saya, membuat adanya perbedaan upah antara pimpinan dan bawahan yang lumayan besar?

Jadi, kalau bawahan datang dengan solusi, dan solusi itu bagus serta membuat seorang pemimpin terlihat sukses memimpin, dan orang melihatnya seperti apa yang dikatakan Pak John C Maxwell, a leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way, mungkin ibarat orang hebat di balik layar.

Entah mengapa tiba-tiba saya merasa galau setelah menulis artikel ini. Saya merasa tersindir dan kesetrum dengan tulisan ini sehingga lahir sebuah pertanyaan di kepala saya, bukan gara-gara nurani yang seperti biasanya bawel dan sarkastis itu.

Apakah saya ini pemimpin yang seperti kata Pak John? Apakah saya pemimpin karena kebetulan saja karena saya punya usaha dan kemudian saya menjadi pemimpin tanpa memiliki kapasitas sebagai seorang pemimpin?