KOMPAS/ADI SUCIPTO

Sumali, peternak ayam petelur di Mantup, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur Minggu (23/9/2018) memberi pakan pads ayam petelurnya. Saat ini harga pakan pabrikan, jagung dan dedek naik semenrara harga telur turun.

Tidak sinkronnya produksi jagung dan kebutuhan industri pakan unggas cerminkan perlu mengkaji kembali strategi dan kebijakan pertanian dan pangan nasional.

Kebijakan pangan dan pertanian kita perlu menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi di Indonesia dan dunia. Indonesia menetapkan strategi dan kebijakan swasembada pangan, terutama beras, sejak akhir tahun 1950-an.

Situasi dalam negeri dan dunia kini berubah besar. Jumlah penduduk sudah lebih dari 260 juta jiwa. Kita dan dunia menghadapi perubahan iklim dan sumber daya air dan lahan yang semakin terbatas. Luas lahan pertanian terus berkurang.

Di dunia, persaingan komoditas pangan dari sisi permintaan dan pasokan semakin ketat. Ada yang disebabkan terbatasnya produksi, tetapi ada yang disebabkan produktivitas sangat tinggi yang membuat produksi berlimpah dan harga relatif murah.

Di tengah perubahan besar tersebut, kita perlu memikirkan kembali strategi dan kebijakan pangan kita. Kita dituntut lebih bijaksana menyikapi berbagai perubahan itu ketika memilih komoditas yang didorong swasembada. Ketika mengambil pilihan kebijakan, pemerintah dituntut siap atas dampak pilihan itu.

Dalam menentukan pilihan komoditas swasembada, akan arif jika penentuannya berdasarkan keunggulan komparatif. Dengan demikian, tidak sulit menjadikan komoditas itu kompetitif ketika dipersandingkan dengan komoditas sejenis di pasar internasional.

Hal ini perlu diperhatikan mengingat Indonesia meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia beserta lampirannya, antara lain mengenai perdagangan produk pertanian, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia yang berlaku sejak 1 Januari 1995. Akan bijaksana apabila pemerintah menimbang sungguh-sungguh apakah jagung memiliki keunggulan komparatif jika didorong untuk swasembada nasional, termasuk korban yang akan ditanggung sektor lain.

Jagung hanya cocok ditanam di kawasan tertentu sesuai iklim dan ketersediaan lahan ketika bersaing dengan komoditas lain, seperti padi yang dianggap sebagai komoditas bernilai politis atau hortikultura yang harganya lebih baik dari jagung.

Pertanaman jagung yang terserak dan jauh dari sentra pengguna jagung, yaitu industri pakan unggas. membuat jagung dalam negeri menurun daya saing komparatif dan kompetitifnya ketika dikirim ke sentra industri pakan yang umumnya ada di Jawa.

Harga jagung yang mahal berdampak pada peternak ayam petelur dan pedaging yang akan ditransfer kepada konsumen. Harga lebih baik yang diterima petani jagung perlu dipertimbangkan kesepadanannya dengan kenaikan harga yang menjadi beban konsumen daging ayam dan telur. Padahal, jika harga jagung murah, terbuka peluang untuk ekspor. Selain itu, larangan impor jagung menyebabkan naiknya impor gandum untuk menyubstitusi jagung.