ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY

Aktivis Ratna Sarumpaet (tengah) tiba di Mapolda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Kamis (4/10/2018). Pelaku penyebaran berita bohong atau hoax itu ditangkap oleh pihak kepolisian di Bandara Soekarno Hatta saat akan pergi keluar negeri.

Menjadi bodoh atau berbohong  merupakan hal yang tidak mudah diterima. Ketidaktahuan yang disembunyikan dan kebenaran yang diselubungkan tidak ingin diketahui, juga tak ingin dibongkar. Ada ketakutan ketika hal itu tersibak, tidak saja ditertawakan, tetapi merasa direndahkan.

Namun, apa yang terjadi ketika dua kekurangan yang memalukan ini hadir bersamaan?

Berpikir kritis merupakan salah satu dari empat keterampilan abad ke-21 (collaboration, communication, dan creative). Di tengah invasi informasi yang tak terbendungi, kecepatan berpikir sangat diperlukan, terutama ketika pemikiran cepat dijadikan landasan dalam mengambil keputusan. Semakin cepat berpikir dan kian cepat mengambil keputusan, kesuksesan sudah bisa ada di tangan: "the fastest the best" (yang paling cepat, yang paling baik).

Kecepatan berpikir dan mengambil keputusan pada akhirnya menjadi tanggung jawab pribadi. Terlepas dari pribadi yang begitu dipercaya (apalagi diragukan), tetapi ketika sebuah keputusan telah diambil, ia tidak bisa dibebankan kepada orang yang memberikan informasi. Ia adalah bagian dari masif informasi yang hadir. Adalah tanggung jawab individu untuk menerima konsekuensi dari penerimaan atau penolakan informasi.

Pada tataran ini, "berpikir kritis" menjadi hal yang bersifat wajib. Ada dua hal yang kerap dipakai, demikian sentil Karl Popper dalam The Logic of Scientific Discovery. Di satu pihak, dengan bantuan logika induktif, seorang berusaha membenarkan sebuah teori dengan pembuktian fakta-fakta partikuler.

Dalam proses verifikasi ini bisa ditempatkan figur yang dianggap sebagai acuan untuk mengonfirmasi kebenaran sebuah informasi. Oleh kedekatan atau ketenaran seseorang, dianggap informasi yang diterima mengandung kebenaran. Fakta bahwa ia telah terbukti jujur, dijadikan alasan untuk memercayakan informasi itu secepatnya.

Masalahnya, kepercayaan yang telah diberikan kepada seseorang oleh pengalaman telah menunjukkan tindakan yang positif tidak menjadi alasan untuk menjadikannya sebagai pribadi yang selamanya dipercayai. Memang, banyaknya pembuktian semakin memunculkan keyakinan atas kualitas dirinya, tetapi hal itu tidak mengingkari adanya penyangkalan atau pelaksanaan hal yang berlawanan.

Hal ini tercontohkan dalam kasus Ratna Sarumpaet. Pengalaman masa lalu, usia yang sudah lanjut, dan jiwa petarung yang telah ia tunjukkan untuk membela kandidat tertentu tidak bisa diragukan lagi. Namun, kisah bohong yang dianyam membuka kesadaran bahwa jumlah kesaksian pada masa lalu tidak menjamin bahwa di usia renta seperti ini ia ternyata masih bisa berbohong. Namun, ia pun tidak bisa dipersalahkan karena di era informasi masif seperti ini, tanggung jawab ada pada tiap orang. Ketidakcermatan dalam menganalisis merupakan tanggung jawab pribadi yang tidak bisa dilepas begitu saja. Memang, ia bisa dijuluki "pembohong besar" atau pengarang hoaks terbaik sebagaimana ia menjuluki diri, tetapi hal itu tidak meniadakan tanggung jawab setiap pribadi yang merupakan hal utama.

Pembuktian negatif

Di era informasi masif seperti sekarang ini, sikap kritis mestinya menjadi modal utama. Bagaimana caranya? Pertama, diperlukan sikap skeptisisme, yakni meragukan kebenaran sebuah informasi dengan menampilkan hal lain yang benar. Hal itu bisa dalam arti keraguan ringan (mild sceptism) sampai keraguan radikal (radical sceptism).

Pembuktian negatif seperti ini tentu tidak mudah. Pemikiran dogmatis-radikal tampaknya tidak sedia untuk dipersalahkan. Ia sudah terpaku pada kebenaran yang dianggapnya mutlak. Namun, keraguan seperti ini mestinya tidak perlu ada ketika konteks kini dihadirkan. Sebuah realitas di mana informasi begitu membeludak dan dibutuhkan adalah mencurigai sebagai jalan memilah mana yang paling baik.

Kedua, keterampilan berpikir kritis perlu dilatih melalui pembiasaan mengajukan pertanyaan berkualitas. Dalam QBQ! The Question Behind the Question: What to Really As Yourself to Eliminate Blame (2004), John G Millter menulis: bahwa model bertanya akan menentukan kualitas jawaban yang diharapkan. Baginya, dengan bertanya "apa" dan "bagaimana", seseorang terbiasa untuk memahami esensi masalah (apa) dan terdorong menganalisis proses (bagaimana).

Kita sadari, era di mana kita ada, sudah terpola dan memungkinkan kita sekadar "konsumen" dari aneka informasi. Untuk itu, tuntutan untuk terus membekali diri dengan aneka pemikiran kritis akan menjadi filter dan benteng pelindung diri. Pembekalan dalam arti yang paling sederhana adalah menyadari ketidaktahuan sebagai awal belajar. Di sana seseorang tahu bahwa ia tidak tahu. Kebodohan yang disadari menjadi langkah bijak, hal mana berbeda dengan kebodohan yang tidak disadari.

Ketiga, pengutamaan pemikiran kritis pada saat bersamaan menjadi awasan bagi siapa pun di era digital. Ia tersadarkan, kebodohan yang dipertontonkan atau kebohongan yang diumbar akan berbalik menyerang. Artinya, jejak digital akan berbalik membongkarnya.